Kisah Israel Menggiring Kaum Yahudi di Berbagai Negara Pindah ke Palestina
Senin, 06 Mei 2024 - 05:15 WIB
Prof Joseph Massad mengatakan setiap kali pertanyaan tentang penjajahan Yahudi diajukan oleh orang-orang Palestina , tanggapan Zionis adalah dengan menegaskan bahwa penjajahan Yahudi adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri anti-Semitisme dan melindungi orang-orang Yahudi, dan bahwa segala perlawanan terhadap penjajahan Yahudi di Palestina adalah tindakan yang tidak benar.
"Ini tidak lain adalah kelanjutan dari anti-Semitisme," tulis Prof Joseph Massad dalam artikelnya berjudul "Zionism, anti-Semitism and Colonialism" yang dilansir Al-Jazeera.
Profesor Madya Politik Arab Modern dan Sejarah, Intelektual di Universitas Columbia ini menjelaskan Israel mulai menegaskan bahwa setiap pembicaraan tentang kolonisasi tanah Palestina hanyalah sebuah gangguan dari anti-Semitisme yang menargetkan orang-orang Yahudi.
Mengingat periode baru pasca- Perang Dunia II yang menandai berakhirnya anti-Semitisme yang disponsori negara, Zionis mulai menyerang kaum Yahudi di sejumlah negara dan memunculkan momok anti-Semitisme di negara-negara yang menentang Zionisme.
Di Irak, Mossad Israel menanam bom di sinagoga, perpustakaan, dan kafe pada awal tahun 1950-an, yang membunuh dan melukai orang-orang Yahudi Irak dan menyebarkan kepanikan di antara mereka bahwa Muslim dan Kristen Irak menjadi sasaran mereka.
Kolaborasi pun terjadi antara Israel dan rezim Irak yang disponsori Inggris untuk mewujudkan eksodus orang Yahudi Irak ke Palestina.
Ketika orang Yahudi Mesir masih menolak pergi ke Palestina yang kala itu menjadi Israel, Mossad kembali memasang bom di bioskop, stasiun kereta api, dan kantor pos Mesir.
Ketika pihak berwenang Mesir mengungkap operasi teroris tersebut, yang kemudian menjadi terkenal dengan nama “Perselingkuhan Lavon”, dan para pelaku Yahudi ditangkap dan diadili, Israel melancarkan kampanye propaganda besar-besaran yang mengklaim bahwa Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, adalah “Hitler di Sungai Nil”.
Di Uni Soviet pasca-Stalin, yang tidak seperti pendahulunya Stalinis, menentang Zionisme, dan di mana semua warga negara Soviet tidak diizinkan untuk beremigrasi, kampanye propaganda besar-besaran Israel dan AS pada Perang Dingin menegaskan bahwa Soviet adalah anti-Semit.
Amerika dan Israel mengatur untuk memberikan hak istimewa khusus kepada orang-orang Yahudi Soviet dibandingkan warga negara Soviet lainnya dengan memaksa pemerintah Soviet untuk memberi mereka visa emigrasi.
Orang-orang Yahudi Soviet yang meninggalkan negara tersebut melakukan hal itu karena alasan ekonomi dan dengan demikian pergi (yang membuat Israel kecewa) ke Amerika Serikat, sebuah situasi yang kemudian memaksa Israel untuk bekerja sama dengan diktator Rumania Nicolae Ceausescu untuk mengalihkan mereka secara paksa ke Israel.
"Memang benar, Israel nantinya akan mencoba menerapkan undang-undang di AS untuk mencegah emigrasi mereka ke Amerika Serikat, yang memang akan menutup perbatasannya bagi mereka setelah Uni Soviet jatuh," ujar Prof Joseph Massad.
Hal ini akan memaksa banyak orang Yahudi Soviet (mayoritas di antaranya adalah non-Yahudi Soviet yang berpura-pura menjadi Yahudi) untuk pergi ke Israel sebagai pengungsi ekonomi pada tahun 1990an.
"Ini tidak lain adalah kelanjutan dari anti-Semitisme," tulis Prof Joseph Massad dalam artikelnya berjudul "Zionism, anti-Semitism and Colonialism" yang dilansir Al-Jazeera.
Profesor Madya Politik Arab Modern dan Sejarah, Intelektual di Universitas Columbia ini menjelaskan Israel mulai menegaskan bahwa setiap pembicaraan tentang kolonisasi tanah Palestina hanyalah sebuah gangguan dari anti-Semitisme yang menargetkan orang-orang Yahudi.
Mengingat periode baru pasca- Perang Dunia II yang menandai berakhirnya anti-Semitisme yang disponsori negara, Zionis mulai menyerang kaum Yahudi di sejumlah negara dan memunculkan momok anti-Semitisme di negara-negara yang menentang Zionisme.
Di Irak, Mossad Israel menanam bom di sinagoga, perpustakaan, dan kafe pada awal tahun 1950-an, yang membunuh dan melukai orang-orang Yahudi Irak dan menyebarkan kepanikan di antara mereka bahwa Muslim dan Kristen Irak menjadi sasaran mereka.
Kolaborasi pun terjadi antara Israel dan rezim Irak yang disponsori Inggris untuk mewujudkan eksodus orang Yahudi Irak ke Palestina.
Ketika orang Yahudi Mesir masih menolak pergi ke Palestina yang kala itu menjadi Israel, Mossad kembali memasang bom di bioskop, stasiun kereta api, dan kantor pos Mesir.
Ketika pihak berwenang Mesir mengungkap operasi teroris tersebut, yang kemudian menjadi terkenal dengan nama “Perselingkuhan Lavon”, dan para pelaku Yahudi ditangkap dan diadili, Israel melancarkan kampanye propaganda besar-besaran yang mengklaim bahwa Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, adalah “Hitler di Sungai Nil”.
Di Uni Soviet pasca-Stalin, yang tidak seperti pendahulunya Stalinis, menentang Zionisme, dan di mana semua warga negara Soviet tidak diizinkan untuk beremigrasi, kampanye propaganda besar-besaran Israel dan AS pada Perang Dingin menegaskan bahwa Soviet adalah anti-Semit.
Amerika dan Israel mengatur untuk memberikan hak istimewa khusus kepada orang-orang Yahudi Soviet dibandingkan warga negara Soviet lainnya dengan memaksa pemerintah Soviet untuk memberi mereka visa emigrasi.
Orang-orang Yahudi Soviet yang meninggalkan negara tersebut melakukan hal itu karena alasan ekonomi dan dengan demikian pergi (yang membuat Israel kecewa) ke Amerika Serikat, sebuah situasi yang kemudian memaksa Israel untuk bekerja sama dengan diktator Rumania Nicolae Ceausescu untuk mengalihkan mereka secara paksa ke Israel.
"Memang benar, Israel nantinya akan mencoba menerapkan undang-undang di AS untuk mencegah emigrasi mereka ke Amerika Serikat, yang memang akan menutup perbatasannya bagi mereka setelah Uni Soviet jatuh," ujar Prof Joseph Massad.
Hal ini akan memaksa banyak orang Yahudi Soviet (mayoritas di antaranya adalah non-Yahudi Soviet yang berpura-pura menjadi Yahudi) untuk pergi ke Israel sebagai pengungsi ekonomi pada tahun 1990an.
(mhy)