Benarkah Madinah Jadi Ukuran Benar dan Salah? Ini Penjelasan Ustaz Ahmad Syahrin
Sabtu, 17 Juni 2023 - 14:10 WIB
Keutamaan dan kemuliaan Kota Madinah tidak diragukan lagi karena Nabi Muhammad ﷺ berhijrah sekaligus dimakamkan di kota tersebut. Madinah merupakan salah satu kota suci dan di dalamnya ada Masjid Nabawi dengan segala keutamaannya.
Namun, ada sebuah Hadis berkaitan dengan keutamaan Madinah yang sering disalahpahmi sebagian kalangan. Mereka mengklaim bahwa ukuran kebenaran itu adalah Madinah. Hadits tersebut berbunyi:
إن الإيمان ليأرز إلى المدينة كما تأرز الحية إلى جحرها
Artinya: "Sesungguhnya keimanan akan bersarang ke Madinah sebagaimana ular bersarang ke dalam lubangnya (sarangnya)." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, kualitas hadits ini tidak perlu dibahas lagi, karena merupakan hadits sahih yang mutafaqun 'alaih. Yang perlu dijelaskan adalah kesalahpahaman dalam memahami hadits tersebut. Sehingga memunculkan sikap superior sebagian kelompok karena merasa pendapat yang dia ikuti sama dengan yang diikuti oleh penduduk Madinah.
Dai pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur ini menjelaskan, para ulama sepanjang generasi dari berbagai negeri Islam senantiasa beradu argumen dan dalil untuk mencari kebenaran. Lahirlah mazhab dan keilmuan yang terlibat diskusi hangat untuk saling menguji satu sama lain, baik ulama yang tinggal di Hijaz, Iraq, Syam, Yaman, Mesir bahkan Andalusia.
Tak pernah terdengar sekalipun adanya ulama yang menggunakan dalil di atas untuk mengatakan "Pokoknya yang benar adalah paham yang ada di Madinah."
Pernyataan lucu dan sangat aneh semisal banyaknya flayer yang beredar di media sosial bertuliskan: "Jangan bingung. Apabila Islam sudah membingungkan, tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, carilah Islam di Madinah."
"Subhanallah. Sendi-sendi keilmuan yang dibangun oleh para ulama ribuan tahun runtuh seketika oleh keluguan orang-orang ini," kata Ustaz Ahmad Syahrin.
Apakah mereka tidak sadar bahwa sepanjang generasi Islam, mazhab dan kelompok yang berbeda-beda telah silih berganti diikuti oleh penduduk Madinah? Kalaupun kemudian hadits itu hendak dipaksa untuk dimaknai secara zahir, tetap yang dimaksud adalah pemahaman umum kaum muslimin yakni Ahlussunnah wal Jamaah, bukan mazhab apalagi kelompok tertentu.
Mari kita simak penjelasan para ulama mengenai Hadits tersebut:
1. Hanya Berlaku di Masa Nabi ﷺ dan Kurun Terbaik Setelahnya
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini sifatnya khusus berlaku di masa kenabian. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Daud rahimahullah:
كان هذا في حياته -صلى الله عليه وسلم، والقرن الذي كان منهم، والذين يلونهم، والذين يلونهم خاصّة
"Adalah ini berlaku di masa ketika masih hidupnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan kurun setelahnya dan setelahnya lagi." [Syarh Zarqani (12/250)]
2. Untuk Mazhab Ahlul Madinah
Berkata Imam Al-Qurthubi rahimahullah:
فيه تنبيه على صحة مذهب أهل المدينة وسلامتهم من البدع، وأن عملهم حجة، كما رواه مالك
"Hadits tersebut menjadi tanda kebenaran Madzhab Ahli Madinah dan mereka steril dari bid'ah serta amalan mereka adalah hujjah, seperti pendapat yang dipegang oleh Imam Malik." [Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)]
Yang dimaksudkan madzhab Ahli Madinah adalah pendapat yang dipegang oleh para sahabat yang kala itu menetap di Madinah. Bukan mazhab penduduk Madinah setelahnya apalagi hari ini. Karena itulah Imam Ibnu Hajar menjelaskan maksud Imam Qurthubi di atas dengan mengatakan: "Pernyataan ini kalau benar, maka ia adalah khusus di masa Nabi ﷺ dan masa khalafaur Rasyidin. Adapun setelah terjadinya fitnah dan para sahabat tersebar di berbagai negeri, khususnya di akhir abad kedua Hijriyah dan setelahnya, yang terjadi malah sebaliknya." [Fath al Bari ( 4/94)]
3. Dimaknai Berduyun-duyunnya Manusia Ziarah ke Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits di atas sebagai sebuah majas, yakni akan banyak orang beriman pergi ke Madinah untuk mengunjungi Masjid Nabawi dan berziarah ke kubur Nabi ﷺ.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah:
