Salat Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar, Begini Penjelasannya
Rabu, 14 Juni 2023 - 12:49 WIB
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman bahwa salat mencegah dari perbuatan keji dan munkar . Bagaimana maksud dan penjelasannya? Seperti diketahui, jiwa manusia ada dua, yaitu jiwa baik dan jiwa buruk. Al-Qur'an menyebut kata jiwa dengan an-nafsu. Perlu diperhatikan bahwa al-hawā dan al-nafs adalah dua hal yang berbeda.
Imam al-Ghazali dalam 'Iḥyâ’‘Ulûmuddin' menerangkan bahwa etika buruk termasuk dalam bagian al-Muhlikāt (penghancur atau pembuat celaka). Ia menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah penawar dari etika buruk serta dapat mencegahnya agar ia tidak mengakar dan berkembang dalam diri seseorang. Kemudian al-Ghazali menjelaskan cara membersihkan nafs dari etika buruk serta cara membersihkan hati darinya. (Iḥyâ’‘Ulûmuddin, al-Ghazali, 1/3).
Imam al-Ghazali mendefinisikan an-nafs sebagai,
“Istilah yang mencangkup semua bentuk kemarahan dan syahwat dalam diri manusia,…atau dia merupakan laṭifah (sesuatu yang lembut) wujud hakikat manusia itu sendiri.” (Ihya` Ulumiddin, al-Ghazali, 3/4).
Mengutip isi ceramah Ustadz Syahid Ridwanullah, dai alumni UNIDA Gontor, ia menjelaskannya sebagai berikut:
Dalam kitab lain, Imam Al Ghazali mendefinisikan an-nafs dengan dua hal. Pertama, makna yang menyeluruh tentang sifat yang buruk (madzmūmah) yaitu potensi hayawaniyah (potensi yang ada di hewan) yang menjadi lawan dari potensi ‘aqliyah (akal).
kedua, nafs adalah hakikat manusia itu sendiri. Karena nafs segala sesuatu adalah hakikatnya, yaitu jawhar (substansi; inti) yang menjadi tempat sesuatu yang bisa dicerna akal, ia dari alam malakūt.
Nafs memiliki tiga nama, sesuai dengan gejala atau indikator yang muncul. Yaitu muṭmainnah, lawwâmah, dan ammārah bis-sū’.
Nafs muṭmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa condong kepada kebaikan dan menjadikan kebenaran sebagai rujukan. Karenanya, Allah menurunkan ketenangan dan ketenteraman kepadanya dan membanjirinya dengan kemurahan-Nya sehingga ia selalu mengingat-Nya—Inilah sebab ia dinamakan “jiwa yang tenang”.
Nafs lawwâmah adalah jiwa yang ketaatan dan syahwat silih berganti menguasai dirinya. Terkadang jiwanya bertumpu kepada ketaatan dan terkadang ia tunduk kepada hawa nafsunya. Nafs inilah, nafs lawwamah, yang banyak ada di manusia.
Jika nafs lawwâmah ditingkatkan dengan ilmu, amal, dan jihad ruhani, maka bisa meningkat menjadi layaknya malaikat.
Jika nafs tersebut derajatnya selalu menurut dan merendah, maka itulah nafs ammārah bis-sū’. Nafs yang menggambarkan manusia seperti hewan. Seandainya ada anjing atau keledai yang bisa berbicara, maka itulah gambaran nafs ini. (Ma’ārij al-Quds fī Ma’rifati al-Nafs, al-Ghazāli, 15—16).
Jiwa (nafs) terbagi menjadi tiga: (1) jiwa binatang (bahā’im), (2) jiwa buas (sibā’), dan (3) jiwa malaikat. Setiap jiwa memiliki kepuasan dan kebahagiaannya masing-masing.
Pertama, jiwa binatang.
Kebahagiaannya diraih dengan makan, minum, tidur, dan berhubungan badan. Jika manusia membuat jiwa ini mendominasi dirinya, maka hanya ada dua tempat kepuasan yaitu kerongkongan dan kemaluan.
Kedua, jiwa buas.
Kepuasannya dengan memukul dan keberanian. Jiwa setan kepuasannya ada di keburukan (syar) dan makar.
Ketiga, jiwa malaikat.
Jiwa malaikat ada di penyaksian akan keindahan akan kemahakuasaannya Allah. Jiwa malaikat akan terus mencari kepuasan untuk bermunajat kepada Allah. Tidak ada tempat dalam jiwa malaikat untuk menuruti syahwat dan ghadab.
Setan melalui kepuasannya menggiring manusia agar berbuat keji dan munkar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. An-Nūr: 21).
