Islam Cenderung Menutupi Kesalahan Tindak Kriminal, Begini Penjelasannya
Senin, 15 Mei 2023 - 05:15 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan Islam sangat memperhatikan penjagaan kehormatan manusia secara khusus dan haramnya tajassus atau mencari-cari kesalahan orang.
"Tidak dari perorangan dan tidak pula dari pemerintah yang berkuasa," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Itu sebabnya Islam tidak mengajarkan memasang peralatan untuk mengintai orang-orang yang berbuat maksiat atau memasang kamera rahasia yang dapat merekam mereka ketika berbuat demikian.
"Tidak juga memerintahkan polisi kriminal atau mata-mata untuk mencari-cari kesalahan manusia yang melanggar syari'at, sehingga mereka tertangkap ketika melaksanakannya," ujarnya.
Dia menjelaskan Islam tidak bergerak di balik pelaksanaan hukuman, dan tidak menunggu pelaksanaan hukuman itu pada orang yang melakukan sesuatu yang menyebabkan dia berhak dihukum.
Imam Hakim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa pada suatu malam ia berjaga bersama Umar bin Khattab di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan ada yang menyalakan api di rumah, maka keduanya bergegas menuju ke sana, sehingga ketika sudah dekat dengan rumah tersebut, ternyata pintunya terkunci.
Di dalamnya terdengar ada suara keras, maka Umar berkata sambil memegang tangan Abdurrahman, "Tahukah kamu rumah siapakah ini?"
Abdurrahman menjawab, "Tidak"
Umar berkata, "Ini rumah Rabitah bin Umayah bin Khalaf, mereka sekarang minum khamr, bagaimana pendapatmu?"
Abdurrahman berkata, "Saya berpendapat bahwa kita telah mendatangi sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, Allah telah melarang kita dengan firman-Nya, "Walaa Tajassasuu," sementara kita telah bertajassus, kemudian Umar pergi meninggalkan mereka." (HR Hakim)
Dari Zaid bin Wahb, ia berkata, "Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas'ud, kemudian bertanya, "Maukah engkau melihat Walid bin 'Uqbah yang jenggotnya meneteskan khamr?"
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kita untuk bertajassus, tetapi jika nampak di hadapan kita maka kita bertindak (untuk menghukumnya)" (HR Abu Dawud dan Hakim)
Dari empat sahabat; Jubair bin Nafir, Katsir bin Murrah Miqdam bin Ma'di Karib dan Abi Umamah Al Baahili ra, dari Nabi SAW beliau bersabda, "Sesungguhnya amir (seorang pemimpin) itu apabila mencari keraguan pada manusia maka akan merusak mereka." (HR Abu Dawud)
Bahkan ajaran Rasulullah SAW sangat mendorong agar setiap Muslim menutupi aurat dirinya dan aurat orang lain. Dalam suatu riwayat disebutkan sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar ra , sesungguhnya Rasulullah SAW setelah melaksanakan hukuman (had) pada Ma'iz bin Malik Al Aslami, beliau berdiri, kemudian bersabda, "Jauhilah kotoran ini yang telah Allah larang, maka barangsiapa yang terjerumus dalam perbuatan ini maka hendaklah meminta tutup dengan tutup Allah, dan hendaklah bertobat kepada Allah, karena barangsiapa membuka kepada kami lembaran (kesalahan)-nya maka kami berlakukan kepadanya Kitab (hukum) Allah." (HR. Hakim)
Rasulullah SAW telah melaksanakan had untuk Ma'iz, setelah dia datang kepada Rasulullah SAW sebanyak empat kali dengan mengakui kesalahannya dan setelah Nabi SAW berupaya untuk menjauhkan tuduhan darinya dan mengajarinya yang itu menunjukkan upaya agar tidak memenuhi rukun-rukun dosa (zina), tetapi ia (Ma'iz) masih tetap bersikeras. Peristiwa itu kemudian disusul dengan kasus serupa oleh wanita Ghamidiyah.
