Ini Beda Salafi dan Wahabi Agar Tidak Rancu
Kamis, 17 Oktober 2024 - 14:46 WIB
MUNCULNYA kelompok yang berpakaian ala Timur Tengah di kota-kota besar Indonesia akhir-akhir ini, merupakan sebuah fenomena tersendiri bagi perkembangan umat Islam .
Muhammad Ali Chozin dalam artikelnya berjudul "Strategi Dakwah Salafi di Indonesia" yang dilansir Jurnal Dakwah UIN Sunan Kalijaga, mendeskripsikan pakaian Arab yang dimaksud adalah kalangan laki-laki memakai jubah panjang (jalabiyah), serban (imamah), celana panjang di atas mata kaki (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah,sedangkan di kalangan perempuan memakai pakaian hitam yang menutupi seluruh tubuh (niqab).
"Cara berpakain model tersebut merupakan salah satu aturan dan anjuran yang dikembangkan oleh kelompok Salafi," ujar Muhammad Ali Chozin. "Kalau dirunut sejarahnya, ajaran Salafi sekarang hampir mirip bahkan bisa dikatakan sebagai Wahabi kontemporer."
M. Muksin Jamildkk dalam "Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU" (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007) menyebutajaran Wahabi masuk ke Indonesia pertama kali di daerah Minangkabau, melalui beberapa metode, salah satunya adalah dengan perdagangan di Agam dan Limapuluh Kota tahun 1780-an.
Kemudian, kembalinya tiga orang haji, Syaikh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), Haji Abdul Ahmad (1878-1933), dan Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945), tahun 1803/1804; dan di awal abad ke-20 muncul beberapa ormas yang mengikuti ajaran Wahabi.
Pada awalnya ajaran-ajaran Wahabi hanya berputar pada persoalan tahayul, bid’ah, khurafat, sufi, dan syiah.
Mereka memerangi orang-orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari aturan Islam yang murni menurut versinya.
Muhammad Ali Chozin mengatakan menyamakan Salafi dengan Wahabi selintas agak rancu dan membingungkan. Wahabi adalah penyebutan bagi mereka yang mengikuti ajaran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sedangkan istilah Salafi sudah ada jauh sebelum pendiri Wahabi dilahirkan. Tapi, kenapa banyak kalangan menyamakan ajaran Wahabi dengan ajaran Salafi?
"Untuk menjawabnya, mari kita ketahui sejarah penamaan Salafi modern tersebut," ujar Muhammad Ali Chozin.
Menurutnya, penamaan 'ulang' Salafi dipopulerkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani (1914-1999) tahun 1960-an di Madinah, melalui jamaahnya yang dikenal dengan Jamaah al-Salafiyah al-Muhtasibah.
As’ad Said Ali dalam bukunya "Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi" mengatakan ajaran Salafi yang dikembangkan oleh al-Albani pada dasarnya sama dengan doktrin yang dikembangkan oleh Ibn Abdul Wahhab, yaitu memurnikan kembali ajaran Islam dengan menghilangkan semua yang dianggap bid'ah dan syirik.
Sementara di Indonesia, nama Salafi populer setelah terbitnya Majalah Salafy oleh Ja’far Umar Thalib tahun 1996. Majalah ini merupakan corong dakwah Ja’far Umar Thalib, melalui kolom-kolom dalam majalah seperti: “Ahkam” (Hukum Islam), “Mabhats” (Analisis), “Aqidah” (Keyakinan Islam), “Tafsir” (Tafsir al-Quran), “Hadits” (Hadis), dan “Shirah” (Sejarah Islam).
John L. Esposito dalam "Ensiklopedi Oxford" mengatakan benih Salafi modern berasal dari pemikiran Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) di awal abad ke-20. Tujuan utamanya yaitu menyingkirkan mentalitas taqlid dan jumud dari pemikiran umat Islam selama berabad-abad, mengembalikan Islam pada bentuk aslinya, dan mereformasi kondisi moral, budaya dan politik Muslim.
Namun, ajaran Salafi yang berkembang belakangan ini lebih mirip dengan ajaran Salafi klasik masa Ibn Hanbal yang berfokus pada masalah keyakinan dan moralitas, seperti tauhid ketat, atribut Ilahiyah, memerangi bid’ah, anti sufisme, dan mengembangkan integritas moral individu.