ثم بعد ذلك في كل وقت إلى زماننا لزيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم والتبرك بمشاهده وآثاره وآثار أصحابه الكرام فلا يأتيها إلا مؤمن
"Kemudian di masa-masa berikutnya sampai zaman kita sekarang ini (Masa imam Nawawi), kaum muslimin silih berganti berziarah ke Madinah, untuk datang ke kubur Nabi ﷺ, bertabarruk dengan napak tilas tempat-tempat yang menjadi bekas beliau dan para shahabatnya yang mulia. Dan tidak ada yang datang ke sana kecuali orang beriman." [Syarah Muslim li Nawawi (2/177)]
4. Orang Mukmin akan Selalu Rindu Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits ini sebagai gambaran kecintaan orang beriman kepada Kota Madinah. Sebagaimana ular adalah hewan yang gesit dan bersegera jika ia ingin kembali ke lubangnya, orang mukmin juga akan bersiap-siap dan bergegas ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Madinah.
Berkata Ibnu Battal rahimahullah:
فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى صلى الله عليه وسلم فكأن الإيمان يرجع إليها كما خرج منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها
"Hal ini karena memang Madinah tidak akan didatangi kecuali oleh orang beriman. Mereka merindukan Madinah karena keimanan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ. Dan sebagaimana iman kembali ke Madinah sebagaimana ia pernah keluar berasal dari Madinah di awal (dakwah). Darinya tersebar dakwah sebagaimana ular keluar dari lubangnya dan ketika terancam juga kembali ke dalamnya." [Syarah Ibnu Batthal (4/548)]
Jika ditarik kesimpulan, tidak ada satupun ulama yang menjadikan hadits di atas sebagai dalil bahwa kelompok atau mazhab yang ada di Madinah lebih unggul dari yang lain. Apalagi sampai mengklaim pemahaman yang ada di sana lebih benar dari yang ada si tempat lain.
Demikian juga menjadikan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya tentang keutamaan Madinah sebagai dalil sebaiknya berguru dan mengambil ilmu itu dari alumni-alumni Madinah jelas kengawuran tingkat tinggi.
Jika logikanya demikian, mengapa para ulama dahulu repot-repot ada yang keliling ke berbagai negeri-negeri Islam untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di tempat tersebut. Ya kan haditsnya jelas itu, dan tentu ulama di masa itu jauh lebih berilmu dari ulama-ulama hari ini.
Kalau mereka hidup di masa itu, tentulah ulama seperti Imam Syafi'i akan ditahdzir oleh mereka karena keluar dari Madinah dan melanjutkan belajar ke Kufah. Begitu juga nasib para Muhaditsin yang lain akan dianggap menyimpang karena malah memilih negeri lain sebagai tempat untuk mengambil hadits.
Karena itulah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Jika yang dimaksud adalah berlakunya keutamaan ini bagi seluruh penduduk Madinah sepanjang zaman, maka inilah yang menjadi titik tengkar sebenarnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk mengatakan demikian, sebab zaman belakangan setelah zaman para imam mujtahid tidak ada lagi di Madinah orang yang menandingi seorang pun dari generasi itu dalam hal ilmu dan keutamaan, apalagi seluruh penduduk Madinah. Bahkan, Madinah pernah ditempati oleh Ahli Bid'ah tercela yang tidak diragukan lagi kebusukan niat dan kejahatan akhlak mereka." [Fathul Bari (13/312)]
Wallahu A'lam
Baca Juga: Keutamaan Madinah, Kota Suci yang Tak Bisa Dimasuki Dajjal (Bagian 1)
Referensi:
[1] Syarh Zarqani (12/250)
[2] Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)
[3] Fath al Bari ( 4/94)
[4] Syarah Muslim li Nawawi (2/177)
[5] Syarah Ibnu Batthal (4/548)
[6] Fathul Bari (13/312)
Namun, ada sebuah Hadis berkaitan dengan keutamaan Madinah yang sering disalahpahmi sebagian kalangan. Mereka mengklaim bahwa ukuran kebenaran itu adalah Madinah. Hadits tersebut berbunyi:
إن الإيمان ليأرز إلى المدينة كما تأرز الحية إلى جحرها
Artinya: "Sesungguhnya keimanan akan bersarang ke Madinah sebagaimana ular bersarang ke dalam lubangnya (sarangnya)." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, kualitas hadits ini tidak perlu dibahas lagi, karena merupakan hadits sahih yang mutafaqun 'alaih. Yang perlu dijelaskan adalah kesalahpahaman dalam memahami hadits tersebut. Sehingga memunculkan sikap superior sebagian kelompok karena merasa pendapat yang dia ikuti sama dengan yang diikuti oleh penduduk Madinah.