Sebagai solusinya, Allah menjadikan salat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Bacalah Kitab (al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’(QS. Al-’Ankabūt: 45)
Namun, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa perbuatan keji dan munkar itu bukan perkara yang tiba-tiba menjelma menjadi akhlak, dan tiba-tiba hilang karena melaksanakan shalat. Sebagaimana terbentuknya tidak instan, maka hilangnya juga tidak instan.
Perbuatan keji (faḥsyā) adalah perbuatan buruk dan dianggap lebih tercela dari maksiat atau yang dikehendaki oleh nafsu, sedangkan munkar adalah perbuatan yang menurut akal dan fitrah bertentangan dengan syariat. (Tafsir al-Baghawy, Abu Muhammad al-Baghawi, 6/244; Taisir al-Karim ar-Rahman,Abdurrahman as-Sa’di, 632).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika seseorang terbiasa shalat tapi shalatnya tidak membuatnya berhenti dari mengerjakan perbuatan faḥsyā dan munkar, maka tidak bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh.” (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 6/281).
Dalam riwayat lain, “Tidak ada salat bagi orang yang tidak mematuhi salat.”
Mematuhi salat adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Meski salatnya panjang, jika masih berbuat keji dan munkar, maka tidak bermanfaat.
Anas meriwayatkan bahwa ada seorang pemuda dari golongan Ansar, ia selalu salat lima waktu bersama Rasulullah. Akan tetapi, ia juga rutin bermaksiat, melakukan perbuatan keji.
Hal itu diadukan kepada Rasulullah sehingga Rasulullah bersabda, “Suatu saat, salatnya akan mencegahnya dari perbuatan keji.”
Tidak lama kemudian, pemuda tersebut bertobat dan menjadi baik keadaannya.
Ibnu Awn menjelaskan bahwa makna ayat “Mencegah dari perbuatan keji dan munkar” adalah shalat akan mencegah seseorang berbuat keji dan munkar selama shalatnya rutin dan istikamah. (Tafsir al-Baghawi, Abu Muhammad al-Baghawi, 6/245).
Wajib hukumnya berilmu sebelum beramal. Aktivitas tanpa dilandasi ilmu, maka aktivitasnya tak berarti. Aktivitas yang hanya berorientasi duniawi pun hanya akan merugi, bahkan banyak menghabiskan dana; stupid cost.
Akhlak termasuk amal (aktivitas), jika tanpa ilmu, maka tidak mungkin bisa mengetahui antara amalan yang baik dan yang buruk. Tidak disebut sebagai orang yang berilmu, kecuali ia mengamalkan ilmunya.
Aktivitas buruk yang remeh, akan berdampak besar. Aktivitas baik yang remeh, juga akan berdampak besar. Proses itu tergantung bagaimana jiwa mengelola agar badan tidak melalukan hal buruk.
Dua cara agar yang remeh menjadi besar adalah iṣrār dan muwāzhabah (dilakukan secara terus-menerus dan menekuni). Perbuatan kecil dan remeh bagai tetesan air di atas batu. Meskipun kecil jika terus-menerus maka tetap akan meninggalkan bekas, sehingga jangan sampai tetesan tersebut selalu buruk. Ketika telah menetes, maka segera sumbat agar tidak menyisakan lubang.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Āli ’Imrān: 135)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai kontinuitas,
“Tidak dianggap sebagai dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak dicatat sebagai dosa besar jika dibarengi istigfar.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, hadits marfuk dengan sanad dha’if).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik amalan adalah yang kontinu, meski sedikit.” (HR. Muslim no. 783).
Ada pokok penting yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Salah satunya yang paling penting adalah salat fardhu. Sebaik apa pun seorang manusia atau seburuk apa pun ia dalam pandangan sosial, shalat harus tetap dikerjakan. Meski kadang bermaksiat, harus tetap menjaga shalat.
Hasan al-Baṣri mengatakan, “Wahai manusia, apa yang kamu anggap penting dalam hidupmu jika shalat saja kamu remehkan.”
Meski sudah sering mengaji, tetap harus menjaga salat. Barometer perbaikan berawal dari perbaikan salat. Salat bisa melatih jiwa agar terbiasa baik sehingga kelak ketika shalat sudah rutin dijalankan, jiwa tidak terlalu sulit untuk diarahkan menuju kebaikan.