Diriwayatkan dari Abi Burdah, dari ayahnya, ia berkata, "Kami adalah sahabat Nabi SAW kami berbincang-bincang bahwa seandainya Ma'iz dan orang wanita itu tidak datang yang keempat kalinya maka Rasulullah tidak akan menuntut kepadanya." (HR Hakim)
Nabi SAW pernah bersabda kepada Hazal, yaitu orang yang mendorong Ma'iz untuk mengaku di hadapan Nabi SAW, "Jika seandainya kamu menutupinya dengan bajumu niscaya akan menjadi kebaikan untukmu." (HR Hakim)
Dari Abi Hurairah ra , ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menutupi saudaranya Muslim di dunia maka Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat." (HR Abu Dawud)
Dari Abi Hurairah ra, dan Nabi SAW; beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba menutupi hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aib-nya di hari kiamat." (HR Hakim)
Selanjutnya Al-Qardhawi mengatakan jika hadis-hadis tersebut menjelaskan pahala orang yang menutupi saudaranya Muslim, maka hadis berikut ini bersifat umum:
Dari Katsir pembantu 'Uqbah bin 'Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melihat aurat, lalu menutupinya, maka ia seperti orang yang menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur secara hidup-hidup dari kuburnya." (HR Abu Dawud dan Hakim)
Menurut Al-Qardhawi, demikian juga kita dapatkan berbagai taujihat Islami yang jelas dalam menekankan untuk memaafkan dan berlapang dada dalam kaitannya dengan hukuman-hukuman yang berkaitan dengan hak-hak manusia sebagai hamba Allah, seperti mencuri, dengan syarat tidak sampai pada kekuasaan hukum, maka di sana tidak ada kesempatan untuk dimaafkan atau ditolong.
Dalam hal ini ada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar sebagai berikut:
"Saling memaafkanlah di antara kamu dalam kaitannya dengan hukuman, karena apa-apa (keputusan) yang telah sampai kepadaku dari hukuman berarti wajib (dilaksanakan)." (HR Abu Dawud dan Nasa'i)
Ibnu Mas'ud berkata: "Sesungguhnya aku akan menyebutkan pertama kali orang yang dipotong (tangannya) oleh Rasulullalh SAW "Adalah didatangkan seorang yang mencuri maka diperintahkan untuk dipotong, tetapi seakan wajah Rasulullah SAW nampak menyesal, maka sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau tidak suka memotongnya."
Nabi bersabda, "Tidak ada yang menghalangi aku, janganlah engkau menolong setan atas saudara kamu, karena tidak pantas bagi seorang imam apabila telah sampai padanya hukuman kecuali harus melaksanakannya, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, cinta untuk mengampuni, Allah berfirman, "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nuur: 22)" (HR Hakim).
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW kemudian mengaku bahwa ia telah melakukan sesuatu yang mewajibkan harus dihukum, maka Nabi tidak bertanya kepadanya tentang hukuman itu, apa hukumannya dan bagaimana ia melakukan, melainkan beliau menganggap pengakuannya itulah yang menyebabkan ia dihukum sebagai tobat dari dosanya dan penyesalan atas kelengahannya, ini menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya, karena tidak akan terjadi hukuman yang demikian apabila ia shalat bersama Rasulullah SAW.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam bab "Seseorang yang mengaku dengan hukuman dan tidak menyebutkan namanya." Dari Abi Umamah, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi SAW lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat (sesuatu) yang harus dihukum, maka hukumlah aku."
Nabi bersabda, "Apakah kamu berwudhu ketika kamu datang (ke mari)."
Laki-laki itu menjawab, "Ya."
Nabi bersabda, "Apakah kamu salat bersama kami ketika kami shalat?"
Orang itu berkata, "Ya."
Nabi bersabda, "Pergilah, sesungguhnya Allah SWT telah memaafkan kamu." (HR Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i).
Al-Qardhawi mengatakan karena itu ada di antara ulama salaf yang berpendapat bahwa di antara hak imam dan qadhi adalah menggugurkan had (hukuman) dengan tobat apabila kelihatan tanda-tandanya. Inilah pendapat yang ditarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim . "Dan ini pula yang saya pilih ketika kita menerapkan hukum had pada zaman kita ini," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
"Tidak dari perorangan dan tidak pula dari pemerintah yang berkuasa," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Itu sebabnya Islam tidak mengajarkan memasang peralatan untuk mengintai orang-orang yang berbuat maksiat atau memasang kamera rahasia yang dapat merekam mereka ketika berbuat demikian.
