Begini Wasiat Umar bin Khattab kepada Khalifah Penggantinya
Selasa, 19 Desember 2023 - 13:50 WIB
Menjelang wafat, Khalifah Umar bin Khattab menunjuk 6 orang sahabat Nabi Muhammad SAW sebagai calon penggantinya. Mereka adalah Usman bin Affan , Ali bin Abi Thalib , Zubair bin Awwam , Talhah bin Ubaidillah , Abdur-Rahman bin Auf dan Sa'ad bin Abi Waqqas .
Mereka diminta bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi khalifah menggantikan dirinya.
"Umar tidak cukup hanya menyerahkan majelis syura itu ke tangan keenam tokoh itu bahkan ia ingin sekali berpesan kepada khalifah sesudahnya, yang menurut pendapatnya akan merupakan kebijakan yang lebih baik, negara akan lebih tenteram dan dengan itu Islam akan lebih terhormat," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Umar bin Khattab antara lain mengatakan: "Pesan saya kepada khalifah yang akan datang bertakwalah kepada Allah, menjaga kaum Muhajirin yang mula-mula, menjaga hak-hak mereka dan menghormati mereka."
"Saya berwasiat agar memperhatikan segenap penduduk daerah-daerah perbatasan, sebab mereka itulah perisai Islam dan momok bagi lawan."
"Para pemungut pajak hendaknya memberlakukan hanya atas kelebihannya dan dengan kerelaan pihak yang bersangkutan."
"Mengenai kaum Ansar yang telah bertempat tinggal (di Madinah) dan sudah beriman, saya mewasiatkan agar segala amal kebaikan mereka diterima baik dan segala kekurangan mereka dimaafkan."
"Mengenai orang-orang Arab pedalaman saya pesankan agar mereka diperhatikan. Mereka itulah asal usul orang Arab dan menjadi bahan baku Islam. Ambillah dari yang berkelebihan dari mereka dan berikanlah kepada kaum fakir miskin di kalangan mereka."
"Mengenai mereka yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya (kaum zimmi) saya berpesan agar segala janji dengan mereka dipenuhi dan janganlah mereka dipaksa di luar kemampuan mereka, dan agar memerangi siapa pun yang bersembunyi di belakang mereka."
Wasiat ini masih ditambah lagi oleh beberapa sejarawan dengan mengatakan: "Ya Allah, sudahkah kusampaikan?! Kutinggalkan khalifah yang sesudahku dengan hati lega."
Umar bin Khattab hanya mampu berkata-kata di pembaringan dalam kondisi luka parah karena ditikam Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah. Setelah terkena tikam itu Umar selalu memikirkan nasib umat Islam.
Haekal mengatakan sepeninggalnya nanti ia ingin sekali bibit-bibit pendapatnya mengenai hasil ijtihadnya itu jangan disia-siakan, mana-mana yang belum meyakinkan dan belum ada kepastian kebenarannya.
Dia sudah menuliskan pendapat hasil ijtihadnya mengenai kewajiban terhadap pihak kakek di atas tulang bahu binatang pada sore hari ketika ia terkena tikam.
Setelah diketahuinya bahwa bekas tikaman itu mematikan ia berkata kepada Abdullah anaknya: "Bawa ke mari tulang yang sudah saya tulis kemarin mengenai soal kakek itu."
Maksudnya akan menghapus apa yang sudah ditulisnya itu supaya jangan diprotes orang sesudah dia tak ada.
Abdullah berkata: "Amirulmukminin, cukup kamilah untuk menyelesaikan soal ini."
Bagi Abdullah rupanya tidak mudah untuk menghapus dan membiarkan ayahnya yang sedang menghadapi luka-lukanya. Tetapi Umar menolak dan katanya: "Tidak!"
Ia tidak puas sebelum tulang itu dibawa dan menghapus tulisan itu dengan tangannya sendiri.
Haekal mengatakan kita masih ingat ketika memulai pemerintahannya Umar memerintahkan supaya tawanan Perang Riddah dibebaskan dan dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, dengan mengatakan kepada mereka: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab."
Hal ini membawa pengaruh yang besar sekali terhadap meluasnya kemenangan. Semua kaum Riddah itu di Semenanjung Arab. Mereka itu dari suku-suku dan kabilah-kabilah Arab yang dulu berimigrasi ke Syam dan ke Irak, dan ada pula yang jatuh ke tangan pasukan Muslimin sebagai tawanan selama perang yang terus-menerus.
Setelah Umar melihat bahwa ajalnya sudah pasti sampai, ia ingin melihat persatuan yang lebih kuat dan lebih dapat dibanggakan. Ia berkata sementara ia masih di tempat tidur: "Kalau ada tawanan orang Arab yang masih hidup waktu aku meninggal, maka bebaslah dia."
Menurut Haekal, kata-kata ini bukanlah ijtihad dari dia yang menyalahi pendapatnya yang lama, melainkan sebaliknya merupakan penerapan yang persis sekali dengan kata-katanya: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab."
