Allah Memerintahkan Memakan Makanan yang Halal dan Thayyib, Begini Penjelasannya
Senin, 24 Juni 2024 - 07:49 WIB
Prof Quraish Shihab mengatakan ketika berbicara tentang "perintah makan", Allah SWT memerintahkan agar manusia memakan makanan yang sifatnya halal dan thayyib.
Dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 196), Quraish Shihab menjelaskan kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau "tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal" juga berarti "boleh".
Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh. Nabi SAW misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila ia baru saja memakan bawang.
Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib: Rasul SAW melarang memakan bawang putih kecuali setelah dimasak.
Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang bertanya: "Apakah itu haram?"
Beliau menjawab: "Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya."
Sedangkan kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum itu adalah halal.
a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Quran disebutkan sekian banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan, misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]: 27), pangan hewani ( QS Ghafir [40] : 79), ikan ( QS Al-Nahl [16] : 14), buah-buahan ( QS Al-Mutminun [23] : 19; Al-An'am [6] : 14l), lemak dan minyak (QS Al-Mu'minun [23]: 21), madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan lain-lain.
Penyebutan aneka macam jenis makanan ini, menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
b. Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Quran menuntut orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang ideal.
"Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan penyusuan". ( QS Al-Baqarah [2] : 233).
Dalam konteks ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." ( QS Al-Maidah [5] : 87).
Quraish menjelaskan "mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti mengurangi kebutuhan, sedang "melampaui batas" berarti meebihkan dari yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang makan menekankan perlunya "sikap proporsional" itu. Makna terakhir ini sejalan dengan ayat yang lain yang petunjuknya lebih jelas, yaitu:
"Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih-lebihan." ( QS Al-A'raf [7] : 31).
Rasul menjelaskan bahwa: Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang Anda tidak ingini.
Dalam hadis lain Rasul SAW mengingatkan: Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan. (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
c. Aman. Tuntunan perlunya makanan yang aman, antara lain dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 88 yang menyatakan,
"Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya terhadap-Nya."
Dirangkaikannya perintah makan di sini dengan perintah bertakwa, menuntun dan menuntut agar manusia selalu memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha menghindar dari segala yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman.
Takwa dari segi bahasa berarti "keterhindaran", yakni keterhindaran dari siksa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat. Siksa Tuhan di dunia adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini, sedang siksa-Nya di akhirat adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat.
Hukum Tuhan di dunia yang berkaitan dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor atau berkuman, maka dia akan menderita sakit.
Penyakit--akibat pelanggaran ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika demikian, maka perintah bertakwa pada sisi duniawinya dan dalam konteks makanan, menuntut agar setiap makanan yang dicerna tidak mengakibatkan penyakit atau dengan kata lain memberi keamanan bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
Penggalan surat Al-Nisa' (4) : 4 mengingatkan: "Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya." (QS Al-Nisa' [4]: 4)
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks petunjuk tentang makanan, tetapi penggunaan kata akala yang pada prinsipnya berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan pesan Allah tentang makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am (6): 142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh kamu yang sangat nyata.
Dalam bukunya berjudul "Wawasan al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 196), Quraish Shihab menjelaskan kata "halal" berasal dari akar kata yang berarti "lepas" atau "tidak terikat". Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Karena itu kata "halal" juga berarti "boleh".
Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunah, anjuran untuk dilakukan, makruh (anjuran untuk ditinggalkan) maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu yang halal (boleh), tetapi tidak dianjurkannya, atau dengan kata lain hukumnya makruh. Nabi SAW misalnya melarang seseorang mendekati masjid apabila ia baru saja memakan bawang.
Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud melalui Ali bin Abi Thalib: Rasul SAW melarang memakan bawang putih kecuali setelah dimasak.
Dalam riwayat At-Tirmidzi dikemukakan bahwa seseorang bertanya: "Apakah itu haram?"
Beliau menjawab: "Tidak, tetapi saya tidak suka aromanya."
Sedangkan kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan, dan paling utama. Pakar-pakar tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dan segi zatnya atau rusak (kedaluwarsa), atau dicampur benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya.
