Khalifah Utsman Menolak Menghukum Putra Umar bin Khattab yang Membunuh 3 Orang Persia
Senin, 25 Desember 2023 - 05:30 WIB
Ubaidillah bin Umar melakukan balas dendam atas terbunuhnya ayahandanya, Khalifah Umar bin Khattab . Ia antara lain membunuh dua orang Persia yang diduga berkomplot dengan Abu Lu'lu'ah Fairuz, budak al-Mugirah, si pembunuh Umar.Selain itu, ia juga mengeksekusi putri Abu Lu'lu'ah yang masih kecil.
"Begitu Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah yang baru ia tidak menghukum Ubaidilah," tulis Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab"(Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Haekal mengisahkan, sesudah pembaiatan itu Utsman duduk di samping Masjid. Setelah itu ia memanggil Ubaidillah bin Umar dari penjaranya untuk diadili karena tindakannya membunuh Hormuzan, Jufainah dan anak perempuan Abu Lu'lu'ah sesudah ia yakin bahwa mereka terlibat dalam komplotan yang telah membunuh ayahnya.
Setelah Ubaidillah tampil di depannya, Amirulmukminin menanyakan pendapat kaum Muhajirin dan Ansar dengan permintaan. "Berikanlah pendapat kalian mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan dalam Islam ini!" ujarnya.
Dalam hal ini Ali bin Abi Thalib berkata: "Tidak adil membiarkan dia, dan saya berpendapat dia juga harus dibunuh."
Tetapi beberapa orang dari Muhajirin melihat pendapat yang terlalu keras menekan perasaan itu berkata: "Umar baru kemarin terbunuh, sekarang anaknya akan dibunuh pula!"
Mendengar penolakan ini semua yang hadir terdiam, Ali juga tidak meneruskan kata-katanya. Utsman melihat ke sekeliling, kepada mereka yang hadir, mengharapkan pendapat mereka.
Andaikata pendapat yang menghendaki Ubaidillah dibunuh dikabulkan niscaya luka dalam hati keluarga Umar yang belum sembuh itu akan terkoyak lagi, dan akan menimbulkan kemarahan besar, yang hanya Allah yang tahu segala akibatnya.
Ini akan menjadi contoh kekerasan yang tak dapat dibandingkan dengan orang yang paling kejam sekalipun. Sesuai dengan watak Utsman yang selalu lemah lembut, ia ingin menghindari kekerasan semacam itu. Ingin sekali ia sekiranya ada di antara yang hadir itu dapat memberikan jalan keluar dari situasi itu.
Ketika itu Amr bin As yang ikut hadir berkata: "Allah telah membebaskan Anda dari kejadian ini. Waktu itu Anda tidak punya kekuasaan atas kaum Muslimin. Peristiwa semacam itu belum ada pada zaman Anda. Tinggalkan sajalah!"
Utsman melihat kata-kata Amr itu tidak masuk akal, dan dia tidak puas dengan pendapatnya itu, tetapi terasa ada kesan membolehkan diat. Karenanya Utsman menjawab: "Sayalah yang akan menjadi wali mereka - maksudnya wali mereka yang terbunuh - sudah saya jadikan diat dan saya yang akan menanggungnya dari harta saya sendiri."
Haekal mengatakan sebenarnya fatwa pembunuhan terhadap Ubaidillah itu kejam, dan dari segi keadilan masih merupakan syubhat. Anggaplah salah dalam keyakinannya bahwa Hormuzan dan Jufainah berkomplot dengan Abu Lu'lu'ah untuk membunuh ayahnya. Tetapi dalam hal ini ia masih dapat dimaafkan dalam arti dapat menghilangkan syubhat tadi dan melindunginya dari hukuman serta meringankan pelaksanaan hukumnya.
Boleh jadi persekongkotan makar itu akan terbongkar kalau Utsman mengadakan penyelidikan yang saksama, dan dengan cara yang meyakinkan dapat menghilangkan semua keraguan.
Kesaksian Abdur-Rahman bin Abu Bakar dan Abdur-Rahman bin Auf sudah cukup untuk membela Ubaidillah atas perbuatannya itu, sekalipun tak dapat dijadikan bukti terhadap Hormuzan dan Jufainah.
Dan kesaksian keduanya sudah memperkuat bahwa senjata tajam yang digunakan membunuh Umar di tangan komplotan rahasia itu.
Barangkali Utsman berpendapat untuk tidak mengadakan penyelidikan yang bukan tidak mungkin dapat membangkitkan kemarahan Persia, dan menambah dendam mereka terhadap Arab.
Oleh karena itu ia membayar diat para korban pembunuhan itu dari hartanya sendiri, dan dalam waktu yang bersamaan ia menyuruh Ziyad bin Labid al-Bayadi agar menghentikan segala sindiran kepada Ubaidillah bin Umar.
