Hukum Nikah: Bisa Wajib, Haram dan Makruh, Begini Penjelasannya
Selasa, 28 November 2023 - 14:33 WIB
Nikah jadi wajib jika orang sudah stabil finansialnya dan mampu untuk adil pada wanita yang dinikahinya serta mempunyai praduga yang kuat bahwa ia akan melakukan zina jika tidak menikah .
Muhammad Abu Zahrah dalam kita "Tarikh Al-Madhahib Al-Islamiyyah Fi Siyasah Wa Aqa’id Wa Tarikh Al Madhahib Al-Fiqhiyyah" menjelaskan perbedaannya dengan hukum nikah yang fardhu adalah jika dalam hukum fardhu, dalilnya dan penyebabnya sudah qath’i atau pasti.
"Sedangkan dalam hukum wajib nikah, dalil dan sebab-sebabnya adalah atas dẓanni atau dugaan yang kuat," ujarnya.
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abud Wahab Sayyed Hawasd dalam buku "Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak" (Jakarta: Amzah, 2011) mengatakan nikah dapat menjadi haram jika finansial yang dimiliki oleh seseorang belum stabil dan nantinya akan menganiaya keluarga jika dipaksakan menikah.
"Nikah dalam kondisi ini jelas dikatakan haram karena dalam Islam tujuan menikah ialah untuk meraih kemaslahatan dunia akhirat," jelasnya.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, kemaslahatan ini tidak mungkin tercapai apabila pernikahan hanya dijadikan pelampiasan, penganiayaan, kekerasan, dan lain sebagainya yang hukumnya adalah wajib untuk menjauhi atau tidak memasuki pernikahan tersebut agar menghindarkan dari perbuatan haram. Meninggalkan pernikahan menjadi salah satu alternatif utama yang diharapkan.
Slamet Abidin dan Aminuddin dalam buku "Fiqh Munakahat" (Bandung: Pustaka Setia, 1999) menyebut menurut madzhab Syafi’i menikah berhukum makruh untuk seseorang yang memiliki kekhawatiran tidak bisa memenuhi kewajiban terhadap sang istri.
Menjadi makruh jika seseorang berada di antara keduanya, misalnya seseorang telah mampu secara finansial dan mengkhawatirkan zina, tetapi yakin bisa menganiaya istri jika menikah.
Aulia Muthiah dalam buku "Hukum Islam, Dinamika Seputar Hukum Keluarga" (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017) mengatakan pernikahan juga dapat dihukumi mubah jika seseorang masih bisa mempertahankan nafsunya untuk tidak berbuat zina tapi ia belum berniat mempunyai keturunan dan jika ia menikah pun ibadah sunnahnya tidak sampai tertinggal atau terlantar.
Muhammad Abu Zahrah dalam kita "Tarikh Al-Madhahib Al-Islamiyyah Fi Siyasah Wa Aqa’id Wa Tarikh Al Madhahib Al-Fiqhiyyah" menjelaskan perbedaannya dengan hukum nikah yang fardhu adalah jika dalam hukum fardhu, dalilnya dan penyebabnya sudah qath’i atau pasti.
"Sedangkan dalam hukum wajib nikah, dalil dan sebab-sebabnya adalah atas dẓanni atau dugaan yang kuat," ujarnya.
Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abud Wahab Sayyed Hawasd dalam buku "Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak" (Jakarta: Amzah, 2011) mengatakan nikah dapat menjadi haram jika finansial yang dimiliki oleh seseorang belum stabil dan nantinya akan menganiaya keluarga jika dipaksakan menikah.
"Nikah dalam kondisi ini jelas dikatakan haram karena dalam Islam tujuan menikah ialah untuk meraih kemaslahatan dunia akhirat," jelasnya.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, kemaslahatan ini tidak mungkin tercapai apabila pernikahan hanya dijadikan pelampiasan, penganiayaan, kekerasan, dan lain sebagainya yang hukumnya adalah wajib untuk menjauhi atau tidak memasuki pernikahan tersebut agar menghindarkan dari perbuatan haram. Meninggalkan pernikahan menjadi salah satu alternatif utama yang diharapkan.
Slamet Abidin dan Aminuddin dalam buku "Fiqh Munakahat" (Bandung: Pustaka Setia, 1999) menyebut menurut madzhab Syafi’i menikah berhukum makruh untuk seseorang yang memiliki kekhawatiran tidak bisa memenuhi kewajiban terhadap sang istri.
Menjadi makruh jika seseorang berada di antara keduanya, misalnya seseorang telah mampu secara finansial dan mengkhawatirkan zina, tetapi yakin bisa menganiaya istri jika menikah.
Aulia Muthiah dalam buku "Hukum Islam, Dinamika Seputar Hukum Keluarga" (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2017) mengatakan pernikahan juga dapat dihukumi mubah jika seseorang masih bisa mempertahankan nafsunya untuk tidak berbuat zina tapi ia belum berniat mempunyai keturunan dan jika ia menikah pun ibadah sunnahnya tidak sampai tertinggal atau terlantar.
(mhy)