Al-Mughirah bin Syu'bah: Pencetus Ide Mengganti Kekhalifahan Menjadi Dinasti Umayyah
Sabtu, 07 September 2024 - 06:38 WIB
Boleh dibilang Al-Mughirah bin Syu’bah adalah orang pertama yang memiliki ide mengganti sistem pemerintahan islam kekhalifahan dengan dinasti. Soalnya, dialah orang yang mengusulkan kepada Muawiyah bin Abu Sofyan agar mengangkat anaknya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya.
Nasab lengkapnya Al-Mughirah bin Syu'bah bin Abi Amir ats-Tsaqafi. Ia juga dijuluki Mughirah ar-Ra'yi ("Mughirah yang cerdik"). Dia adalah salah seorang Sahabat Nabi yang berasal dari Bani Tsaqif di Thaif.
Pada masa jahiliah Al-Mughirah pernah menjadi perampok , namun ia menemui Nabi Muhammad untuk masuk Islam dan berhijrah pada saat Perang Khandaq .
Mughirah menyertai Nabi Muhammad SAW dalam beberapa peristiwa, antara lain Baiat ar-Ridhwan dan Hudaibiyah, serta penaklukkan Bani Tsaqif. Ia juga menjadi salah seorang juru tulis Nabi Muhammad, dan periwayat beberapa hadis.
Dr H Syamruddin Nasution M.Ag dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013) menyebut ide Al-Mughirah agar Muawiyah mewariskan tahta kekhalifahan kepada putranya, Yazid, muncul ketika ia akan dipecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah.
Mendengar kedudukannya terancam, Al-Mughirah pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah. Kepada Yazid ia mengatakan bahwa sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah berpulang ke rahmatullah demikian juga para pembesar Quraisy yang berpengaruh.
Kini tinggal para puteranya. "Sedangkan engkau adalah yang paling utama di antara mereka, saya tidak mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau menjadi khalifah sesudahnya," ujar Al-Mughiroh.
Yazid memberi tahu ayahnya akan ide itu. Muawiyah lantas memanggil al-Mughirah dan menanyakan kebenarannya.
"Ya Amirul Mukminin sesungguhnya saya telah menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman maka alangkah baiknya bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid, sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah sesudahmu nanti," jawab Al-Mughirah.
Akhirnya, al-Mughirah tidak jadi dipecat Muawiyah, malahan disuruh untuk mempersiapkan bai’at bagi penobatan Yazid menjadi putra mahkota. Misi al-Mughirah berhasil dan dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung Yazid menjadi putra mahkota sepeninggal Muawiyah nanti.
Pemikiran al-Mughirah itu diterima Muawiyah, dengan menunjuk putranya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya, karena dia berkeinginan agar umat Islam tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran karena memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi umat Islam berperang sesamanya dalam Perang Jamal, Perang Shiffin dan mereka belum dapat melupakan malapetaka tersebut disebabkan adanya keinginan orang-orang tertentu menduduki jabatan khalifah.
Oleh sebab itu, Muawiyah mengirim surat kepada Gubernur Madinah Marwan bin al-Hakam, sebagai berikut:
“Aku ini telah lanjut usia, tulangku telah lemah, aku khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sepeninggalku. Dan aku berpendapat kini sebaiknya aku memilih untuk umat seseorang yang akan menjadi khalifah mereka sesudahku..”
Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari para gubernurnya, kecuali Ziyad, gubernur Basrah yang menganjurkan kepada Muawiyah agar tidak tergesa-gesa melaksanakan cita-citanya itu.
Akan tetapi setelah Ziyad meninggal, Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin Ziyad yang menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan penuh dari kalangan Bani Umaiyyah, tetapi ditentang oleh keturunan Bani Hasyim.
Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi Bakar, dengan tegas dia berkata “…kamu hendak menjadikan khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’, bila seorang Heraclius meninggal dunia maka digantikan oleh Heraclius yang lain…”
Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpin-pemimpin lainnya di Madinah seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Umar , Abdullah bin Abbas , Abdullah bin Zubeir , dan lain-lainnya.
Nasab lengkapnya Al-Mughirah bin Syu'bah bin Abi Amir ats-Tsaqafi. Ia juga dijuluki Mughirah ar-Ra'yi ("Mughirah yang cerdik"). Dia adalah salah seorang Sahabat Nabi yang berasal dari Bani Tsaqif di Thaif.