Wallahu A'lam
Imam al-Ghazali dalam 'Iḥyâ’‘Ulûmuddin' menerangkan bahwa etika buruk termasuk dalam bagian al-Muhlikāt (penghancur atau pembuat celaka). Ia menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah penawar dari etika buruk serta dapat mencegahnya agar ia tidak mengakar dan berkembang dalam diri seseorang. Kemudian al-Ghazali menjelaskan cara membersihkan nafs dari etika buruk serta cara membersihkan hati darinya. (Iḥyâ’‘Ulûmuddin, al-Ghazali, 1/3).
Imam al-Ghazali mendefinisikan an-nafs sebagai,
أَنَّهَا المَعْنَى الَجامِعُ لِقُوَّةِ الغَضَبِ وَالشَّهْوَةِ فِي الِإنْسَانِ … أَوْ أَنَّهَا اللَّطِيْفَةُ الَّتِي هِيَ حَقِيْقَةُ الإِنْسَانِ وَذَاتُهُ
“Istilah yang mencangkup semua bentuk kemarahan dan syahwat dalam diri manusia,…atau dia merupakan laṭifah (sesuatu yang lembut) wujud hakikat manusia itu sendiri.” (Ihya` Ulumiddin, al-Ghazali, 3/4).
Mengutip isi ceramah Ustadz Syahid Ridwanullah, dai alumni UNIDA Gontor, ia menjelaskannya sebagai berikut:
Dalam kitab lain, Imam Al Ghazali mendefinisikan an-nafs dengan dua hal. Pertama, makna yang menyeluruh tentang sifat yang buruk (madzmūmah) yaitu potensi hayawaniyah (potensi yang ada di hewan) yang menjadi lawan dari potensi ‘aqliyah (akal).
kedua, nafs adalah hakikat manusia itu sendiri. Karena nafs segala sesuatu adalah hakikatnya, yaitu jawhar (substansi; inti) yang menjadi tempat sesuatu yang bisa dicerna akal, ia dari alam malakūt.
Nafs memiliki tiga nama, sesuai dengan gejala atau indikator yang muncul. Yaitu muṭmainnah, lawwâmah, dan ammārah bis-sū’.
Nafs muṭmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa condong kepada kebaikan dan menjadikan kebenaran sebagai rujukan. Karenanya, Allah menurunkan ketenangan dan ketenteraman kepadanya dan membanjirinya dengan kemurahan-Nya sehingga ia selalu mengingat-Nya—Inilah sebab ia dinamakan “jiwa yang tenang”.
Nafs lawwâmah adalah jiwa yang ketaatan dan syahwat silih berganti menguasai dirinya. Terkadang jiwanya bertumpu kepada ketaatan dan terkadang ia tunduk kepada hawa nafsunya. Nafs inilah, nafs lawwamah, yang banyak ada di manusia.
Jika nafs lawwâmah ditingkatkan dengan ilmu, amal, dan jihad ruhani, maka bisa meningkat menjadi layaknya malaikat.
Jika nafs tersebut derajatnya selalu menurut dan merendah, maka itulah nafs ammārah bis-sū’. Nafs yang menggambarkan manusia seperti hewan. Seandainya ada anjing atau keledai yang bisa berbicara, maka itulah gambaran nafs ini. (Ma’ārij al-Quds fī Ma’rifati al-Nafs, al-Ghazāli, 15—16).
Jiwa (nafs) terbagi menjadi tiga: (1) jiwa binatang (bahā’im), (2) jiwa buas (sibā’), dan (3) jiwa malaikat. Setiap jiwa memiliki kepuasan dan kebahagiaannya masing-masing.
Pertama, jiwa binatang.
Kebahagiaannya diraih dengan makan, minum, tidur, dan berhubungan badan. Jika manusia membuat jiwa ini mendominasi dirinya, maka hanya ada dua tempat kepuasan yaitu kerongkongan dan kemaluan.
Kedua, jiwa buas.
Kepuasannya dengan memukul dan keberanian. Jiwa setan kepuasannya ada di keburukan (syar) dan makar.
Ketiga, jiwa malaikat.
Jiwa malaikat ada di penyaksian akan keindahan akan kemahakuasaannya Allah. Jiwa malaikat akan terus mencari kepuasan untuk bermunajat kepada Allah. Tidak ada tempat dalam jiwa malaikat untuk menuruti syahwat dan ghadab.
Setan melalui kepuasannya menggiring manusia agar berbuat keji dan munkar.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ وَمَن يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya dia (setan) menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (QS. An-Nūr: 21).
Sebagai solusinya, Allah menjadikan salat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah Kitab (al-Quran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.’’(QS. Al-’Ankabūt: 45)
Namun, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa perbuatan keji dan munkar itu bukan perkara yang tiba-tiba menjelma menjadi akhlak, dan tiba-tiba hilang karena melaksanakan shalat. Sebagaimana terbentuknya tidak instan, maka hilangnya juga tidak instan.
