Mengenal ISNA, Organisasi Islam Tertua di Amerika Utara
Rabu, 06 September 2023 - 14:13 WIB
Berbeda dengan ICNA/MAS, kemungkinan faktor utamanya mengundang saya sebagai narasumber karena kedekatan dengan tokoh-tokoh nasional mereka yang menjadi wajah publik Muslim Amerika. Imam Majid misalnya, salah seorang mantan Presiden ISNA, saat ini menjabat sebagai salah seorang anggota di Commission on International Religious Freedom. Juga Dr Saeed Syed yang sangat dikenal di kalangan birokrat di Capitol Hill maupun White House. Juga karena Direktur Program ISNA saat ini adalah juga alumni International Islamic University Islamabad, Pakistan seperti saya.
Yang ingin saya garisbawahi kali ini adalah di balik kebanggaan saya hadir sebagai pembicara, juga ada rasa sedih dan kecewa. Terlebih lagi sebagai seorang Muslim yang hadir dengan wajah atau minimal merasa mewakili sebuah bangsa Muslim terbesar dunia. Kesedihan itu karena dari dua puluhan ribu yang hadir di perhelatan akbar itu, hampir tidak ada warga Muslim asal Indonesia atau keturunan Indonesia. Pada pertemuan Chicago ini hanya ada 4-5 orang. Di antaranya sebagai vendor atau ikut bagian di bazar ISNA Convention.
Sering kali kita dengarkan keinginan bahkan ambisi bangsa ini untuk lebih dikenal dan punya akses global. Kenyataannya keinginan itu seringkali hanya mimpi-mimpi indah yang terbawa dalam lamunan yang panjang. Di berbagai perhelatan lintas Komunitas yang saya hadiri di Amerika hampir tidak terlihat wajah bangsa dan negara Muslim terbesar dunia itu.
Ternyata hal ini sekaligus menjadi salah satu jawaban dari kegalauan panjang saya selama ini. Kenapa muslim Indonesia masih saja belum punya akses dan masih minim memainkan peranan di kancah global? Bahkan diakui atau tidak, ada pandangan sebelah mata dan pertanyaan yang tak terucapkan oleh orang lain di luar sana. "Apa iya Muslim Indonesia juga bisa?".
Jawaban itu ternyata: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa hingga bangsa itu mengubah dirinya sendiri." Semoga kita tersadarkan!
Yang ingin saya garisbawahi kali ini adalah di balik kebanggaan saya hadir sebagai pembicara, juga ada rasa sedih dan kecewa. Terlebih lagi sebagai seorang Muslim yang hadir dengan wajah atau minimal merasa mewakili sebuah bangsa Muslim terbesar dunia. Kesedihan itu karena dari dua puluhan ribu yang hadir di perhelatan akbar itu, hampir tidak ada warga Muslim asal Indonesia atau keturunan Indonesia. Pada pertemuan Chicago ini hanya ada 4-5 orang. Di antaranya sebagai vendor atau ikut bagian di bazar ISNA Convention.
Sering kali kita dengarkan keinginan bahkan ambisi bangsa ini untuk lebih dikenal dan punya akses global. Kenyataannya keinginan itu seringkali hanya mimpi-mimpi indah yang terbawa dalam lamunan yang panjang. Di berbagai perhelatan lintas Komunitas yang saya hadiri di Amerika hampir tidak terlihat wajah bangsa dan negara Muslim terbesar dunia itu.
Ternyata hal ini sekaligus menjadi salah satu jawaban dari kegalauan panjang saya selama ini. Kenapa muslim Indonesia masih saja belum punya akses dan masih minim memainkan peranan di kancah global? Bahkan diakui atau tidak, ada pandangan sebelah mata dan pertanyaan yang tak terucapkan oleh orang lain di luar sana. "Apa iya Muslim Indonesia juga bisa?".
Jawaban itu ternyata: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa hingga bangsa itu mengubah dirinya sendiri." Semoga kita tersadarkan!
(rhs)
Lihat Juga :