Menteri Hindu Memasuki Masjid Nabawi Viral, Bagaimana Hukumnya?
Selasa, 16 Januari 2024 - 14:45 WIB
Video Menteri Persatuan Urusan Minoritas India , Smriti Irani, memasuki lingkungan Masjid Nabawi lumayan viral di media sosial , belakangan ini. Video yang diunggah akun Peacen_Islam di Instagram pada 12 Januari 2023 tersebut dilihat 4,1 juta viewers dengan 296 ribu like dan 6.672 komentar. Di antara komentar itu berisi kekecewaan terhadap pemerintah Arab Saudi .
Sebagai informasi, Irani didampingi Menteri Luar Negeri India, V Muraleedharan, pada Senin, 8 Januari 2024 lalu, bertemu dengan relawan India, yang memberikan layanan khusus kepada jamaah haji Negeri Hindustan tersebut. Mereka juga berinteraksi dengan jamaah umrah dari India.
Menariknya, Arab Saudi mengizinkan menteri India yang beragama Hindu tersebut masuk dalam pelataran Masjid Nabawi. Lalu, bagaimana sesungguhnya hukum non-Islam memasuki masjid , terutama Masjid Nabawi?
Secara umum, ulama memang berbeda pendapat tentang kebolehan non-Muslim masuk ke dalam masjid. Perbedaan pendapat ulama perihal ini berangkat dari perbedaan pemahaman mereka atas Surat At-Taubah ayat 28 berikut ini:
Artinya, “Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini.” (QS At-Taubah ayat 28).
Dari ayat ini, lahir pelbagai pandangan ulama perihal masuknya non-Muslim ke dalam tanah haram, masjidil haram, dan masjid selain masjidil haram, dengan atau tanpa izin umat Islam, dan dengan atau tanpa keperluan.
Mazhab Hanafi mengikuti pandangan Abu Hanifah yang membolehkan orang kafir, orang musyrik, atau non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid termasuk ke dalam masjidilharam .
Abu Hanifah membolehkan orang kafir masuk masjid mana saja, termasuk Masjidilharam tanpa izin dan tanpa keperluan sekalipun.
Sedangkan pengertian ayat, ‘Jangan mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28) menurut Abu Hanifah, adalah larangan untuk berhaji dan umrah dengan telanjang setelah tahun ini, yaitu tahun 9 H ketika ia memerintahkan Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Ali menyeru dengan surat ini, ‘Setelah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melaksanakan haji dan tidak boleh ada lagi orang telanjang berthawaf,’ (HR Bukhari dan Muslim).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitab "Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh" menjelaskan Abu Sufyan sendiri pernah memasuki masjid Madinah untuk memerbaharui kontrak perdamaian Hudaibiyah setelah dilanggar oleh Quraisy.
Demikian juga rombongan tamu dari Bani Tsaqif pernah memasuki masjid Madinah. Tsamamah bin Atsal ketika dalam kondisi tawanan diikat di masjid nabawi.”
Mazhab Maliki juga membolehkan non-Muslim untuk memasuki tanah haram kecuali Masjidilharam dengan izin umat Islam dan dengan aman. Tetapi Mazhab Malik mengharamkan non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid manapun kecuali ada uzur tertentu.
Sedangkan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mengharamkan sama sekali non-Muslim untuk masuk ke dalam Masjidilharam meskipun untuk kemaslahatan tertentu.
Hanya saja, non-Muslim–menurut mereka–boleh memasuki masjid lain untuk sebuah hajat tertentu dengan izin umat Islam. Larangan memasuki tanah haram Makkah berdasarkan firman Allah, ‘Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28).
Di dalam atsar disebutkan, ‘Tanah haram seluruhnya adalah masjid.’ Menurut ulama dari dua mazhab ini, orang kafir boleh masuk masjid dengan izin umat Islam karena suatu keperluan kecuali masjidil haram. Pasalnya, teks ayat tersebut hanya menyinggung Masjidilharam.
Hal ini juga sesuai kaidah bahwa pada asalnya segala sesuatu adalah boleh. Di dalam syariat sendiri tidak ada dalil yang mengalahi hukum asal ini.
