Hati-hati, Tanpa Izin Suami, Ibadah Sunnah Istri Jadi Haram
Senin, 27 Juli 2020 - 06:15 WIB
Dalam beberapa hari ke depan, kaum muslimin disunnahkan untuk menjalankan puasa sunnah di Bulan Dzulhijjah antara lain puasa tarwiyah dan puasa Arafah. Bagi muslimah yang terbiasa melakukan puasa sunnah tentu akan disambut gembira datangnya waktu berpuasa di bulan Dzulhijjah ini, karena memiliki pahala yang sangat besar dari Allah Ta'ala.
Namun demikian, bagi muslimah yang sudah bersuami ada aturan yang harus diperhatikan. Seperti apa dan bagaimana aturannya menurut pandangan syariat?
Dalam Islam, seorang istri yang hendak menjalankan ibadah sunnah harus mendapatkan izin dari suaminya. Artinya, ia tidak boleh mengerjakan puasa, haji, ataupun iktikaf tanpa izin suaminya atau jika itu bisa menghalangi hak suaminya.
Dr Abd al-Qadir Manshurdalam bukunya 'Buku Pintar Fikih Wanita' menjelaskan, hak suami itu wajib dipenuhi dan tidak boleh digugurkan dengan ibadah yang hukumnya sunah. Selain itu, menurut Abd al-Qadir, suami juga berhak bersenang-senang dengan tubuh istri, dan itu tidak bisa terpenuhi jika sang istri sedang mengerjakan puasa, haji, dan iktikaf. (Baca juga : Inilah Sosok Bersahaja dan Ketaatan Istri Penguasa )
Dalam hadis yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”(Muttafaq Alaih)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud, An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, larangan pada hadis di atas dimaksudkan untuk puasa tathawwu’(sunnah yang dianjurkan) dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. Hadis ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqaha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya. (Baca juga : Antara Doa, Zikir dan Wirid, Ini Perbedaannya )
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam:
1. Puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis)
2. Puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
Mengapa harus seizin suami? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadis yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.”[Fathul Bari, 9/296).
Kemudian Imam An Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.
Jika tidak ada alasan, maka sang istri wajib untuk melayani ajakan suaminya. Inilah hak suami atas istrinya dan demikian pula seharusnya seorang suami jika melihat istrinya ingin berhubungan badan, maka ia pun harus melayani.
Namun demikian, bagi muslimah yang sudah bersuami ada aturan yang harus diperhatikan. Seperti apa dan bagaimana aturannya menurut pandangan syariat?
Dalam Islam, seorang istri yang hendak menjalankan ibadah sunnah harus mendapatkan izin dari suaminya. Artinya, ia tidak boleh mengerjakan puasa, haji, ataupun iktikaf tanpa izin suaminya atau jika itu bisa menghalangi hak suaminya.
Dr Abd al-Qadir Manshurdalam bukunya 'Buku Pintar Fikih Wanita' menjelaskan, hak suami itu wajib dipenuhi dan tidak boleh digugurkan dengan ibadah yang hukumnya sunah. Selain itu, menurut Abd al-Qadir, suami juga berhak bersenang-senang dengan tubuh istri, dan itu tidak bisa terpenuhi jika sang istri sedang mengerjakan puasa, haji, dan iktikaf. (Baca juga : Inilah Sosok Bersahaja dan Ketaatan Istri Penguasa )
Dalam hadis yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.”(Muttafaq Alaih)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud, An Nawawi dalam Al Majmu’ (6/392) mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)
Sementara ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, larangan pada hadis di atas dimaksudkan untuk puasa tathawwu’(sunnah yang dianjurkan) dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. Hadis ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqaha. Ulama Hanafiyah menganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya. (Baca juga : Antara Doa, Zikir dan Wirid, Ini Perbedaannya )
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam:
1. Puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis)
2. Puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
Mengapa harus seizin suami? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadis yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.”[Fathul Bari, 9/296).
Kemudian Imam An Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.
Jika tidak ada alasan, maka sang istri wajib untuk melayani ajakan suaminya. Inilah hak suami atas istrinya dan demikian pula seharusnya seorang suami jika melihat istrinya ingin berhubungan badan, maka ia pun harus melayani.