Barangkali dia khawatir penggantinya tidak akan menerapkan hasil ijtihadnya saat ia tampil sebagai pengganti. Dia tidak ingin melepaskan dunia ini sebelum terlaksana apa yang sudah dimulainya itu, dan sebelum semua orang Arab bebas.
Mereka diminta bermusyawarah untuk menentukan siapa yang akan menjadi khalifah menggantikan dirinya.
"Umar tidak cukup hanya menyerahkan majelis syura itu ke tangan keenam tokoh itu bahkan ia ingin sekali berpesan kepada khalifah sesudahnya, yang menurut pendapatnya akan merupakan kebijakan yang lebih baik, negara akan lebih tenteram dan dengan itu Islam akan lebih terhormat," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Umar bin Khattab antara lain mengatakan: "Pesan saya kepada khalifah yang akan datang bertakwalah kepada Allah, menjaga kaum Muhajirin yang mula-mula, menjaga hak-hak mereka dan menghormati mereka."
"Saya berwasiat agar memperhatikan segenap penduduk daerah-daerah perbatasan, sebab mereka itulah perisai Islam dan momok bagi lawan."
"Para pemungut pajak hendaknya memberlakukan hanya atas kelebihannya dan dengan kerelaan pihak yang bersangkutan."
"Mengenai kaum Ansar yang telah bertempat tinggal (di Madinah) dan sudah beriman, saya mewasiatkan agar segala amal kebaikan mereka diterima baik dan segala kekurangan mereka dimaafkan."
"Mengenai orang-orang Arab pedalaman saya pesankan agar mereka diperhatikan. Mereka itulah asal usul orang Arab dan menjadi bahan baku Islam. Ambillah dari yang berkelebihan dari mereka dan berikanlah kepada kaum fakir miskin di kalangan mereka."
"Mengenai mereka yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya (kaum zimmi) saya berpesan agar segala janji dengan mereka dipenuhi dan janganlah mereka dipaksa di luar kemampuan mereka, dan agar memerangi siapa pun yang bersembunyi di belakang mereka."
Wasiat ini masih ditambah lagi oleh beberapa sejarawan dengan mengatakan: "Ya Allah, sudahkah kusampaikan?! Kutinggalkan khalifah yang sesudahku dengan hati lega."
Umar bin Khattab hanya mampu berkata-kata di pembaringan dalam kondisi luka parah karena ditikam Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah. Setelah terkena tikam itu Umar selalu memikirkan nasib umat Islam.
Haekal mengatakan sepeninggalnya nanti ia ingin sekali bibit-bibit pendapatnya mengenai hasil ijtihadnya itu jangan disia-siakan, mana-mana yang belum meyakinkan dan belum ada kepastian kebenarannya.
Dia sudah menuliskan pendapat hasil ijtihadnya mengenai kewajiban terhadap pihak kakek di atas tulang bahu binatang pada sore hari ketika ia terkena tikam.
Setelah diketahuinya bahwa bekas tikaman itu mematikan ia berkata kepada Abdullah anaknya: "Bawa ke mari tulang yang sudah saya tulis kemarin mengenai soal kakek itu."
Maksudnya akan menghapus apa yang sudah ditulisnya itu supaya jangan diprotes orang sesudah dia tak ada.
Abdullah berkata: "Amirulmukminin, cukup kamilah untuk menyelesaikan soal ini."
Bagi Abdullah rupanya tidak mudah untuk menghapus dan membiarkan ayahnya yang sedang menghadapi luka-lukanya. Tetapi Umar menolak dan katanya: "Tidak!"
Ia tidak puas sebelum tulang itu dibawa dan menghapus tulisan itu dengan tangannya sendiri.
Haekal mengatakan kita masih ingat ketika memulai pemerintahannya Umar memerintahkan supaya tawanan Perang Riddah dibebaskan dan dikembalikan kepada keluarga-keluarga mereka, dengan mengatakan kepada mereka: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab."
Hal ini membawa pengaruh yang besar sekali terhadap meluasnya kemenangan. Semua kaum Riddah itu di Semenanjung Arab. Mereka itu dari suku-suku dan kabilah-kabilah Arab yang dulu berimigrasi ke Syam dan ke Irak, dan ada pula yang jatuh ke tangan pasukan Muslimin sebagai tawanan selama perang yang terus-menerus.
Setelah Umar melihat bahwa ajalnya sudah pasti sampai, ia ingin melihat persatuan yang lebih kuat dan lebih dapat dibanggakan. Ia berkata sementara ia masih di tempat tidur: "Kalau ada tawanan orang Arab yang masih hidup waktu aku meninggal, maka bebaslah dia."
Menurut Haekal, kata-kata ini bukanlah ijtihad dari dia yang menyalahi pendapatnya yang lama, melainkan sebaliknya merupakan penerapan yang persis sekali dengan kata-katanya: "Aku tidak ingin melihat adanya tawanan perang menjadi kebiasaan di kalangan Arab."
Barangkali dia khawatir penggantinya tidak akan menerapkan hasil ijtihadnya saat ia tampil sebagai pengganti. Dia tidak ingin melepaskan dunia ini sebelum terlaksana apa yang sudah dimulainya itu, dan sebelum semua orang Arab bebas.
(mhy)