Bagaimana Hukum Mengembalikan atau Meminta Kembali Barang Seserahan karena Batal Nikah?
Rabu, 03 Juli 2024 - 14:18 WIB
Bagaimana hukum mengembalikan atau meminta kembali barang barang seserahan khitbah (lamaran) karena batal menikah? Hal ini menjadi pertanyaan, sehubungan viralnya seorang artis yang batal menikah. Padahal sebelumnya sudah dilakukan lamaran dengan memberikan barang seserahan yang cukup mewah.
Bagaimana syariat Islam menjelaskan hal tersebut? Ada perbedaan pandangan di kalangan ulama. Ada yang memperbolehkan namun ada yg tidak karena beberapa alasan .
Menurut pandangan Mazhab Hanafi seperti dilansir NU online, ulama mazhab ini memaknai seserahan atau antaran yang dibawa pihak laki-laki saat lamaran disebutbsebagai hibah. Dari sini, mereka memandang penarikan kembali barang seserahan atau antaran itu dari sudut pandangan mazhab mereka perihal hibah.
Bagi ulama mazhab Hanafi, pihak laki-laki berhak meminta kembali barang seserahan ketika khitbah (lamaran) atau pertemuan dua keluarga sejauh barang tersebut masih ada dan belum berubah ujud.
Dikutip kutip dari Al Fiqhul Islami wa Adillatuh, Syekh Wahbah Az-Zuhayli,menjelaskannya sebagai berikut
Artinya, “Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa hadiah saat lamaran adalah hibah. Pihak yang memberikan hibah berhak menarik kembali barang hibahnya kecuali bila terdapat uzur yang menghalangi penarikan hibah kembali, yaitu kerusakan barang hibah atau habisnya barang hibah karena telah digunakan. Kalau barang hibah yang diberikan pihak pelamar masih ada, maka ia berhak memintanya kembali. Jika barang hibah itu sudah rusak, sudah habis dipakai, atau terjadi perubahan padanya, yaitu cincin hilang, makanan telah dimakan, kain sudah bentuk menjadi pakaian oleh pedagang kain, maka pihak pelamar tidak berhak meminta kembali dalam bentuk kompensasi,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli,Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 26).
Sedangkan ulama mazhab Maliki memandang persoalan penarikan kembali barang seserahan atau antaran pihak laki-laki dari siapa yang menginisiasi pembatalan perkawinan. Bila inisiatif pembataan perkawinan datang dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki berhak mengambil kembali barang seserahannya. Tetapi jika inisiatif itu datang dari pihak laki-laki sendiri, maka pihak laki-laki tidak berhak menariknya meskipun barang seserahan itu masih utuh.
Sementara Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali menetapkan bahwa orang yang menghibahkan sesuatu kepada orang lain tidak berhak menariknya kembali kecuali orang yang menghibahkannya itu adalah ayahnya sendiri terhadap anaknya.
Berangkat dari sini, kedua mazhab itu menyatakan bahwa pihak laki-laki tidak berhak lagi atas barang yang telah dihibahkan kepada orang lain karena sudah akad hibah sudah sampai pada ijab-qabul.
Artinya, “Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpandangan bahwa pihak pelamar tidak berhak meminta kembali barang yang telah dihibahkannya apakah barang itu masih ada atau sudah tidak ada. Hadiah setara dengan kedudukan hibah. Bagi ulama dari mazhab ini, pihak yang memberikan hibah tidak berhak meminta kembali barang hibahnya setelah jabat tangan penerimaan kecuali pihak penghibah itu sendiri adalah ayah terhadap anaknya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli,Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 27).
Semua ini berlaku bagi barang seserahan yang tidak dimaksudkan sebagai mahar. Sebagian seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar selagi belum akad merupakan hak laki-laki.
Wallahu A'lam
Bagaimana syariat Islam menjelaskan hal tersebut? Ada perbedaan pandangan di kalangan ulama. Ada yang memperbolehkan namun ada yg tidak karena beberapa alasan .
