Intelektualitas Al-Ghazali Berada di Tingkatan yang Sulit Dilampaui
Selasa, 04 Agustus 2020 - 16:49 WIB
PADA suatu waktu, ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang tua, Imam al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada universitas terkenal, Nizhamiyah di Baghdad. Kala itu usianya baru 33 tahun. (
)
Idries Shah dalam The Sufis yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi , menyebut Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam . Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya, Ihya' Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama).
Dibanding Jalaluddin Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), menurut Idries Shah , al-Ghazali saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis Nabi SAW ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).
( )
Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya, membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda belia.
)
Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun jatuh ke dalam Skeptisisme.
Mengembara
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas tahun periode darwisnya -- untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke latar belakang sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.
Ia mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara mendadak merendahkan diri memilih "jalan gelap", sebagai obat untuk segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai pada kebenaran obyektif
Selama periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya sebagai seorang terpelajar, di mana ia telah menyelamatkan teologi Muslim dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan penguasaan dirinya.
Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur, untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta kejelasan makna di dalam cara kaum sufi (kaum darwis), setiap kali ia memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri ceramahnya dengan kata-kata, "Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan."
Sufi yang mengembara itu berkata kepada dirinya sendiri, "Duhai penguasaan diri, betapa nikmat kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali."
Ahli teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan, tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud dari istilah "Tuhan" adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan formal.
"Aku telah berkunjung ke Syria," katanya, "dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku."
Idries Shah menjelaskan ia melakukan itu karena sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali hatinya telah siap "bermeditasi dengan Tuhan," sebagaimana dikatakannya.
Idries Shah dalam The Sufis yang diterjemahkan M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag. menjadi Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi , menyebut Intelektualitasnya benar-benar berada di tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam . Baginya, obyek pendidikan yang sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya, Ihya' Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama).
Dibanding Jalaluddin Rumi (yang baru menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), menurut Idries Shah , al-Ghazali saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus ribu Hadis Nabi SAW ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam (Pembela Islam).
( )
Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya, membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda belia.
)
Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun jatuh ke dalam Skeptisisme.
Mengembara
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas tahun periode darwisnya -- untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke latar belakang sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati dari dunia kebiasaan yang berlaku.
Ia mengaku bahwa telah menjadi seorang yang egois, dan sangat merindukan pujian dan pengakuan. Ketika menyadari bahwa dirinya telah menjadi sebuah penghalang dalam mencapai pemahaman yang benar, ia tidak secara mendadak merendahkan diri memilih "jalan gelap", sebagai obat untuk segala penyakit yang menawarkan jalan menuju banyak mistik. Ia menetapkan, bahwa akan menggunakan pengembangan kesadaran agar sampai pada kebenaran obyektif
Selama periode melepaskan urusan-urusan duniawi, setelah melepaskan karirnya sebagai seorang terpelajar, di mana ia telah menyelamatkan teologi Muslim dari kerusakan, al-Ghazali menceritakan bagaimana ia berjuang melawan penguasaan dirinya.
Ia telah mengembara di sepanjang wilayah Timur, untuk berziarah ke tempat-tempat suci dan mencari pencerahan serta kejelasan makna di dalam cara kaum sufi (kaum darwis), setiap kali ia memasuki sebuah masjid. Pada khotbahnya, sang Imam selalu mengakhiri ceramahnya dengan kata-kata, "Demikian Imam kita al-Ghazali mengatakan."
Sufi yang mengembara itu berkata kepada dirinya sendiri, "Duhai penguasaan diri, betapa nikmat kau dengar kata-kata itu. Sebelum kuceritakan kenikmatan ini berulangkali, aku telah meninggalkan tempat ini dengan segera, untuk pergi ke tempat yang tak ada seorang pun bicara tentang al-Ghazali."
Ahli teologi, yang telah menerima master di luar bidang-bidang keagamaan, tahu bahwa kesadaran tentang hal yang boleh jadi telah menjadi maksud dari istilah "Tuhan" adalah sesuatu yang hanya dapat diapresiasikan dengan makna-makna batin, bukan didapat melalui kerangka aneka keagamaan formal.
"Aku telah berkunjung ke Syria," katanya, "dan berdiam di sana selama dua tahun. Tak ada obyek lain kecuali mencari kesunyian, mengalahkan kepentingan diri, berjuang melawan nafsu, mencoba menjernihkan jiwa untuk menyempumakan watakku."
Idries Shah menjelaskan ia melakukan itu karena sufi tidak bisa masuk ke pemahaman kecuali hatinya telah siap "bermeditasi dengan Tuhan," sebagaimana dikatakannya.