Kisah Jatuhnya Damaskus ke Tangan Shalahuddin Al Ayyubi
Sabtu, 22 Juni 2024 - 09:41 WIB
Kisah jatuhnya Damaskus ke tangan Shalahuddin Al Ayyubi diceritakan Ibnu al-Atsir dalam bukunya berjudul "Al-Mukhtar Min al-Kamil fi al-Tarikh; Qishshah Shalahuddin al-Ayyubi" yang diterjemahkan Abu Haytsam menjadi "Shalahuddin Al-Ayyubi Sang Pembebas Tanah Para Nabi"
Pada tahun 570 Hijriah, lepas bulan Rabi`ul Awwal, Shalahuddin al Ayyubi menguasai kota Damaskus. Penyebabnya adalah tatkala Raja Nuruddin meninggal, Raja Shalih -anaknya- menggantikan kedudukannya di Damaskus.
Dulu, Sa'duddin Kamesytakin melarikan diri dari Saifuddin Ghazi ke Halab. Ia lalu menetap di Halab dan meminta suaka dari Syamsuddin `Ali Ibn al-Dayah. Ketika Saifuddin telah menguasai negeri-negeri di pesisir, Ibn al-Dayah takut jika Saifuddin berniat menduduki Halab lalu menguasainya. Lalu diutuslah Sa'duddin ke Damaskus untuk mendatangkan Raja Shalih beserta bala tentaranya ke Halab.
Ketika ia sudah dekat ke kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad Ibn al-Muqaddam mengerahkan pasukan, lalu mengusirnya. Ia pun kembali lagi ke Halab dengan kekalahan. Ibn al-Dayah lalu bersumpah akan mengambil kembali apa yang telah dirampas darinya.
Sementara itu, para emir di Damaskus melihat adanya kemaslahatan dan mengetahui bahwa perjalanan Raja Shalih lebih baik untuk negara ketimbang kedudukannya di Damaskus.
Mereka kemudian meminta Ibn al-Dayah mengirimkan Sa'duddin untuk menjemput Raja Shalih. Ia pun memenuhi permintaan tersebut, dan memerintahkan Sa’duddin untuk segera berangkat. Berangkatlah Sa’duddin ke Damaskus pada bulan Muharram 570 H untuk menjemput Raja Shalih dan kembali ke Halab.
Sesampainya di sana Sa’duddin menangkap Syamsuddin Ibn al-Dayah beserta kerabatnya, Rais Ibn al-Khasyab - Gubernur Halab dan komandan pasukan di sana. Kalaulah Syamsuddin Ibn al-Dayah ketika itu tidak dalam keadaan sakit, niscaya Sa’duddin tidak bisa menangkapnya.
Kemudian Sa’duddin mendidik Raja Shalih dengan tangan besi, hingga membuat takut Ibn al-Muqaddam dan para emir lainnya di Damaskus. Mereka mengatakan: “Jika situasi di Halab sudah stabil, ia pasti mengambilnya dari tangan Raja Shalih, lalu mengincar kita dan berbuat seperti apa yang telah ia perbuat pada Halab atas diri kita”.
Mereka lalu menulis surat pada Saifuddin Ghazi -penguasa Moshul- untuk segera menyeberang Sungai Furat agar mereka bisa menyerahkan Damaskus kepadanya. Tetapi Saifuddin tidak memenuhi permintaan itu. Ia takut kalau-kalau surat itu adalah sebuah intrik untuknya agar menyeberangi Sungai Furat menuju Damaskus, sehingga bisa ditangkap dan diperdaya sepupunya bersama bala tentara Halab dari belakang. Maka binasalah ia.
Hal ini digambarkan oleh Zalfandar ‘Izzuddin sebagai orang
bodoh yang selalu menganggap kejahatan dekat dengannya, dan melihat kebodohan sebagai sebuah kepastian. Ia menyatakan sebuah syair yang berbunyi:
“Orang-orang bodoh melihat bahwa kebodohan adalah satu kepastian, dan itulah tabiat orang-orang bodoh”.
Ketika Zalfandar mengungkapkan pendapatnya ini, Saifuddin menerimanya dan urung pergi ke Damaskus. Kemudian ia menulis surat kepada Sa’duddin dan Raja Shalih. Ia mengajak keduanya berdamai atas pendudukannya.
Tatkala Saifuddin menolak untuk menuju Damaskus, keinginan para emir itu menjadi semakin kuat. Mereka berkata: “Jika Saifuddin mengajak mereka berdamai, maka tak ada lagi yang bisa mencegah mereka untuk menyerang kita”.
Lalu mereka menulis surat kepada Shalahuddin al Ayyubi, penguasa Mesir, untuk mengundangnya agar mau menjadi penguasa bagi mereka. Sesepuh para emir itu adalah Syamsuddin Ibn al-
Muqaddam. Ia ibarat ayah bagi Shalahuddin hingga ia tidak akan berbuat aniaya. Kita telah menyebutkan pengorbanan ayahnya dalam penyerahan kota Sinjar pada tahun 544 H.
