Kisah Israel Menjadikan Baitul Maqdis Milik Yahudi, Bermula dari Tembok Ratapan
Rabu, 01 November 2023 - 08:40 WIB
Nasib Baitul Maqdis 'Masjid al Aqsha' kini kian mengenaskan dan sangat menyakitkan. Provokasi mobilisasi Yahudi oleh Israel tampak jelas dan terang-terangan ke arah ini sejak tahun 1920-an.
Pada mulanya orang-orang Yahudi memfokuskan tuntutannya pada sisi barat tembok masjid al Aqsha 'Tembok Buraq' yang mereka namakan dengan ' tembok ratapan '.
"Tembok dan daerah sekitarnya pada hakikatnya adalah tanah wakaf Islam tetap yang memiliki nota dan dokumen, dan itu diakui bahkan oleh tim investigasi internasional," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Beberapa hari setelah pendudukan al Quds, Zionis Yahudi menghancurkan kampung al Mugharabah yang berhadapan dengan tembok barat Masjid al Aqsha. Di sini terdapat Tembok Buraq atau yang mereka sebut dengan tembok ratapan.
Kampung al Mugharabah terdiri dari 135 rumah dan dua masjid. Kala itu, kampung ini dihabisi, rata dengan tanah. Selanjutnya dijadikan area terbuka yang digunakan orang-orang untuk ibadah mereka, meskipun tanah ini adalah wakaf Islam.
Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sejak itu mulailah Yahudi melancarkan operasi penggalian di bawah masjid al Aqsha dan daerah sekitarnya. "Mereka memfokuskan operasi ini di daerah barat dan selatan masjid, sebagai upaya untuk mewujudkan bukti apapun bagi haikal yang mereka klaim," ujarnya.
Kala itu, yang mereka dapatkan justru sebagian besar adalah peninggalan-peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds.
Sejak tahun 1967 hingga tahun 2000 operasi penggalian ini telah melewati 10 periode (tahap), yang dilakukan dengan giat namun tenang dan diam-diam.
Selama itu mereka memfokuskan penggalian pada sisi barat dan selatan masjid al Aqsha, untuk itu pula mereka melakukan penggusuran dan penghancuran banyak masjid bangunan-bangunan bersejarah Islam.
Misalnya, kata Muhsin Muhammad Shaleh, pada 14 – 20 Juni 1969 mereka menghancurkan 31 bangunan bersejarah Islam dan mengusir warganya, serta penggalian terowongan di bawah masjid al Aqsha.
"Tapi yang mereka dapatkan adalah peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds, hal ini semakin menambah kedengkian dan hasad mereka," ujar Muhsin Muhammad Shaleh lagi.
Penggalian ini mencapai tahap yang sangat membahayakan ketika mereka mengosongkan tanah dan batu dari bawah masjid al Aqsha dan masjid Qubatus Shakhra’. Mereka menggunakan bahan kimia untuk meleburkan batu-batu tersebut, yang menjadikan masjid al Aqsha siap runtuh kapan saja oleh topan yang kuat atau dengan gempa ringan (baik itu buatan atau alami).
Serangan
Muhsin Muhammad Shaleh mengatakan Yahudi melakukan serangan-serangan permusuhan terhadap masjid al Aqsha. Selama tahun 1967 – 1990 telah terjadi 40 kali serangan.
"Berbagai kompromi damai dan perjanjian Oslo tidak juga dapat menghentikan penyerangan-penyerangan yang mereka lakukan. Bahkan selama tahun 1993 – 1998 tercatat ada 72 kali aksi serangan," ujarnya.
Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sebuah data yang menunjukkan meningkatnya aksi-aksi biadab mereka terhadap salah satu tempat suci kaum muslimin. Serangan yang paling menonjol adalah aksi pembakaran masjid al Aqsha pada 21 Agustus tahun 1869 dengan tertuduh seorang Nasrani fanatik bernama Denis Mikel Rohan yang berafiliasi ke Gereja Allah.
Akibat aksi ini api membakar seluruh isi dan tembok masjid, juga membakar mimbar agung masjid yang dibuat oleh Nuruddin Zinki dan diletakkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di dalam masjid pasca pembebasan al Aqsha dari tangan Kaum Salib pada tahun 1187.
Setelah dilakukan pengadilan simbolik, Zionis Yahudi membebaskan Rohan dengan vonis dia tidak bertanggung jawab melakukan tindak pidana karena dia gila. Kala itu pihak rezim penjajah Israel sengaja terlambat memberikan bantuan untuk memadamkan kebakaran, bahkan menghalangi upaya ribuan kaum muslimin yang berbondong-bondong memadamkan api.
