Konspirasi Yahudi: Munculnya Adolf Hitler di Tengah Krisis Ekonomi Jerman
Minggu, 17 Desember 2023 - 12:44 WIB
Adolf Hitler (1889 – 1945) adalah Ketua Partai Nazi atau Partai Pekerja Jerman Sosialis Nasional. Tokoh kelahiran Austria ini menjabat sebagai Kanselir Jerman sejak 1933 sampai 1945 dan diktator Jerman Nazi mulai tahun 1934 sampai 1945. Hitler menjadi tokoh utama Jerman Nazi, Perang Dunia II di Eropa, dan Holocaust .
Kegiatan lembaga keuangan besar di Eropa dan Amerika yang memberikan kredit besar-besaran kepada industri Jerman yang sedang bangkit membuka jalan bagi lahirnya militerisme Jerman di bawah pimpinan Hitler.
"Hanya saja, faktor yang sebenarnya menaikkan bintang Hitler dan suhu kondisi Eropa adalah sisi gelap dari kondisi politik yang ada antara tahun 1924-1934," tulis William G. Carr dalam bukunya berjudul "Yahudi Menggenggam Dunia" (Pustaka Kautsar, 1993). '
Bangsa Jerman keluar dari perang penuh dengan kepahitan, dan perjanjian Versailles menjerat Jerman dengan rantai berupa kewajiban negara yang kalah perang dan kekacauan sosial melanda negara itu, serta sistem pemerintahannya runtuh berkeping-keping, betapa pun bangsa Jerman dikenal sebagai bangsa yang ulet dan rajin bekerja.
Kepedihan itu makin bertambah dengan meningkatnya kekacauan dan penghinaan yang dilontarkan oleh negara-negara sekutu yang Jerman tidak mampu membalasnya.
Marah dan dendam terus ditahan, sambil melihat dengan berat kenyataan yang ada di hadapannya.
Mayoritas bangsa Jerman tahu, bahwa angkatan bersenjatanya belum kalah perang. Jerman belum menyerah, bahkan bisa dikatakan lebih mendekati kemenangan.
Jerman-lah yang melakukan penyerbuan dari segala penjuru tahun 1918, yaitu pada akhir Perang Dunia I.
Dengan kata lain, Jerman pada masa akhir perang itu masih tetap merupakan pihak yang mengambil prakarsa. Akan tetapi, Jerman ditikam dari belakang oleh kelompok Yahudi, yang membuat onar dan kekacauan dalam jajaran angkatan bersenjata Jerman, dan bergabungnya Amerika ke dalam barisan sekutu dari faktor luar.
Kepemimpinan Roza Luxemburg beserta para pendukung Yahudinya dari partai Komunis Jerman, peran kaum Komunis yang membuat kekacauan di Jerman, disusul denganpemberontakan Komunis, semua itu merupakan kenangan abadi yang pahit bagi Jerman, bahwa orang Yahudi di mata mereka adalah sekutu musuh Jerman.
Perjanjian Versailles muncul pada saat kondisi psikologis, politik dan sosial dalam keadaan tidak menentu, penuh dengan dendam kesumat yang dieksploitasi oleh para pemilik modal internasional, yang akhirnya semua itu dapat terungkap.
Semangat anti Yahudi tumbuh subur mewarnai aspirasi nasional bangsa Jerman secara menyeluruh.
Faktor Ekonomi
Bukan hanya rakyat jelata Jerman yang mengalami perasaan seperti itu. Para cendekiawan khususnya di kalangan pemerintahan, dan para ahli ekonomi itu juga merasakan hal itu.
Akan tetapi, perhatian mereka dicurahkan ke masalah vital lainnya, yaitu masalah ekonomi. Mereka menyadari adanya jurang yang membuat Jerman terperosok ke dalamnya, setelah para pemilik modal internasional menguasai perekonomian negara itu, sehingga Jerman secara ekonomi menggantungkan diri kepada kredit luar negeri, yang ada hubungannya secara langsung dengan lembaga keuangan internasional lewat bank negara-negara besar.
Para cendekiawan dan politisi Jerman bukan tidak tahu adanya bahaya utang-piutang semacam itu yang mencekik leher, ibarat tangan ikan gurita yang melilit mangsanya sedikit demi sedikit yang akhirnya bisa mematikan itu.