Menurut pandangan Mazhab Hanafi seperti dilansir NU online, ulama mazhab ini memaknai seserahan atau antaran yang dibawa pihak laki-laki saat lamaran disebutbsebagai hibah. Dari sini, mereka memandang penarikan kembali barang seserahan atau antaran itu dari sudut pandangan mazhab mereka perihal hibah.
Bagi ulama mazhab Hanafi, pihak laki-laki berhak meminta kembali barang seserahan ketika khitbah (lamaran) atau pertemuan dua keluarga sejauh barang tersebut masih ada dan belum berubah ujud.
Dikutip kutip dari Al Fiqhul Islami wa Adillatuh, Syekh Wahbah Az-Zuhayli,menjelaskannya sebagai berikut
قال الحنفية: هدايا الخطبة هبة، وللواهب أن يرجع في هبته إلا إذا وجد مانع من موانع الرجوع بالهبة كهلاك الشيء أو استهلاكه. فإذا كان ما أهداه الخاطب موجوداً فله استرداده. وإذا كان قد هلك أو استهلك أو حدث فيه تغيير، كأن ضاع الخاتم، وأكل الطعام، وصنع القماش ثوباً، فلا يحق للخاطب استرداد بدله
Artinya, “Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa hadiah saat lamaran adalah hibah. Pihak yang memberikan hibah berhak menarik kembali barang hibahnya kecuali bila terdapat uzur yang menghalangi penarikan hibah kembali, yaitu kerusakan barang hibah atau habisnya barang hibah karena telah digunakan. Kalau barang hibah yang diberikan pihak pelamar masih ada, maka ia berhak memintanya kembali. Jika barang hibah itu sudah rusak, sudah habis dipakai, atau terjadi perubahan padanya, yaitu cincin hilang, makanan telah dimakan, kain sudah bentuk menjadi pakaian oleh pedagang kain, maka pihak pelamar tidak berhak meminta kembali dalam bentuk kompensasi,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli,Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 26).
Sedangkan ulama mazhab Maliki memandang persoalan penarikan kembali barang seserahan atau antaran pihak laki-laki dari siapa yang menginisiasi pembatalan perkawinan. Bila inisiatif pembataan perkawinan datang dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki berhak mengambil kembali barang seserahannya. Tetapi jika inisiatif itu datang dari pihak laki-laki sendiri, maka pihak laki-laki tidak berhak menariknya meskipun barang seserahan itu masih utuh.
Sementara Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali menetapkan bahwa orang yang menghibahkan sesuatu kepada orang lain tidak berhak menariknya kembali kecuali orang yang menghibahkannya itu adalah ayahnya sendiri terhadap anaknya.
Berangkat dari sini, kedua mazhab itu menyatakan bahwa pihak laki-laki tidak berhak lagi atas barang yang telah dihibahkan kepada orang lain karena sudah akad hibah sudah sampai pada ijab-qabul.
ورأى الشافعية والحنابلة: أنه ليس للخاطب الرجوع بما أهداه؛ سواء أكانت موجودة أم هالكة لأن للهدية حكم الهبة ولا يجوز عندهم للواهب أن يرجع في هبته بعد قبضها إلا الوالد فيما أعطى ولده
Artinya, “Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpandangan bahwa pihak pelamar tidak berhak meminta kembali barang yang telah dihibahkannya apakah barang itu masih ada atau sudah tidak ada. Hadiah setara dengan kedudukan hibah. Bagi ulama dari mazhab ini, pihak yang memberikan hibah tidak berhak meminta kembali barang hibahnya setelah jabat tangan penerimaan kecuali pihak penghibah itu sendiri adalah ayah terhadap anaknya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli,Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 27).
Semua ini berlaku bagi barang seserahan yang tidak dimaksudkan sebagai mahar. Sebagian seserahan yang dimaksudkan sebagai mahar selagi belum akad merupakan hak laki-laki.
Wallahu A'lam
(wid)