Perbuatan keji (faḥsyā) adalah perbuatan buruk dan dianggap lebih tercela dari maksiat atau yang dikehendaki oleh nafsu, sedangkan munkar adalah perbuatan yang menurut akal dan fitrah bertentangan dengan syariat. (Tafsir al-Baghawy, Abu Muhammad al-Baghawi, 6/244; Taisir al-Karim ar-Rahman,Abdurrahman as-Sa’di, 632).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika seseorang terbiasa shalat tapi shalatnya tidak membuatnya berhenti dari mengerjakan perbuatan faḥsyā dan munkar, maka tidak bertambah dari Allah kecuali jarak yang semakin jauh.” (Tafsir al-Quran al-Adzim, Ibnu Katsir, 6/281).
Dalam riwayat lain, “Tidak ada salat bagi orang yang tidak mematuhi salat.”
Mematuhi salat adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan munkar. Meski salatnya panjang, jika masih berbuat keji dan munkar, maka tidak bermanfaat.
Istiqamah Mengerjakan Salat
Akan tetapi, perbuatan keji dan munkar tidak akan seketika hilang. Perlu pembiasaan salat dan rutin serta istikamah dalam mengerjakannya. Karena jika salat dilakukan dengan istiqamah, juga memperhatikan syarat dan rukunnya, maka dengan izin Allah akan membuat pelakunya berhenti dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar.Anas meriwayatkan bahwa ada seorang pemuda dari golongan Ansar, ia selalu salat lima waktu bersama Rasulullah. Akan tetapi, ia juga rutin bermaksiat, melakukan perbuatan keji.
Hal itu diadukan kepada Rasulullah sehingga Rasulullah bersabda, “Suatu saat, salatnya akan mencegahnya dari perbuatan keji.”
Tidak lama kemudian, pemuda tersebut bertobat dan menjadi baik keadaannya.
Ibnu Awn menjelaskan bahwa makna ayat “Mencegah dari perbuatan keji dan munkar” adalah shalat akan mencegah seseorang berbuat keji dan munkar selama shalatnya rutin dan istikamah. (Tafsir al-Baghawi, Abu Muhammad al-Baghawi, 6/245).
Wajib hukumnya berilmu sebelum beramal. Aktivitas tanpa dilandasi ilmu, maka aktivitasnya tak berarti. Aktivitas yang hanya berorientasi duniawi pun hanya akan merugi, bahkan banyak menghabiskan dana; stupid cost.
Akhlak termasuk amal (aktivitas), jika tanpa ilmu, maka tidak mungkin bisa mengetahui antara amalan yang baik dan yang buruk. Tidak disebut sebagai orang yang berilmu, kecuali ia mengamalkan ilmunya.
Aktivitas buruk yang remeh, akan berdampak besar. Aktivitas baik yang remeh, juga akan berdampak besar. Proses itu tergantung bagaimana jiwa mengelola agar badan tidak melalukan hal buruk.
Dua cara agar yang remeh menjadi besar adalah iṣrār dan muwāzhabah (dilakukan secara terus-menerus dan menekuni). Perbuatan kecil dan remeh bagai tetesan air di atas batu. Meskipun kecil jika terus-menerus maka tetap akan meninggalkan bekas, sehingga jangan sampai tetesan tersebut selalu buruk. Ketika telah menetes, maka segera sumbat agar tidak menyisakan lubang.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Āli ’Imrān: 135)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda mengenai kontinuitas,
لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ وَلَا كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ
“Tidak dianggap sebagai dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tidak dicatat sebagai dosa besar jika dibarengi istigfar.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, hadits marfuk dengan sanad dha’if).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Sebaik-baik amalan adalah yang kontinu, meski sedikit.” (HR. Muslim no. 783).
Ada pokok penting yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim. Salah satunya yang paling penting adalah salat fardhu. Sebaik apa pun seorang manusia atau seburuk apa pun ia dalam pandangan sosial, shalat harus tetap dikerjakan. Meski kadang bermaksiat, harus tetap menjaga shalat.
Hasan al-Baṣri mengatakan, “Wahai manusia, apa yang kamu anggap penting dalam hidupmu jika shalat saja kamu remehkan.”
Meski sudah sering mengaji, tetap harus menjaga salat. Barometer perbaikan berawal dari perbaikan salat. Salat bisa melatih jiwa agar terbiasa baik sehingga kelak ketika shalat sudah rutin dijalankan, jiwa tidak terlalu sulit untuk diarahkan menuju kebaikan.
Wallahu A'lam
(wid)