Bunga kredit itu, dan bunga dari bunganya senantiasa bertambah terus menerus, yang akhirnya berkembang menjadi berlipat ganda dari kredit semula. Untuk membayar kredit itu pemerintah terpaksa menaikkan pajak yang dikenakan pada rakyatnya dari hasil pertanian, industri, perdagangan dan income nasional.
Kegiatan lembaga keuangan besar di Eropa dan Amerika yang memberikan kredit besar-besaran kepada industri Jerman yang sedang bangkit membuka jalan bagi lahirnya militerisme Jerman di bawah pimpinan Hitler.
"Hanya saja, faktor yang sebenarnya menaikkan bintang Hitler dan suhu kondisi Eropa adalah sisi gelap dari kondisi politik yang ada antara tahun 1924-1934," tulis William G. Carr dalam bukunya berjudul "Yahudi Menggenggam Dunia" (Pustaka Kautsar, 1993). '
Bangsa Jerman keluar dari perang penuh dengan kepahitan, dan perjanjian Versailles menjerat Jerman dengan rantai berupa kewajiban negara yang kalah perang dan kekacauan sosial melanda negara itu, serta sistem pemerintahannya runtuh berkeping-keping, betapa pun bangsa Jerman dikenal sebagai bangsa yang ulet dan rajin bekerja.
Kepedihan itu makin bertambah dengan meningkatnya kekacauan dan penghinaan yang dilontarkan oleh negara-negara sekutu yang Jerman tidak mampu membalasnya.
Marah dan dendam terus ditahan, sambil melihat dengan berat kenyataan yang ada di hadapannya.
Mayoritas bangsa Jerman tahu, bahwa angkatan bersenjatanya belum kalah perang. Jerman belum menyerah, bahkan bisa dikatakan lebih mendekati kemenangan.
Jerman-lah yang melakukan penyerbuan dari segala penjuru tahun 1918, yaitu pada akhir Perang Dunia I.
Dengan kata lain, Jerman pada masa akhir perang itu masih tetap merupakan pihak yang mengambil prakarsa. Akan tetapi, Jerman ditikam dari belakang oleh kelompok Yahudi, yang membuat onar dan kekacauan dalam jajaran angkatan bersenjata Jerman, dan bergabungnya Amerika ke dalam barisan sekutu dari faktor luar.
Kepemimpinan Roza Luxemburg beserta para pendukung Yahudinya dari partai Komunis Jerman, peran kaum Komunis yang membuat kekacauan di Jerman, disusul denganpemberontakan Komunis, semua itu merupakan kenangan abadi yang pahit bagi Jerman, bahwa orang Yahudi di mata mereka adalah sekutu musuh Jerman.
Perjanjian Versailles muncul pada saat kondisi psikologis, politik dan sosial dalam keadaan tidak menentu, penuh dengan dendam kesumat yang dieksploitasi oleh para pemilik modal internasional, yang akhirnya semua itu dapat terungkap.
Semangat anti Yahudi tumbuh subur mewarnai aspirasi nasional bangsa Jerman secara menyeluruh.
Faktor Ekonomi
Bukan hanya rakyat jelata Jerman yang mengalami perasaan seperti itu. Para cendekiawan khususnya di kalangan pemerintahan, dan para ahli ekonomi itu juga merasakan hal itu.
Akan tetapi, perhatian mereka dicurahkan ke masalah vital lainnya, yaitu masalah ekonomi. Mereka menyadari adanya jurang yang membuat Jerman terperosok ke dalamnya, setelah para pemilik modal internasional menguasai perekonomian negara itu, sehingga Jerman secara ekonomi menggantungkan diri kepada kredit luar negeri, yang ada hubungannya secara langsung dengan lembaga keuangan internasional lewat bank negara-negara besar.
Para cendekiawan dan politisi Jerman bukan tidak tahu adanya bahaya utang-piutang semacam itu yang mencekik leher, ibarat tangan ikan gurita yang melilit mangsanya sedikit demi sedikit yang akhirnya bisa mematikan itu.
Bunga kredit itu, dan bunga dari bunganya senantiasa bertambah terus menerus, yang akhirnya berkembang menjadi berlipat ganda dari kredit semula. Untuk membayar kredit itu pemerintah terpaksa menaikkan pajak yang dikenakan pada rakyatnya dari hasil pertanian, industri, perdagangan dan income nasional.