Pada mulanya orang-orang Yahudi memfokuskan tuntutannya pada sisi barat tembok masjid al Aqsha 'Tembok Buraq' yang mereka namakan dengan ' tembok ratapan '.
"Tembok dan daerah sekitarnya pada hakikatnya adalah tanah wakaf Islam tetap yang memiliki nota dan dokumen, dan itu diakui bahkan oleh tim investigasi internasional," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya".
Beberapa hari setelah pendudukan al Quds, Zionis Yahudi menghancurkan kampung al Mugharabah yang berhadapan dengan tembok barat Masjid al Aqsha. Di sini terdapat Tembok Buraq atau yang mereka sebut dengan tembok ratapan.
Kampung al Mugharabah terdiri dari 135 rumah dan dua masjid. Kala itu, kampung ini dihabisi, rata dengan tanah. Selanjutnya dijadikan area terbuka yang digunakan orang-orang untuk ibadah mereka, meskipun tanah ini adalah wakaf Islam.
Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sejak itu mulailah Yahudi melancarkan operasi penggalian di bawah masjid al Aqsha dan daerah sekitarnya. "Mereka memfokuskan operasi ini di daerah barat dan selatan masjid, sebagai upaya untuk mewujudkan bukti apapun bagi haikal yang mereka klaim," ujarnya.
Kala itu, yang mereka dapatkan justru sebagian besar adalah peninggalan-peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds.
Sejak tahun 1967 hingga tahun 2000 operasi penggalian ini telah melewati 10 periode (tahap), yang dilakukan dengan giat namun tenang dan diam-diam.
Selama itu mereka memfokuskan penggalian pada sisi barat dan selatan masjid al Aqsha, untuk itu pula mereka melakukan penggusuran dan penghancuran banyak masjid bangunan-bangunan bersejarah Islam.
Misalnya, kata Muhsin Muhammad Shaleh, pada 14 – 20 Juni 1969 mereka menghancurkan 31 bangunan bersejarah Islam dan mengusir warganya, serta penggalian terowongan di bawah masjid al Aqsha.
"Tapi yang mereka dapatkan adalah peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds, hal ini semakin menambah kedengkian dan hasad mereka," ujar Muhsin Muhammad Shaleh lagi.
Penggalian ini mencapai tahap yang sangat membahayakan ketika mereka mengosongkan tanah dan batu dari bawah masjid al Aqsha dan masjid Qubatus Shakhra’. Mereka menggunakan bahan kimia untuk meleburkan batu-batu tersebut, yang menjadikan masjid al Aqsha siap runtuh kapan saja oleh topan yang kuat atau dengan gempa ringan (baik itu buatan atau alami).
Serangan
Muhsin Muhammad Shaleh mengatakan Yahudi melakukan serangan-serangan permusuhan terhadap masjid al Aqsha. Selama tahun 1967 – 1990 telah terjadi 40 kali serangan.
"Berbagai kompromi damai dan perjanjian Oslo tidak juga dapat menghentikan penyerangan-penyerangan yang mereka lakukan. Bahkan selama tahun 1993 – 1998 tercatat ada 72 kali aksi serangan," ujarnya.
Menurut Muhsin Muhammad Shaleh, sebuah data yang menunjukkan meningkatnya aksi-aksi biadab mereka terhadap salah satu tempat suci kaum muslimin. Serangan yang paling menonjol adalah aksi pembakaran masjid al Aqsha pada 21 Agustus tahun 1869 dengan tertuduh seorang Nasrani fanatik bernama Denis Mikel Rohan yang berafiliasi ke Gereja Allah.
Akibat aksi ini api membakar seluruh isi dan tembok masjid, juga membakar mimbar agung masjid yang dibuat oleh Nuruddin Zinki dan diletakkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di dalam masjid pasca pembebasan al Aqsha dari tangan Kaum Salib pada tahun 1187.
Setelah dilakukan pengadilan simbolik, Zionis Yahudi membebaskan Rohan dengan vonis dia tidak bertanggung jawab melakukan tindak pidana karena dia gila. Kala itu pihak rezim penjajah Israel sengaja terlambat memberikan bantuan untuk memadamkan kebakaran, bahkan menghalangi upaya ribuan kaum muslimin yang berbondong-bondong memadamkan api.
(mhy)