Selain Menimba Ilmu Agama, Santri Belajar Makna Hidup, dan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Sabtu, 02 Mei 2020 - 10:35 WIB
Para santri ini tidak hanya belajar tentang keislaman melalui madrasah diniah, tetapi juga menempuh pendidikan formal mulai madrasah ibtidaiah, SD, madrasah sanawiah, SMP, hingga madrasah aliah, SMA, SMK, dan ada juga Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning (STIKK) yang jenjang pendidikannya diploma satu dan diploma dua.
"Pendidikan di STIKK ditempuh oleh para santri yang sudah lulus madrasah diniah selama enam tahun. Selama belajar di madrasah diniah, para santri diajarkan tentang Kitab Kuning. Sementara di STIKK, mereka diajak menjabarkan Kitab Kuning dalam kehidupan sehari-hari," ujar Gus Umar.
Dicontohkannya, seperti saat menyikapi wabah korona. Para santri yang sudah menempuh pendidikan di STIKK bisa melakukan perumusan dan kajian masalah melalui musyawarah bersama dengan referensi kajian Kitab Kuning, sehingga bisa mengambil sikap yang tidak gegabah. Sikap yang diambil memiliki dasar kuat, dan bisa menjadi acuan bagi masyarakat luas dalam menghadapi bencana ini tanpa kepanikan berlebihan.
Dasar pendidikan di pesantren ini menurutnya memakai sistem pesantren salafiah. Semua pelajaran keislaman dijalankan dengan tradisi yang terus dijaga. "Santri bukan hanya bisa menulis huruf dengan baik, atau mengaji dengan baik saja. Tetapi juga diajari tentang pemaknaannya, sehingga pelajaran yang diterima para santri tidak kehilangan jiwa kemanusiaannya," ungkapnya.
Di dalam pesantren ini, para santri juga mendapatkan bekal tentang ilmu lain di luar ilmu keagamaan, seperti ilmu jurnalistik dan penulisan. Bahkan diajarkan pula membangun usaha mandiri.
Para santri diajak mengolah rasa dan mengolah pikir, serta keahlian-keahlian lainnya untuk menjawab setiap tantangan zaman. Setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda-beda, tentunya para santri diharapkan mampu menjawabnya.
"Santri bisa mengaji itu memang santri. Tetapi santri mampu memiliki keahlian lain yang berguna bagi masyarakat, itu yang harus diwujudkan. Santri istimewa yang memiliki ajaran keislaman dan keimanan kuat, serta mampu menjawab tantangan zaman di luar pesantren," ujar Gus Umar.
Di Ponpes Annur 3 Murah Banyu, santri istimewa itu coba diwujudkan dengan sistem pendidikan yang memadukan dasar-dasar pesantren salafiah, dengan sistem pendidikan modern sesuai perkembangan zaman.
Gus Umar mengatakan, para santri yang telah lulus dari pesantren bukan hanya bisa berdakwah di masyarakat sebagai ustaz, namun bisa berdakwah di segala bidang kehidupan. "Menerjemahkan nilai-nilai keimanan dan keislaman melalui berbagai bidang kehidupan, juga merupakan bentuk dakwah dalam kehidupan nyata di masyarakat," ungkapnya.
Salah satu pengajar di Ponpes Annur 3 Murah Banyu, Ustaz Nu’man Latief, mengungkapkan bahwa sistem pengajaran di pesantren ini berpedoman pada model pesantren salafiah atau salaf, yakni sistem pendidikan klasik yang diajarkan sejak era Wali Songo.
“Tekanannya pada penguasaan kitab klasik atau Kitab Kuning (Kutub Atturast) yang sering juga disebut sebagai kitab gundul. Di pesantren ini masih diberlakukan sistem pengajian sorongan, wetonan, dan bandongan dalam kegiatan belajar-mengajar santri,” terangnya.
Secara umum, hubungan emosional antara kiai dan santri di pesantren salafiah, diakui Nu’man masih sangat dekat, dibandingkan pesantren modern. Kiai menjadi figur sentral sebagai edukator karakter, pembimbing rohani, dan pengajar ilmu agama.
Biaya pendidikan di pesantren salafiah relatif lebih terjangkau dan tidak menganut sistem seleksi. Semua santri yang ingin masuk ke pesantren salafiah pada umumnya langsung diterima. Di pesantren ini, menurutnya, akhlak yang santun menjadi prioritas pendidikan.
“Pesantren salafiah menekankan pada perilaku yang sopan dan santun, terutama dalam berinteraksi dengan guru, orang tua, masyarakat, dan antarsesama santri. Kami di sini memadukan antara salafiah dan modern, di mana dalam proses belajar-mengajarnya mengadaptasi sistem berjenjang dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi,” terangnya.
Dia menegaskan, sistem salafiah yang dikembangkan di pesantren ini berbeda dengan salafi wahabi. “Kami secara kultural memakai amaliah Nahdlatul Ulama (NU) dengan madzhab fiqh khas mengikuti Imam Syafii, dan secara teologi atau tauhid mengikuti madzhab Asy’ariyah atau Maturidiyah. Kami moderat khas NU,” pungkasnya.