"Tidak juga memerintahkan polisi kriminal atau mata-mata untuk mencari-cari kesalahan manusia yang melanggar syari'at, sehingga mereka tertangkap ketika melaksanakannya," ujarnya.
Dia menjelaskan Islam tidak bergerak di balik pelaksanaan hukuman, dan tidak menunggu pelaksanaan hukuman itu pada orang yang melakukan sesuatu yang menyebabkan dia berhak dihukum.
Imam Hakim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf bahwa pada suatu malam ia berjaga bersama Umar bin Khattab di Madinah. Ketika mereka sedang berjalan ada yang menyalakan api di rumah, maka keduanya bergegas menuju ke sana, sehingga ketika sudah dekat dengan rumah tersebut, ternyata pintunya terkunci.
Di dalamnya terdengar ada suara keras, maka Umar berkata sambil memegang tangan Abdurrahman, "Tahukah kamu rumah siapakah ini?"
Abdurrahman menjawab, "Tidak"
Umar berkata, "Ini rumah Rabitah bin Umayah bin Khalaf, mereka sekarang minum khamr, bagaimana pendapatmu?"
Abdurrahman berkata, "Saya berpendapat bahwa kita telah mendatangi sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, Allah telah melarang kita dengan firman-Nya, "Walaa Tajassasuu," sementara kita telah bertajassus, kemudian Umar pergi meninggalkan mereka." (HR Hakim)
Dari Zaid bin Wahb, ia berkata, "Ada seorang laki-laki datang kepada Ibnu Mas'ud, kemudian bertanya, "Maukah engkau melihat Walid bin 'Uqbah yang jenggotnya meneteskan khamr?"
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kita untuk bertajassus, tetapi jika nampak di hadapan kita maka kita bertindak (untuk menghukumnya)" (HR Abu Dawud dan Hakim)
Dari empat sahabat; Jubair bin Nafir, Katsir bin Murrah Miqdam bin Ma'di Karib dan Abi Umamah Al Baahili ra, dari Nabi SAW beliau bersabda, "Sesungguhnya amir (seorang pemimpin) itu apabila mencari keraguan pada manusia maka akan merusak mereka." (HR Abu Dawud)
Bahkan ajaran Rasulullah SAW sangat mendorong agar setiap Muslim menutupi aurat dirinya dan aurat orang lain. Dalam suatu riwayat disebutkan sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar ra , sesungguhnya Rasulullah SAW setelah melaksanakan hukuman (had) pada Ma'iz bin Malik Al Aslami, beliau berdiri, kemudian bersabda, "Jauhilah kotoran ini yang telah Allah larang, maka barangsiapa yang terjerumus dalam perbuatan ini maka hendaklah meminta tutup dengan tutup Allah, dan hendaklah bertobat kepada Allah, karena barangsiapa membuka kepada kami lembaran (kesalahan)-nya maka kami berlakukan kepadanya Kitab (hukum) Allah." (HR. Hakim)
Rasulullah SAW telah melaksanakan had untuk Ma'iz, setelah dia datang kepada Rasulullah SAW sebanyak empat kali dengan mengakui kesalahannya dan setelah Nabi SAW berupaya untuk menjauhkan tuduhan darinya dan mengajarinya yang itu menunjukkan upaya agar tidak memenuhi rukun-rukun dosa (zina), tetapi ia (Ma'iz) masih tetap bersikeras. Peristiwa itu kemudian disusul dengan kasus serupa oleh wanita Ghamidiyah.