Dai pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur ini menjelaskan, para ulama sepanjang generasi dari berbagai negeri Islam senantiasa beradu argumen dan dalil untuk mencari kebenaran. Lahirlah mazhab dan keilmuan yang terlibat diskusi hangat untuk saling menguji satu sama lain, baik ulama yang tinggal di Hijaz, Iraq, Syam, Yaman, Mesir bahkan Andalusia.
Tak pernah terdengar sekalipun adanya ulama yang menggunakan dalil di atas untuk mengatakan "Pokoknya yang benar adalah paham yang ada di Madinah."
Pernyataan lucu dan sangat aneh semisal banyaknya flayer yang beredar di media sosial bertuliskan: "Jangan bingung. Apabila Islam sudah membingungkan, tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil, carilah Islam di Madinah."
"Subhanallah. Sendi-sendi keilmuan yang dibangun oleh para ulama ribuan tahun runtuh seketika oleh keluguan orang-orang ini," kata Ustaz Ahmad Syahrin.
Apakah mereka tidak sadar bahwa sepanjang generasi Islam, mazhab dan kelompok yang berbeda-beda telah silih berganti diikuti oleh penduduk Madinah? Kalaupun kemudian hadits itu hendak dipaksa untuk dimaknai secara zahir, tetap yang dimaksud adalah pemahaman umum kaum muslimin yakni Ahlussunnah wal Jamaah, bukan mazhab apalagi kelompok tertentu.
Mari kita simak penjelasan para ulama mengenai Hadits tersebut:
1. Hanya Berlaku di Masa Nabi ﷺ dan Kurun Terbaik Setelahnya
Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini sifatnya khusus berlaku di masa kenabian. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam Abu Daud rahimahullah:
كان هذا في حياته -صلى الله عليه وسلم، والقرن الذي كان منهم، والذين يلونهم، والذين يلونهم خاصّة
"Adalah ini berlaku di masa ketika masih hidupnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dan kurun setelahnya dan setelahnya lagi." [Syarh Zarqani (12/250)]
2. Untuk Mazhab Ahlul Madinah
Berkata Imam Al-Qurthubi rahimahullah:
فيه تنبيه على صحة مذهب أهل المدينة وسلامتهم من البدع، وأن عملهم حجة، كما رواه مالك
"Hadits tersebut menjadi tanda kebenaran Madzhab Ahli Madinah dan mereka steril dari bid'ah serta amalan mereka adalah hujjah, seperti pendapat yang dipegang oleh Imam Malik." [Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)]
Yang dimaksudkan madzhab Ahli Madinah adalah pendapat yang dipegang oleh para sahabat yang kala itu menetap di Madinah. Bukan mazhab penduduk Madinah setelahnya apalagi hari ini. Karena itulah Imam Ibnu Hajar menjelaskan maksud Imam Qurthubi di atas dengan mengatakan: "Pernyataan ini kalau benar, maka ia adalah khusus di masa Nabi ﷺ dan masa khalafaur Rasyidin. Adapun setelah terjadinya fitnah dan para sahabat tersebar di berbagai negeri, khususnya di akhir abad kedua Hijriyah dan setelahnya, yang terjadi malah sebaliknya." [Fath al Bari ( 4/94)]
3. Dimaknai Berduyun-duyunnya Manusia Ziarah ke Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits di atas sebagai sebuah majas, yakni akan banyak orang beriman pergi ke Madinah untuk mengunjungi Masjid Nabawi dan berziarah ke kubur Nabi ﷺ.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah:
ثم بعد ذلك في كل وقت إلى زماننا لزيارة قبر النبي صلى الله عليه وسلم والتبرك بمشاهده وآثاره وآثار أصحابه الكرام فلا يأتيها إلا مؤمن
"Kemudian di masa-masa berikutnya sampai zaman kita sekarang ini (Masa imam Nawawi), kaum muslimin silih berganti berziarah ke Madinah, untuk datang ke kubur Nabi ﷺ, bertabarruk dengan napak tilas tempat-tempat yang menjadi bekas beliau dan para shahabatnya yang mulia. Dan tidak ada yang datang ke sana kecuali orang beriman." [Syarah Muslim li Nawawi (2/177)]
4. Orang Mukmin akan Selalu Rindu Madinah
Sebagian ulama lainnya memaknai hadits ini sebagai gambaran kecintaan orang beriman kepada Kota Madinah. Sebagaimana ular adalah hewan yang gesit dan bersegera jika ia ingin kembali ke lubangnya, orang mukmin juga akan bersiap-siap dan bergegas ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Madinah.
