Imam Al-Ghazali (1): Karya-Karyanya Tak Hanya Mendahului Zamannya

Senin, 03 Agustus 2020 - 14:16 WIB
loading...
Imam Al-Ghazali (1): Karya-Karyanya Tak Hanya Mendahului Zamannya
Imam Al-Ghazali. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
FILOSUF dan sufi abad keduabelas, Imam al-Ghazali , mengutip dalam bukunya, Book of Knowledge, ungkapan dari al-Mutanabbi: "Bagi orang sakit, air manis terasa pahit di mulut." ( )

Idries Shah dalam The Way of the Sufi, yang diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi Jalan Sufi: Reportase Dunia Ma'rifat menilai dengan sangat bagus, ungkapan tersebut diambil sebagai motto Imam al-Ghazali.

Delapan ratus tahun sebelum Pavlov, ia menjelaskan dan menekankan (acapkali dalam perumpamaan yang menarik, kadang dalam kata-kata 'modern' yang mengejutkan) masalah pengondisian. ( )

Kendati Pavlov dan lusinan buku serta laporan studi klinis dalam perilaku manusia sudah dibuat sejak perang Korea, menurut Idries Shah, para siswa umum, dihadapkan pada masalah-masalah pemikiran tidak menyadari kekuatan indoktrinasi.

"Indoktrinasi, dalam masyarakat totalitarian, merupakan suatu ketetapan yang diinginkan dan selanjutnya menjadi keyakinan masyarakat tersebut. Dalam pengelompokan lain, kehadirannya tidak mungkin ada bahkan dicurigai. Inilah yang membuat hampir setiap orang mudah menyerangnya," tuturnya.



Karya Imam al-Ghazali tidak hanya mendahului zamannya, tetapi juga melampui pengetahuan kontemporer mengenai masalah-masalah tersebut. Pada waktu opini disampaikan secara tertulis, dipisahkan apakah indoktrinasi (jelas maupun terselubung) diinginkan atau sebaliknya, juga apakah mutlak atau tidak.

Menurut Idries Shah, Imam al-Ghazali tidak hanya menjelaskan apakah orang-orang yang menciptakan kepercayaan, kemungkinan dalam keadaan terobsesi; dengan jelas ia menyatakan, sesuai dengan prinsip-prinsip sufi, bahwa hal itu bukannya tidak dapat dielakkan mutlak, tetapi menegaskan bahwa hal itu esensial untuk manusia agar dapat mengenalinya.

Buku-bukunya dibakar oleh kaum fanatik Mediteranian dari Spanyol sampai Syria. Sekarang ini memang tidak dilempar ke dalam api, tetapi pengaruhnya, kecuali di antara kaum sufi, mulai melemah; buku-buku tersebut tidak lagi banyak dibaca.



Menurutnya, perbedaan antara opini dan pengetahuan adalah sesuatu yang dapat hilang dengan mudah. Ketika hal ini terjadi, merupakan kewajiban atas mereka yang mengetahui perbedaan tersebut untuk menjelaskannya sebisa mungkin.

Kendati penemuan-penemuan, psikologi dan ilmu pengetahuan Imam al-Ghazali, dihargai secara luas oleh bermacam kalangan akademis, tetapi tidak diperhatikan sebagaimana mestinya, karena ia (al-Ghazali) secara spesifik menyangkal metode ilmiah atau logika sebagai sumber asli atau awal.

Menurut Idries Shah, Imam Ghazali berada pada pengetahuannya melalui pendidikan sufismenya, di antara kaum sufi, dan melalui bentuk pemahaman langsung tentang kebenaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan intelektual secara mekanis.



Tentu saja, kata Idries Shah lagi, hal ini membuatnya berada di luar lingkaran kalangan ilmuwan. "Apa yang lebih menimbulkan penasaran adalah bahwa temuan-temuannya begitu menakjubkan hingga orang akan berpikir, bahwa para penyelidik ingin mengetahui bagaimana dia telah menempuh atau mendapatkannya," ujarnya.

'Mistisisme' dijuluki dengan sebutan yang buruk seperti seekor anjing dalam sebuah peribahasa, jika tidak dapat digantung, setidaknya boleh diabaikan. Ini merupakan ukuran pelajaran psikologi: terimalah penemuan seseorang jika engkau tidak dapat menyangkalnya. Sebaliknya, abaikan metodenya jika tidak mengikuti keyakinanmu akan metode.



Jika Imam al-Ghazali tidak menghasilkan karya yang bermanfaat, secara alamiah ia akan dihargai hanya sebagai ahli mistik, dan membuktikan bahwa mistisisme tidak produktif, secara edukatif maupun sosial.

Pengaruh Imam al-Ghazali pada pemikiran Barat diakui sangat besar dalam semua sisi. Tetapi pengaruh itu sendiri menunjukkan hasil suatu pengondisian; para filosuf Kristen abad pertengahan yang telah banyak mengadopsi gagasan al-Ghazali secara sangat selektif, sepenuhnya mengabaikan bagian-bagian yang telah memperlakukan kegiatan indoktrinasi mereka.



Upaya membawa cara pemikiran al-Ghazali kepada audiens yang lebih luas, daripada kepada sufi yang terhitung kecil jumlahnya, merupakan perbedaan final antara keyakinan dan obsesi. Ia menekankan peran pendidikan dalam penanaman keyakinan religius, dan mengajak pembacanya untuk mengamati keterlibatan suatu mekanisme.

Ia bersikeras pada penjelasan, bahwa mereka yang terpelajar, mungkin saja dan bahkan sering, menjadi bodoh fanatik, dan terobsesi.

Ia menegaskan bahwa, di samping mempunyai informasi serta dapat mereproduksinya, terdapat suatu pengetahuan serupa, yang terjadi pada bentuk pemikiran manusia yang lebih tinggi.



Kebiasaan mengacaukan opini dan pengetahuan, adalah kebiasaan yang sering dijumpai setiap hari pada saat ini, Imam al-Ghazali menganggapnya seperti wabah penyakit.

Dalam memandang semua ini, dengan ilustrasi berlimpah serta dalam sebuah atmosfir yang tidak kondusif bagi sikap-sikap ilmiah, Imam al-Ghazali tidak hanya memainkan peranan sebagai seorang ahli diagnosa. Ia telah memperoleh pengetahuannya sendiri dalam sikap sufistik, dan menyadari bahwa pemahaman lebih tinggi -- menjadi seorang sufi -- hanya mungkin bagi orang-orang yang dapat melihat dan menghindari fenomena yang digambarkannya.



Imam al-Ghazali telah menghasilkan sejumlah buku dan menerbitkan banyak ajaran. Kontribusinya terhadap pemikiran manusia dan relevansi gagasan-gagasannya, ratusan tahun kemudian tidak diragukan lagi. (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4212 seconds (0.1#10.140)