Diriwayatkan dari Abi Burdah, dari ayahnya, ia berkata, "Kami adalah sahabat Nabi SAW kami berbincang-bincang bahwa seandainya Ma'iz dan orang wanita itu tidak datang yang keempat kalinya maka Rasulullah tidak akan menuntut kepadanya." (HR Hakim)
Nabi SAW pernah bersabda kepada Hazal, yaitu orang yang mendorong Ma'iz untuk mengaku di hadapan Nabi SAW, "Jika seandainya kamu menutupinya dengan bajumu niscaya akan menjadi kebaikan untukmu." (HR Hakim)
Dari Abi Hurairah ra , ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menutupi saudaranya Muslim di dunia maka Allah akan menutupinya di dunia dan di akhirat." (HR Abu Dawud)
Dari Abi Hurairah ra, dan Nabi SAW; beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba menutupi hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aib-nya di hari kiamat." (HR Hakim)
Selanjutnya Al-Qardhawi mengatakan jika hadis-hadis tersebut menjelaskan pahala orang yang menutupi saudaranya Muslim, maka hadis berikut ini bersifat umum:
Dari Katsir pembantu 'Uqbah bin 'Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa melihat aurat, lalu menutupinya, maka ia seperti orang yang menghidupkan kembali anak perempuan yang dikubur secara hidup-hidup dari kuburnya." (HR Abu Dawud dan Hakim)
Menurut Al-Qardhawi, demikian juga kita dapatkan berbagai taujihat Islami yang jelas dalam menekankan untuk memaafkan dan berlapang dada dalam kaitannya dengan hukuman-hukuman yang berkaitan dengan hak-hak manusia sebagai hamba Allah, seperti mencuri, dengan syarat tidak sampai pada kekuasaan hukum, maka di sana tidak ada kesempatan untuk dimaafkan atau ditolong.
Dalam hal ini ada hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar sebagai berikut:
"Saling memaafkanlah di antara kamu dalam kaitannya dengan hukuman, karena apa-apa (keputusan) yang telah sampai kepadaku dari hukuman berarti wajib (dilaksanakan)." (HR Abu Dawud dan Nasa'i)
Ibnu Mas'ud berkata: "Sesungguhnya aku akan menyebutkan pertama kali orang yang dipotong (tangannya) oleh Rasulullalh SAW "Adalah didatangkan seorang yang mencuri maka diperintahkan untuk dipotong, tetapi seakan wajah Rasulullah SAW nampak menyesal, maka sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, seakan-akan engkau tidak suka memotongnya."
Nabi bersabda, "Tidak ada yang menghalangi aku, janganlah engkau menolong setan atas saudara kamu, karena tidak pantas bagi seorang imam apabila telah sampai padanya hukuman kecuali harus melaksanakannya, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, cinta untuk mengampuni, Allah berfirman, "Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (An-Nuur: 22)" (HR Hakim).
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW kemudian mengaku bahwa ia telah melakukan sesuatu yang mewajibkan harus dihukum, maka Nabi tidak bertanya kepadanya tentang hukuman itu, apa hukumannya dan bagaimana ia melakukan, melainkan beliau menganggap pengakuannya itulah yang menyebabkan ia dihukum sebagai tobat dari dosanya dan penyesalan atas kelengahannya, ini menjadi kaffarah (penghapus dosa) baginya, karena tidak akan terjadi hukuman yang demikian apabila ia shalat bersama Rasulullah SAW.
Abu Dawud telah meriwayatkan dalam bab "Seseorang yang mengaku dengan hukuman dan tidak menyebutkan namanya." Dari Abi Umamah, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi SAW lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat (sesuatu) yang harus dihukum, maka hukumlah aku."
Nabi bersabda, "Apakah kamu berwudhu ketika kamu datang (ke mari)."
Laki-laki itu menjawab, "Ya."
Nabi bersabda, "Apakah kamu salat bersama kami ketika kami shalat?"
Orang itu berkata, "Ya."
Nabi bersabda, "Pergilah, sesungguhnya Allah SWT telah memaafkan kamu." (HR Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i).
Al-Qardhawi mengatakan karena itu ada di antara ulama salaf yang berpendapat bahwa di antara hak imam dan qadhi adalah menggugurkan had (hukuman) dengan tobat apabila kelihatan tanda-tandanya. Inilah pendapat yang ditarjih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim . "Dan ini pula yang saya pilih ketika kita menerapkan hukum had pada zaman kita ini," ujar Syaikh Yusuf al-Qardhawi.
(mhy)
Lihat Juga :