Allah Ta'ala Maha Indah: Lalu, Bagaimana Seni Menurut Al-Quran?
Kamis, 23 Juli 2020 - 05:01 WIB
Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah SWT., dan mengekspresikannya dapat merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, tidak kalah --kalau enggan berkata lebih kuat-- dari upaya membuktikannya dengan akal pikiran.
Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, bahwa bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya.
Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.
Quraish Shihab mengingatkan seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan.
Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi SAW.
“Wahai Rasul, Allah telah menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan?
Nabi menjawab, “Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Rasulullah SAW sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi SAW bersabda.
“Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini”. Nabi bersabda: “Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat”.
Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi. ( )
Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi SAW dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?
Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni.
Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.
Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar. ( )
Bukankah seperti tulis Immannuel Kant, bahwa bukti terkuat tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan, karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya.
Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.
Quraish Shihab mengingatkan seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyenangi keindahan.
Bahkan ada hadis Nabi yang memberi kesan bolehnya memperhatikan keindahan diri sampai pada batas bersaing untuk menjadi yang terindah. Seorang sahabat Nabi bernama Malik bin Mararah Ar-Rahawi, pernah bertanya kepada Nabi SAW.
“Wahai Rasul, Allah telah menganugerahkan kepadaku keindahan seperti yang engkau lihat. Aku tidak senang ada seseorang yang melebihiku walau dengan sepasang alas kaki atau melebihinya, apakah demikian merupakan keangkuhan?
Nabi menjawab, “Tidak! Keangkuhan adalah meremehkan hak dan merendahkan orang lain. (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Rasulullah SAW sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun. Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya, Nabi SAW bersabda.
“Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini”. Nabi bersabda: “Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat”.
Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari sepenuhnya tentang keindahan surgawi. ( )
Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi SAW dan para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?
Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya daLam bentuk karya seni.
Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum Muslim lainnya.
Atas dasar inilah kita harus memahami larangan-larangan yang ada, kalau kita menerima adanya larangan penampilan karya seni terlentu. Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap seni sedemikian besar. ( )
(mhy)