Kita dapat berkata bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional, dan aman. Tentunya sebelum itu adalah halal.
a. Makanan yang sehat adalah makanan yang memiliki zat gizi yang cukup dan seimbang. Dalam Al-Quran disebutkan sekian banyak jenis makanan yang sekaligus dianjurkan untuk dimakan, misalnya padi-padian (QS Al-Sajdah [32]: 27), pangan hewani ( QS Ghafir [40] : 79), ikan ( QS Al-Nahl [16] : 14), buah-buahan ( QS Al-Mutminun [23] : 19; Al-An'am [6] : 14l), lemak dan minyak (QS Al-Mu'minun [23]: 21), madu (QS Al-Nahl [16]: 69), dan lain-lain.
Penyebutan aneka macam jenis makanan ini, menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangannya.
b. Proporsional, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih, dan tidak berkurang. Karena itu Al-Quran menuntut orang-tua, khususnya para ibu, agar menyusui anaknya dengan ASI (air susu ibu) serta menetapkan masa penyusuan yang ideal.
"Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya dua tahun sempurna, bagi siapa yang hendak menyempumakan penyusuan". ( QS Al-Baqarah [2] : 233).
Dalam konteks ini juga dapat dipahami dan dikembangkan makna firman Allah:
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan jangan juga melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." ( QS Al-Maidah [5] : 87).
Quraish menjelaskan "mengharamkan yang baik dan halal" mengandung arti mengurangi kebutuhan, sedang "melampaui batas" berarti meebihkan dari yang wajar. Demikian terlihat Al-Quran dalam uraiannya tentang makan menekankan perlunya "sikap proporsional" itu. Makna terakhir ini sejalan dengan ayat yang lain yang petunjuknya lebih jelas, yaitu:
"Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih-lebihan." ( QS Al-A'raf [7] : 31).
Rasul menjelaskan bahwa: Termasuk berlebih-lebihan (bila) Anda makan apa yang Anda tidak ingini.
Dalam hadis lain Rasul SAW mengingatkan: Tidak ada yang dipenuhkan manusia lebih buruk dari perut, cukuplah bagi putra Adam beberapa suap yang dapat menegakkan tubuhnya. Kalaupun harus (memenuhkan perut), maka hendaklah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk pernafasan. (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Miqdam bin Ma'di Karib).
c. Aman. Tuntunan perlunya makanan yang aman, antara lain dipahami dari firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 88 yang menyatakan,
"Dan makanlah dan apa yang direzekikan Allah kepada kamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu percaya terhadap-Nya."
Dirangkaikannya perintah makan di sini dengan perintah bertakwa, menuntun dan menuntut agar manusia selalu memperhatikan sisi takwa yang intinya adalah berusaha menghindar dari segala yang mengakibatkan siksa dan terganggunya rasa aman.
Takwa dari segi bahasa berarti "keterhindaran", yakni keterhindaran dari siksa Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat. Siksa Tuhan di dunia adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum (Tuhan yang berlaku di) alam ini, sedang siksa-Nya di akhirat adalah akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat.
Hukum Tuhan di dunia yang berkaitan dengan makanan misalnya adalah: siapa yang makan makanan kotor atau berkuman, maka dia akan menderita sakit.
Penyakit--akibat pelanggaran ini-- adalah siksa Allah di dunia. Jika demikian, maka perintah bertakwa pada sisi duniawinya dan dalam konteks makanan, menuntut agar setiap makanan yang dicerna tidak mengakibatkan penyakit atau dengan kata lain memberi keamanan bagi pemakannya. Ini tentu di samping harus memberinya keamanan bagi kehidupan ukhrawinya.
Penggalan surat Al-Nisa' (4) : 4 mengingatkan: "Makanlah ia dengan sedap lagi baik akibatnya." (QS Al-Nisa' [4]: 4)
Ayat ini walaupun tidak turun dalam konteks petunjuk tentang makanan, tetapi penggunaan kata akala yang pada prinsipnya berarti "makan" dapat dijadikan petunjuk bahwa memakan sesuatu hendaknya yang sedap serta berakibat baik.
Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan pesan Allah tentang makan dan makanan dengan firman-Nya dalam surat Al-An'am (6): 142 setelah menyebut berbagai jenis makanan nabati dan hewani:
Makanlah apa yang direzekikan Allah dan jangan ikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya dia adalah musuh kamu yang sangat nyata.
(mhy)
Lihat Juga :