Ketika kurir telah sampai kepada Shalahuddin dan menyampaikan hal tersebut, Shalahuddin segera berangkat dan mengerahkan 700 orang pasukan berkuda. Padahal pasukan bangsa Eropa sedang dalam perjalanan.
Pada tahun 570 Hijriah, lepas bulan Rabi`ul Awwal, Shalahuddin al Ayyubi menguasai kota Damaskus. Penyebabnya adalah tatkala Raja Nuruddin meninggal, Raja Shalih -anaknya- menggantikan kedudukannya di Damaskus.
Dulu, Sa'duddin Kamesytakin melarikan diri dari Saifuddin Ghazi ke Halab. Ia lalu menetap di Halab dan meminta suaka dari Syamsuddin `Ali Ibn al-Dayah. Ketika Saifuddin telah menguasai negeri-negeri di pesisir, Ibn al-Dayah takut jika Saifuddin berniat menduduki Halab lalu menguasainya. Lalu diutuslah Sa'duddin ke Damaskus untuk mendatangkan Raja Shalih beserta bala tentaranya ke Halab.
Ketika ia sudah dekat ke kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad Ibn al-Muqaddam mengerahkan pasukan, lalu mengusirnya. Ia pun kembali lagi ke Halab dengan kekalahan. Ibn al-Dayah lalu bersumpah akan mengambil kembali apa yang telah dirampas darinya.
Sementara itu, para emir di Damaskus melihat adanya kemaslahatan dan mengetahui bahwa perjalanan Raja Shalih lebih baik untuk negara ketimbang kedudukannya di Damaskus.
Mereka kemudian meminta Ibn al-Dayah mengirimkan Sa'duddin untuk menjemput Raja Shalih. Ia pun memenuhi permintaan tersebut, dan memerintahkan Sa’duddin untuk segera berangkat. Berangkatlah Sa’duddin ke Damaskus pada bulan Muharram 570 H untuk menjemput Raja Shalih dan kembali ke Halab.
Sesampainya di sana Sa’duddin menangkap Syamsuddin Ibn al-Dayah beserta kerabatnya, Rais Ibn al-Khasyab - Gubernur Halab dan komandan pasukan di sana. Kalaulah Syamsuddin Ibn al-Dayah ketika itu tidak dalam keadaan sakit, niscaya Sa’duddin tidak bisa menangkapnya.
Kemudian Sa’duddin mendidik Raja Shalih dengan tangan besi, hingga membuat takut Ibn al-Muqaddam dan para emir lainnya di Damaskus. Mereka mengatakan: “Jika situasi di Halab sudah stabil, ia pasti mengambilnya dari tangan Raja Shalih, lalu mengincar kita dan berbuat seperti apa yang telah ia perbuat pada Halab atas diri kita”.
Mereka lalu menulis surat pada Saifuddin Ghazi -penguasa Moshul- untuk segera menyeberang Sungai Furat agar mereka bisa menyerahkan Damaskus kepadanya. Tetapi Saifuddin tidak memenuhi permintaan itu. Ia takut kalau-kalau surat itu adalah sebuah intrik untuknya agar menyeberangi Sungai Furat menuju Damaskus, sehingga bisa ditangkap dan diperdaya sepupunya bersama bala tentara Halab dari belakang. Maka binasalah ia.
Hal ini digambarkan oleh Zalfandar ‘Izzuddin sebagai orang
bodoh yang selalu menganggap kejahatan dekat dengannya, dan melihat kebodohan sebagai sebuah kepastian. Ia menyatakan sebuah syair yang berbunyi:
“Orang-orang bodoh melihat bahwa kebodohan adalah satu kepastian, dan itulah tabiat orang-orang bodoh”.
Ketika Zalfandar mengungkapkan pendapatnya ini, Saifuddin menerimanya dan urung pergi ke Damaskus. Kemudian ia menulis surat kepada Sa’duddin dan Raja Shalih. Ia mengajak keduanya berdamai atas pendudukannya.
Tatkala Saifuddin menolak untuk menuju Damaskus, keinginan para emir itu menjadi semakin kuat. Mereka berkata: “Jika Saifuddin mengajak mereka berdamai, maka tak ada lagi yang bisa mencegah mereka untuk menyerang kita”.
Lalu mereka menulis surat kepada Shalahuddin al Ayyubi, penguasa Mesir, untuk mengundangnya agar mau menjadi penguasa bagi mereka. Sesepuh para emir itu adalah Syamsuddin Ibn al-
Muqaddam. Ia ibarat ayah bagi Shalahuddin hingga ia tidak akan berbuat aniaya. Kita telah menyebutkan pengorbanan ayahnya dalam penyerahan kota Sinjar pada tahun 544 H.
Ketika kurir telah sampai kepada Shalahuddin dan menyampaikan hal tersebut, Shalahuddin segera berangkat dan mengerahkan 700 orang pasukan berkuda. Padahal pasukan bangsa Eropa sedang dalam perjalanan.
Baca Juga