Pemilu: Memilih Pemimpin adalah Kewajiban Bukan Hak
Selasa, 06 Februari 2024 - 08:05 WIB
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil….” ( QS. An-Nisa’ [4] : 58).
AM Mahmud. Dosen Hukum Islam (Fiqih) di FST Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. dalam artikelnya berjudul "Golput dalam Perspektif Islam" menjelaskan ayat ini cukup tegas menunjukkan pandangan Al-Quran dalam memilih pemimpin.
"Ayat ini dapat dianggap sebagai referensi untuk menjawab apakah memilih pemimpin merupakan hak atau kewajiban," katanya.
Sasaran ayat di atas ditujukan kepada orang-orang mukmin agar memberikan amanah kepada orang-orang yang sanggup menjalankannya.
Dengan demikian, memilih pemimpin secara otomatis include ke dalamnya, karena pemimpin adalah orang-orang yang dianggap cakap dalam menjalankan amanah.
Mahmud al-Nasafi di dalam tafsirnya “Tafsir al-Nasafi” mengatakan bahwa perintah di dalam ayat ini adalah perintah wajib untuk menjalankan amanah Allah yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih pemimpin.
Selain ayat di atas, Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian….” ( QS An-Nisa’ : 59).
Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat.
Mahmud mengatakan menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan.
Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib. Imam at-Thabari (ahli tafsir) mengatakan, bentuk ulil amri pada ayat di atas diarahkan pada kekuasaan, setidaknya pemerintah sebagai kekuatan politik yang fungsinya mengurusi, menangani, dan memerintah masyarakat.
Maka makna kepatuhan dimaksudkan kepatuhan terhadap pemimpin (ulil amri), di mana kepatuhan demikian mungkin terlaksana bila didahului oleh upaya menegakkan suatu kepemimpinan. Tujuannya tiada lain adalah demi kemaslahatan masyarakat, yaitu terealisasinya ad-daruriyah al-khamsah (keperluan dasar yang lima; menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta).
Dalam hal ini Nabi juga bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Daud).
Kalimat “bepergian” menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti Indonesia ini.
Berdasarkan ayat dan hadis Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya.
Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling mendekati kesempurnaan.
Prosedur mendapatkan otoritas kekuasaan eksekutif dalam negara penganut sistem demokrasi adalah sah dan konstitusional, legitimit, dan kompetitif. Tidak ada jalan lain kecuali pemilu. Pemilu, bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar tertentu.
Selain berdasarkan Al-Quran, dalam kaedah fiqih dikatakan: “al-amru bi as-syai’i amru bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan sarananya).” Maksud aplikasi dari kaedah ini adalah, bahwa memilih pemimpin itu adalah wajib, maka mengikuti pemilu sebagai sarana atau wasilah memilih pemimpin adalah wajib juga.
AM Mahmud. Dosen Hukum Islam (Fiqih) di FST Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. dalam artikelnya berjudul "Golput dalam Perspektif Islam" menjelaskan ayat ini cukup tegas menunjukkan pandangan Al-Quran dalam memilih pemimpin.
"Ayat ini dapat dianggap sebagai referensi untuk menjawab apakah memilih pemimpin merupakan hak atau kewajiban," katanya.
Sasaran ayat di atas ditujukan kepada orang-orang mukmin agar memberikan amanah kepada orang-orang yang sanggup menjalankannya.
Dengan demikian, memilih pemimpin secara otomatis include ke dalamnya, karena pemimpin adalah orang-orang yang dianggap cakap dalam menjalankan amanah.
Mahmud al-Nasafi di dalam tafsirnya “Tafsir al-Nasafi” mengatakan bahwa perintah di dalam ayat ini adalah perintah wajib untuk menjalankan amanah Allah yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih pemimpin.
Selain ayat di atas, Allah juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian….” ( QS An-Nisa’ : 59).
Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat.
Mahmud mengatakan menaati kepala negara adalah wajib, berarti mengangkat pemimpin pun hukumnya wajib, karena jika pemimpin tidak ada, maka kewajiban untuk menaati pemimpin pun tidak bisa dijalankan.
Dengan demikian, hukum mengangkat pemimpin pun menjadi wajib. Imam at-Thabari (ahli tafsir) mengatakan, bentuk ulil amri pada ayat di atas diarahkan pada kekuasaan, setidaknya pemerintah sebagai kekuatan politik yang fungsinya mengurusi, menangani, dan memerintah masyarakat.
Maka makna kepatuhan dimaksudkan kepatuhan terhadap pemimpin (ulil amri), di mana kepatuhan demikian mungkin terlaksana bila didahului oleh upaya menegakkan suatu kepemimpinan. Tujuannya tiada lain adalah demi kemaslahatan masyarakat, yaitu terealisasinya ad-daruriyah al-khamsah (keperluan dasar yang lima; menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta).
Dalam hal ini Nabi juga bersabda: “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Daud).
Kalimat “bepergian” menunjukkan bahwa ketiga orang tersebut mempunyai urusan yang sama (umur musytarakah), yaitu sama-sama hendak bepergian, dan bepergian itu sendiri hukum asalnya adalah mubah (boleh-boleh saja).
Dari kalimat tersebut bisa ditarik kesimpulan, jika dalam urusan yang mubah saja mengangkat pemimpin hukumnya wajib, tentu dalam perkara yang wajib lebih wajib lagi. Tiga orang saja sudah wajib untuk memilih pemimpin, apalagi dalam konteks negara besar yang berpenduduk jutaan jiwa seperti Indonesia ini.
Berdasarkan ayat dan hadis Nabi di atas dapat dipahami bahwa memilih pemimpin hukumnya adalah kewajiban, bukan sekadar hak, karena Allah menyuruh orang-orang mukmin untuk melakukannya.
Kewajiban ini ditambah lagi dengan memilih pemimpin yang berlaku amanah. Sekiranya nilai amanah di antara calon pemimpin tidak ada yang sempurna, maka yang wajib dipilih adalah calon yang paling mendekati kesempurnaan.
Prosedur mendapatkan otoritas kekuasaan eksekutif dalam negara penganut sistem demokrasi adalah sah dan konstitusional, legitimit, dan kompetitif. Tidak ada jalan lain kecuali pemilu. Pemilu, bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar tertentu.
Selain berdasarkan Al-Quran, dalam kaedah fiqih dikatakan: “al-amru bi as-syai’i amru bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan sarananya).” Maksud aplikasi dari kaedah ini adalah, bahwa memilih pemimpin itu adalah wajib, maka mengikuti pemilu sebagai sarana atau wasilah memilih pemimpin adalah wajib juga.
(mhy)