Kisah Presiden Richard Nixon Mengeluh Hadapi Lobi Yahudi Amerika
Rabu, 25 Oktober 2023 - 12:40 WIB
Carter mengakui bahwa dia berada dalam kesulitan politik dengan Kongres dan orang-orang Yahudi Amerika. Pengakuan naif ini memberikan pada Dayan suatu keuntungan perundingan yang penting. Dayan memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya.
Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967.
Menurut Paul Findley, jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang."
Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."
Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.
Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington.
Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."
The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."
Hari Kekejian
Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif AIPAC Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 miliar bagi Israel.
Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi."
Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."
Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 miliar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel.
Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan."
Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.
Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.
Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar. Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.
Dia mengemukakan pada Presiden Carter sejumlah syarat untuk menyetujui perdamaian dengan Mesir: tidak boleh ada tekanan Amerika untuk memaksakan suatu penyelesaian, tidak ada potongan dalam bantuan militer dan ekonomi pada Israel, dan, akhirnya, suatu pernyataan oleh Amerika Serikat bahwa Israel tidak harus kembali ke perbatasan-perbatasan tahun 1967.
Menurut Paul Findley, jika syarat-syarat ini disetujui Carter, maka "Dayan dapat mengatakan pada orang-orang Yahudi Amerika bahwa persetujuan telah tercapai dan mereka akan senang."
Dayan menambahkan: "Namun jika dia mengatakan bahwa Israel berbicara dengan PLO mengenai suatu negara Palestina, maka akan timbul kecaman di Amerika Serikat dan Israel."
Ini hampir sama dengan pemerasan, menurut pendapat beberapa diplomat AS, namun Carter tidak memprotes apa pun dan hanya mengemukakan pernyataan lunak bahwa suatu konfrontasi juga tidak akan mendatangkan kebaikan pada Israel.
Pada 1972, Yitzhak Rabin tidak ragu-ragu untuk memberikan dukungan publiknya bagi kampanye pemilihan kembali Richard Nixon ketika Rabin berkedudukan sebagai duta besar Israel di Washington.
Dalam suatu wawancara pada radio nasional Israel, Rabin berkata: "Sementara kita menghargai dukungan dalam bentuk kata-kata yang kita dapatkan dari satu kamp, kita harus lebih memilih dukungan dalam bentuk perbuatan yang kita dapatkan dari kamp lainnya."
The Washington Post merasa begitu tersinggung dengan apa yang disebutnya campur tangan Rabin dalam politik dalam negeri Amerika sehingga dia dengan keras mengecam Rabin dalam sebuah tajuk rencana berjudul: "Diplomat Yang Tidak Diplomatis."
Hari Kekejian
Pada pertemuan AIPAC tahun 1992, Direktur Eksekutif AIPAC Dine secara langsung menentang Presiden Bush karena perkataannya pada bulan September sebelumnya yang mengecam upaya-upaya lobi AIPAC untuk mendapatkan garansi pinjaman $10 miliar bagi Israel.
Dine mengatakan bahwa Bush telah "mempertanyakan hak para warga negara Amerika... untuk melakukan lobi dalam masalah ini. Tanggal 12 September 1992 menjadi hari kekejian bagi komunitas Amerika pro-Israel. Seperti gajah India, kita tidak akan lupa. Kita tidak akan pergi. Kita ada di sini. Dan kita tidak mau diintimidasi."
Dine mengatakan bahwa masalah garansi pinjaman $10 milyar belum lewat: "Kita tidak dapat dan tidak mau menyerah sampai kita berhasil. Pada akhirnya, kita akan berhasil, mendapatkan garansi ini. Tugas kita baru saja dimulai. Kita perlu mendapatkan kawan-kawan baru untuk dibawa ke kongres."
Pada 1992 AIPAC terkena serangkaian pukulan keras. Pada bulan Agustus Yitzhak Rabin, yang baru menjabat sebagai perdana menteri, secara terbuka mencela organisasi itu. Karena semangatnya untuk melicinkan jalan guna mendapatkan persetujuan Bush yang diharapkan atas garansi pinjaman $10 miliar untuk Israel, dan pada saat yang sama menguatkan kontrol pribadinya atas hubungan AS-Israel.
Rabin menujukan kata-kata keras pada para pemimpin AIPAC: "Kalian telah gagal dalam segalanya. Kalian telah kalah perang. Kalian menciptakan terlalu banyak permusuhan."
Pada bulan November Presiden AIPAC David Steiner meletakkan jabatannya ketika koran-koran mempublikasikan klaim-klaimnya menyangkut pengaruh lobi yang kuat di kalangan staf presiden terpilih, Bill Clinton.
Pada pemilihan pendahuluan dan pemilihan umum, sebagian dari para pendukung lobi yang paling vokal dan dapat dipercaya ternyata kalah; yang menonjol di antara mereka adalah Senator W. Kasten, Jr., dan Wakil Stephen J. Solarz dari New York, Mel Levine dari California, dan Lawrence J. Smith dari Florida.
Meskipun terjadi kemunduran, ramalan-ramalan tentang "pencairan" di AIPAC tidaklah berdasar. Dengan anggaran tahunan $15 juta dan lebih dari 55.000 pendukung kuat, banyak di antaranya yang mempunyai pengaruh politik, kelangsungan hidup lobi itu tetap terjamin.