Berkata Ibnu Battal rahimahullah:
فيه أن المدينة لا يأتيها إلا المؤمن، وإنما يسوقه إليها إيمانه ومحبته فى النبى صلى الله عليه وسلم فكأن الإيمان يرجع إليها كما خرج منها أولا، ومنها ينتشر كانتشار الحية من جحرها، ثم إذا راعها شىء رجعت إلى جحرها
"Hal ini karena memang Madinah tidak akan didatangi kecuali oleh orang beriman. Mereka merindukan Madinah karena keimanan dan kecintaan kepada Nabi ﷺ. Dan sebagaimana iman kembali ke Madinah sebagaimana ia pernah keluar berasal dari Madinah di awal (dakwah). Darinya tersebar dakwah sebagaimana ular keluar dari lubangnya dan ketika terancam juga kembali ke dalamnya." [Syarah Ibnu Batthal (4/548)]
Jika ditarik kesimpulan, tidak ada satupun ulama yang menjadikan hadits di atas sebagai dalil bahwa kelompok atau mazhab yang ada di Madinah lebih unggul dari yang lain. Apalagi sampai mengklaim pemahaman yang ada di sana lebih benar dari yang ada si tempat lain.
Demikian juga menjadikan hadits di atas dan hadits-hadits lainnya tentang keutamaan Madinah sebagai dalil sebaiknya berguru dan mengambil ilmu itu dari alumni-alumni Madinah jelas kengawuran tingkat tinggi.
Jika logikanya demikian, mengapa para ulama dahulu repot-repot ada yang keliling ke berbagai negeri-negeri Islam untuk menimba ilmu dari berbagai ulama di tempat tersebut. Ya kan haditsnya jelas itu, dan tentu ulama di masa itu jauh lebih berilmu dari ulama-ulama hari ini.
Kalau mereka hidup di masa itu, tentulah ulama seperti Imam Syafi'i akan ditahdzir oleh mereka karena keluar dari Madinah dan melanjutkan belajar ke Kufah. Begitu juga nasib para Muhaditsin yang lain akan dianggap menyimpang karena malah memilih negeri lain sebagai tempat untuk mengambil hadits.
Karena itulah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata: "Jika yang dimaksud adalah berlakunya keutamaan ini bagi seluruh penduduk Madinah sepanjang zaman, maka inilah yang menjadi titik tengkar sebenarnya. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk mengatakan demikian, sebab zaman belakangan setelah zaman para imam mujtahid tidak ada lagi di Madinah orang yang menandingi seorang pun dari generasi itu dalam hal ilmu dan keutamaan, apalagi seluruh penduduk Madinah. Bahkan, Madinah pernah ditempati oleh Ahli Bid'ah tercela yang tidak diragukan lagi kebusukan niat dan kejahatan akhlak mereka." [Fathul Bari (13/312)]
Wallahu A'lam
Baca Juga: Keutamaan Madinah, Kota Suci yang Tak Bisa Dimasuki Dajjal (Bagian 1)
Referensi:
[1] Syarh Zarqani (12/250)
[2] Al Ihsan fi at Taqrib fi shahih Ibnu Hibban (9/45)
[3] Fath al Bari ( 4/94)
[4] Syarah Muslim li Nawawi (2/177)
[5] Syarah Ibnu Batthal (4/548)
[6] Fathul Bari (13/312)
(rhs)