Rasulullah SAW sendiri–ketika didatangi oleh rombongan kunjungan dari Thaif–menempatkan tamunya di masjid tersebut sebelum mereka memeluk Islam.
Sebagai informasi, Irani didampingi Menteri Luar Negeri India, V Muraleedharan, pada Senin, 8 Januari 2024 lalu, bertemu dengan relawan India, yang memberikan layanan khusus kepada jamaah haji Negeri Hindustan tersebut. Mereka juga berinteraksi dengan jamaah umrah dari India.
Menariknya, Arab Saudi mengizinkan menteri India yang beragama Hindu tersebut masuk dalam pelataran Masjid Nabawi. Lalu, bagaimana sesungguhnya hukum non-Islam memasuki masjid , terutama Masjid Nabawi?
Secara umum, ulama memang berbeda pendapat tentang kebolehan non-Muslim masuk ke dalam masjid. Perbedaan pendapat ulama perihal ini berangkat dari perbedaan pemahaman mereka atas Surat At-Taubah ayat 28 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Artinya, “Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini.” (QS At-Taubah ayat 28).
Dari ayat ini, lahir pelbagai pandangan ulama perihal masuknya non-Muslim ke dalam tanah haram, masjidil haram, dan masjid selain masjidil haram, dengan atau tanpa izin umat Islam, dan dengan atau tanpa keperluan.
Mazhab Hanafi mengikuti pandangan Abu Hanifah yang membolehkan orang kafir, orang musyrik, atau non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid termasuk ke dalam masjidilharam .
Abu Hanifah membolehkan orang kafir masuk masjid mana saja, termasuk Masjidilharam tanpa izin dan tanpa keperluan sekalipun.
Sedangkan pengertian ayat, ‘Jangan mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28) menurut Abu Hanifah, adalah larangan untuk berhaji dan umrah dengan telanjang setelah tahun ini, yaitu tahun 9 H ketika ia memerintahkan Abu Bakar As-Shiddiq dan Sayyidina Ali menyeru dengan surat ini, ‘Setelah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melaksanakan haji dan tidak boleh ada lagi orang telanjang berthawaf,’ (HR Bukhari dan Muslim).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam kitab "Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh" menjelaskan Abu Sufyan sendiri pernah memasuki masjid Madinah untuk memerbaharui kontrak perdamaian Hudaibiyah setelah dilanggar oleh Quraisy.
Demikian juga rombongan tamu dari Bani Tsaqif pernah memasuki masjid Madinah. Tsamamah bin Atsal ketika dalam kondisi tawanan diikat di masjid nabawi.”
Mazhab Maliki juga membolehkan non-Muslim untuk memasuki tanah haram kecuali Masjidilharam dengan izin umat Islam dan dengan aman. Tetapi Mazhab Malik mengharamkan non-Muslim untuk masuk ke dalam masjid manapun kecuali ada uzur tertentu.
Sedangkan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mengharamkan sama sekali non-Muslim untuk masuk ke dalam Masjidilharam meskipun untuk kemaslahatan tertentu.
Hanya saja, non-Muslim–menurut mereka–boleh memasuki masjid lain untuk sebuah hajat tertentu dengan izin umat Islam. Larangan memasuki tanah haram Makkah berdasarkan firman Allah, ‘Wahai orang yang beriman, sungguh orang musyrik itu najis. Janganlah mereka memasuki masjidil haram setelah tahun ini,’ (At-Taubah ayat 28).
Di dalam atsar disebutkan, ‘Tanah haram seluruhnya adalah masjid.’ Menurut ulama dari dua mazhab ini, orang kafir boleh masuk masjid dengan izin umat Islam karena suatu keperluan kecuali masjidil haram. Pasalnya, teks ayat tersebut hanya menyinggung Masjidilharam.
Hal ini juga sesuai kaidah bahwa pada asalnya segala sesuatu adalah boleh. Di dalam syariat sendiri tidak ada dalil yang mengalahi hukum asal ini.
Rasulullah SAW sendiri–ketika didatangi oleh rombongan kunjungan dari Thaif–menempatkan tamunya di masjid tersebut sebelum mereka memeluk Islam.
(mhy)