Muhammad Ali Chozin dalam artikelnya berjudul "Strategi Dakwah Salafi di Indonesia" yang dilansir Jurnal Dakwah UIN Sunan Kalijaga, mendeskripsikan pakaian Arab yang dimaksud adalah kalangan laki-laki memakai jubah panjang (jalabiyah), serban (imamah), celana panjang di atas mata kaki (isbal), dan memelihara jenggot (lihyah,sedangkan di kalangan perempuan memakai pakaian hitam yang menutupi seluruh tubuh (niqab).
"Cara berpakain model tersebut merupakan salah satu aturan dan anjuran yang dikembangkan oleh kelompok Salafi," ujar Muhammad Ali Chozin. "Kalau dirunut sejarahnya, ajaran Salafi sekarang hampir mirip bahkan bisa dikatakan sebagai Wahabi kontemporer."
M. Muksin Jamildkk dalam "Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, dan NU" (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2007) menyebutajaran Wahabi masuk ke Indonesia pertama kali di daerah Minangkabau, melalui beberapa metode, salah satunya adalah dengan perdagangan di Agam dan Limapuluh Kota tahun 1780-an.
Kemudian, kembalinya tiga orang haji, Syaikh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947), Haji Abdul Ahmad (1878-1933), dan Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945), tahun 1803/1804; dan di awal abad ke-20 muncul beberapa ormas yang mengikuti ajaran Wahabi.
Pada awalnya ajaran-ajaran Wahabi hanya berputar pada persoalan tahayul, bid’ah, khurafat, sufi, dan syiah.
Mereka memerangi orang-orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang keluar dari aturan Islam yang murni menurut versinya.
Muhammad Ali Chozin mengatakan menyamakan Salafi dengan Wahabi selintas agak rancu dan membingungkan. Wahabi adalah penyebutan bagi mereka yang mengikuti ajaran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sedangkan istilah Salafi sudah ada jauh sebelum pendiri Wahabi dilahirkan. Tapi, kenapa banyak kalangan menyamakan ajaran Wahabi dengan ajaran Salafi?
"Untuk menjawabnya, mari kita ketahui sejarah penamaan Salafi modern tersebut," ujar Muhammad Ali Chozin.
Menurutnya, penamaan 'ulang' Salafi dipopulerkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani (1914-1999) tahun 1960-an di Madinah, melalui jamaahnya yang dikenal dengan Jamaah al-Salafiyah al-Muhtasibah.
As’ad Said Ali dalam bukunya "Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi" mengatakan ajaran Salafi yang dikembangkan oleh al-Albani pada dasarnya sama dengan doktrin yang dikembangkan oleh Ibn Abdul Wahhab, yaitu memurnikan kembali ajaran Islam dengan menghilangkan semua yang dianggap bid'ah dan syirik.
Sementara di Indonesia, nama Salafi populer setelah terbitnya Majalah Salafy oleh Ja’far Umar Thalib tahun 1996. Majalah ini merupakan corong dakwah Ja’far Umar Thalib, melalui kolom-kolom dalam majalah seperti: “Ahkam” (Hukum Islam), “Mabhats” (Analisis), “Aqidah” (Keyakinan Islam), “Tafsir” (Tafsir al-Quran), “Hadits” (Hadis), dan “Shirah” (Sejarah Islam).
John L. Esposito dalam "Ensiklopedi Oxford" mengatakan benih Salafi modern berasal dari pemikiran Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) di awal abad ke-20. Tujuan utamanya yaitu menyingkirkan mentalitas taqlid dan jumud dari pemikiran umat Islam selama berabad-abad, mengembalikan Islam pada bentuk aslinya, dan mereformasi kondisi moral, budaya dan politik Muslim.
Namun, ajaran Salafi yang berkembang belakangan ini lebih mirip dengan ajaran Salafi klasik masa Ibn Hanbal yang berfokus pada masalah keyakinan dan moralitas, seperti tauhid ketat, atribut Ilahiyah, memerangi bid’ah, anti sufisme, dan mengembangkan integritas moral individu.
(mhy)