5 Tanda Haji Mardud, Kebalikan Haji Mabrur
Senin, 24 Juni 2024 - 14:21 WIB
Haji yang mabrûr memperhatikan keikhlasan hati, sedangkan haji mardud sebaliknya. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla.”
Ketiga, hajinya kering dari amalan baik seperti zikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Keempat, tetap berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka dapatlah haji mardud.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Kelima, pulang dari haji tidak lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Qutul Qulub mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
Ketiga, hajinya kering dari amalan baik seperti zikir, salat di Masjidil Haram, salat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab berkata: “Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.
Keempat, tetap berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka dapatlah haji mardud.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Ketiga hal ini dilarang selama ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Kelima, pulang dari haji tidak lebih baik. Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalannya.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Qutul Qulub mengatakan: “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.”
(mhy)