Murah Banyu, sebuah semangat sarat makna bagi para santri untuk menempuh pendidikan di pesantren sebagai samudra ilmu untuk mengaji kehidupan, sebagai bekal menebarkan dakwah tentang nilai-nilai kemanusiaan di tengah samudra kehidupan. (Yuswantoro)
"Pendidikan di STIKK ditempuh oleh para santri yang sudah lulus madrasah diniah selama enam tahun. Selama belajar di madrasah diniah, para santri diajarkan tentang Kitab Kuning. Sementara di STIKK, mereka diajak menjabarkan Kitab Kuning dalam kehidupan sehari-hari," ujar Gus Umar.
Dicontohkannya, seperti saat menyikapi wabah korona. Para santri yang sudah menempuh pendidikan di STIKK bisa melakukan perumusan dan kajian masalah melalui musyawarah bersama dengan referensi kajian Kitab Kuning, sehingga bisa mengambil sikap yang tidak gegabah. Sikap yang diambil memiliki dasar kuat, dan bisa menjadi acuan bagi masyarakat luas dalam menghadapi bencana ini tanpa kepanikan berlebihan.
Dasar pendidikan di pesantren ini menurutnya memakai sistem pesantren salafiah. Semua pelajaran keislaman dijalankan dengan tradisi yang terus dijaga. "Santri bukan hanya bisa menulis huruf dengan baik, atau mengaji dengan baik saja. Tetapi juga diajari tentang pemaknaannya, sehingga pelajaran yang diterima para santri tidak kehilangan jiwa kemanusiaannya," ungkapnya.
Di dalam pesantren ini, para santri juga mendapatkan bekal tentang ilmu lain di luar ilmu keagamaan, seperti ilmu jurnalistik dan penulisan. Bahkan diajarkan pula membangun usaha mandiri.
Para santri diajak mengolah rasa dan mengolah pikir, serta keahlian-keahlian lainnya untuk menjawab setiap tantangan zaman. Setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda-beda, tentunya para santri diharapkan mampu menjawabnya.
"Santri bisa mengaji itu memang santri. Tetapi santri mampu memiliki keahlian lain yang berguna bagi masyarakat, itu yang harus diwujudkan. Santri istimewa yang memiliki ajaran keislaman dan keimanan kuat, serta mampu menjawab tantangan zaman di luar pesantren," ujar Gus Umar.
Di Ponpes Annur 3 Murah Banyu, santri istimewa itu coba diwujudkan dengan sistem pendidikan yang memadukan dasar-dasar pesantren salafiah, dengan sistem pendidikan modern sesuai perkembangan zaman.
Gus Umar mengatakan, para santri yang telah lulus dari pesantren bukan hanya bisa berdakwah di masyarakat sebagai ustaz, namun bisa berdakwah di segala bidang kehidupan. "Menerjemahkan nilai-nilai keimanan dan keislaman melalui berbagai bidang kehidupan, juga merupakan bentuk dakwah dalam kehidupan nyata di masyarakat," ungkapnya.
Salah satu pengajar di Ponpes Annur 3 Murah Banyu, Ustaz Nu’man Latief, mengungkapkan bahwa sistem pengajaran di pesantren ini berpedoman pada model pesantren salafiah atau salaf, yakni sistem pendidikan klasik yang diajarkan sejak era Wali Songo.
“Tekanannya pada penguasaan kitab klasik atau Kitab Kuning (Kutub Atturast) yang sering juga disebut sebagai kitab gundul. Di pesantren ini masih diberlakukan sistem pengajian sorongan, wetonan, dan bandongan dalam kegiatan belajar-mengajar santri,” terangnya.
Secara umum, hubungan emosional antara kiai dan santri di pesantren salafiah, diakui Nu’man masih sangat dekat, dibandingkan pesantren modern. Kiai menjadi figur sentral sebagai edukator karakter, pembimbing rohani, dan pengajar ilmu agama.
Biaya pendidikan di pesantren salafiah relatif lebih terjangkau dan tidak menganut sistem seleksi. Semua santri yang ingin masuk ke pesantren salafiah pada umumnya langsung diterima. Di pesantren ini, menurutnya, akhlak yang santun menjadi prioritas pendidikan.
“Pesantren salafiah menekankan pada perilaku yang sopan dan santun, terutama dalam berinteraksi dengan guru, orang tua, masyarakat, dan antarsesama santri. Kami di sini memadukan antara salafiah dan modern, di mana dalam proses belajar-mengajarnya mengadaptasi sistem berjenjang dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi,” terangnya.
Dia menegaskan, sistem salafiah yang dikembangkan di pesantren ini berbeda dengan salafi wahabi. “Kami secara kultural memakai amaliah Nahdlatul Ulama (NU) dengan madzhab fiqh khas mengikuti Imam Syafii, dan secara teologi atau tauhid mengikuti madzhab Asy’ariyah atau Maturidiyah. Kami moderat khas NU,” pungkasnya.
Murah Banyu, sebuah semangat sarat makna bagi para santri untuk menempuh pendidikan di pesantren sebagai samudra ilmu untuk mengaji kehidupan, sebagai bekal menebarkan dakwah tentang nilai-nilai kemanusiaan di tengah samudra kehidupan. (Yuswantoro)
(ysw)