"Dengan demikian padamlah segala desas desus dan fitnah yang tak perlu diungkit-ungkit, dan kaum Muslimin di seluruh kawasan Islam kembali ke dalam kehidupan seperti sebelum Umar wafat," tutur Haekal.
"Begitu Utsman bin Affan terpilih sebagai khalifah yang baru ia tidak menghukum Ubaidilah," tulis Muhammad Husain Haekal dalam buku yang diterjemahkan Ali Audah berjudul "Umar bin Khattab"(Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Haekal mengisahkan, sesudah pembaiatan itu Utsman duduk di samping Masjid. Setelah itu ia memanggil Ubaidillah bin Umar dari penjaranya untuk diadili karena tindakannya membunuh Hormuzan, Jufainah dan anak perempuan Abu Lu'lu'ah sesudah ia yakin bahwa mereka terlibat dalam komplotan yang telah membunuh ayahnya.
Setelah Ubaidillah tampil di depannya, Amirulmukminin menanyakan pendapat kaum Muhajirin dan Ansar dengan permintaan. "Berikanlah pendapat kalian mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan dalam Islam ini!" ujarnya.
Dalam hal ini Ali bin Abi Thalib berkata: "Tidak adil membiarkan dia, dan saya berpendapat dia juga harus dibunuh."
Tetapi beberapa orang dari Muhajirin melihat pendapat yang terlalu keras menekan perasaan itu berkata: "Umar baru kemarin terbunuh, sekarang anaknya akan dibunuh pula!"
Mendengar penolakan ini semua yang hadir terdiam, Ali juga tidak meneruskan kata-katanya. Utsman melihat ke sekeliling, kepada mereka yang hadir, mengharapkan pendapat mereka.
Andaikata pendapat yang menghendaki Ubaidillah dibunuh dikabulkan niscaya luka dalam hati keluarga Umar yang belum sembuh itu akan terkoyak lagi, dan akan menimbulkan kemarahan besar, yang hanya Allah yang tahu segala akibatnya.
Ini akan menjadi contoh kekerasan yang tak dapat dibandingkan dengan orang yang paling kejam sekalipun. Sesuai dengan watak Utsman yang selalu lemah lembut, ia ingin menghindari kekerasan semacam itu. Ingin sekali ia sekiranya ada di antara yang hadir itu dapat memberikan jalan keluar dari situasi itu.
Ketika itu Amr bin As yang ikut hadir berkata: "Allah telah membebaskan Anda dari kejadian ini. Waktu itu Anda tidak punya kekuasaan atas kaum Muslimin. Peristiwa semacam itu belum ada pada zaman Anda. Tinggalkan sajalah!"
Utsman melihat kata-kata Amr itu tidak masuk akal, dan dia tidak puas dengan pendapatnya itu, tetapi terasa ada kesan membolehkan diat. Karenanya Utsman menjawab: "Sayalah yang akan menjadi wali mereka - maksudnya wali mereka yang terbunuh - sudah saya jadikan diat dan saya yang akan menanggungnya dari harta saya sendiri."
Haekal mengatakan sebenarnya fatwa pembunuhan terhadap Ubaidillah itu kejam, dan dari segi keadilan masih merupakan syubhat. Anggaplah salah dalam keyakinannya bahwa Hormuzan dan Jufainah berkomplot dengan Abu Lu'lu'ah untuk membunuh ayahnya. Tetapi dalam hal ini ia masih dapat dimaafkan dalam arti dapat menghilangkan syubhat tadi dan melindunginya dari hukuman serta meringankan pelaksanaan hukumnya.
Boleh jadi persekongkotan makar itu akan terbongkar kalau Utsman mengadakan penyelidikan yang saksama, dan dengan cara yang meyakinkan dapat menghilangkan semua keraguan.
Kesaksian Abdur-Rahman bin Abu Bakar dan Abdur-Rahman bin Auf sudah cukup untuk membela Ubaidillah atas perbuatannya itu, sekalipun tak dapat dijadikan bukti terhadap Hormuzan dan Jufainah.
Dan kesaksian keduanya sudah memperkuat bahwa senjata tajam yang digunakan membunuh Umar di tangan komplotan rahasia itu.
Barangkali Utsman berpendapat untuk tidak mengadakan penyelidikan yang bukan tidak mungkin dapat membangkitkan kemarahan Persia, dan menambah dendam mereka terhadap Arab.
Oleh karena itu ia membayar diat para korban pembunuhan itu dari hartanya sendiri, dan dalam waktu yang bersamaan ia menyuruh Ziyad bin Labid al-Bayadi agar menghentikan segala sindiran kepada Ubaidillah bin Umar.
"Dengan demikian padamlah segala desas desus dan fitnah yang tak perlu diungkit-ungkit, dan kaum Muslimin di seluruh kawasan Islam kembali ke dalam kehidupan seperti sebelum Umar wafat," tutur Haekal.
(mhy)