Pada masa jahiliah Al-Mughirah pernah menjadi perampok , namun ia menemui Nabi Muhammad untuk masuk Islam dan berhijrah pada saat Perang Khandaq .
Mughirah menyertai Nabi Muhammad SAW dalam beberapa peristiwa, antara lain Baiat ar-Ridhwan dan Hudaibiyah, serta penaklukkan Bani Tsaqif. Ia juga menjadi salah seorang juru tulis Nabi Muhammad, dan periwayat beberapa hadis.
Dr H Syamruddin Nasution M.Ag dalam bukunya berjudul "Sejarah Peradaban Islam" (Yayasan Pusaka Riau, 2013) menyebut ide Al-Mughirah agar Muawiyah mewariskan tahta kekhalifahan kepada putranya, Yazid, muncul ketika ia akan dipecat Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur Kufah.
Mendengar kedudukannya terancam, Al-Mughirah pergi ke Syam menemui Yazid bin Muawiyah. Kepada Yazid ia mengatakan bahwa sesungguhnya para sahabat pilihan Nabi telah berpulang ke rahmatullah demikian juga para pembesar Quraisy yang berpengaruh.
Kini tinggal para puteranya. "Sedangkan engkau adalah yang paling utama di antara mereka, saya tidak mengerti mengapa Amirul Mukminin tidak mengangkat engkau menjadi khalifah sesudahnya," ujar Al-Mughiroh.
Yazid memberi tahu ayahnya akan ide itu. Muawiyah lantas memanggil al-Mughirah dan menanyakan kebenarannya.
"Ya Amirul Mukminin sesungguhnya saya telah menyaksikan pertumpahan darah sepeninggal Utsman maka alangkah baiknya bila engkau mewariskan kekhalifahan itu kepada Yazid, sungguh Yazid lebih berhak menjadi khalifah sesudahmu nanti," jawab Al-Mughirah.
Akhirnya, al-Mughirah tidak jadi dipecat Muawiyah, malahan disuruh untuk mempersiapkan bai’at bagi penobatan Yazid menjadi putra mahkota. Misi al-Mughirah berhasil dan dapat menggalang penduduk Kufah untuk mendukung Yazid menjadi putra mahkota sepeninggal Muawiyah nanti.
Pemikiran al-Mughirah itu diterima Muawiyah, dengan menunjuk putranya Yazid menjadi khalifah sepeninggalnya, karena dia berkeinginan agar umat Islam tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuran karena memperebutkan jabatan khalifah. Sebab, belum lama lagi umat Islam berperang sesamanya dalam Perang Jamal, Perang Shiffin dan mereka belum dapat melupakan malapetaka tersebut disebabkan adanya keinginan orang-orang tertentu menduduki jabatan khalifah.
Oleh sebab itu, Muawiyah mengirim surat kepada Gubernur Madinah Marwan bin al-Hakam, sebagai berikut:
“Aku ini telah lanjut usia, tulangku telah lemah, aku khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sepeninggalku. Dan aku berpendapat kini sebaiknya aku memilih untuk umat seseorang yang akan menjadi khalifah mereka sesudahku..”
Keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan dari para gubernurnya, kecuali Ziyad, gubernur Basrah yang menganjurkan kepada Muawiyah agar tidak tergesa-gesa melaksanakan cita-citanya itu.
Akan tetapi setelah Ziyad meninggal, Muawiyah mendapat dukungan dari anaknya Ubaidillah bin Ziyad yang menggantikan ayahnya. Hal ini berarti keinginan Muawiyah itu mendapat sokongan penuh dari kalangan Bani Umaiyyah, tetapi ditentang oleh keturunan Bani Hasyim.
Tantangan keras datang dari Abdurrahman bin Abi Bakar, dengan tegas dia berkata “…kamu hendak menjadikan khalifah itu sebagai ‘Heracliusisme’, bila seorang Heraclius meninggal dunia maka digantikan oleh Heraclius yang lain…”
Sikap Abdurrahman itu mendapat sokongan dari pemimpin-pemimpin lainnya di Madinah seperti Husein bin Ali, Abdullah bin Umar , Abdullah bin Abbas , Abdullah bin Zubeir , dan lain-lainnya.