Kisah Muhammadiyah Menghadapi 3 Front: Modernisme, Tradisionalisme dan Jawaisme

Rabu, 20 November 2024 - 14:06 WIB
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan. Foto: Ist/mhy
MUHAMMADIYAH kini tengah memperingati milad yang ke-112. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M. Bagaimana sejatinya gambaran masa lalu perjuangan salah satu ormas terbesar di Indonesia ini?

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mengatakan di masa lalu, sebelum gerakan pembaruan dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, ajaran Islam itu misterius, penuh mistik, tahayul, gugon tuhon, hanya terkait persoalan sesudah mati.

"Selain itu, tidak setiap orang bebas memperoleh pembelajaran ajaran Islam karena memperolehnya memerlukan persyaratan yang rumit," ujar Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dalam tulisannya berjudul "Kiai Ahmad Dahlan Mengganti Jimat, Dukun, dan Yang Keramat Dengan Ilmu Pengetahuan Basis Pencerahan Umat Bagi Pemihakan Terhadap Si Ma’un" dalam buku "KH Ahmad Dahlan" (1868-1923)".

Buku ini diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015. Abdul Munir Mulkan adalah Guru Besar tetap UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Guru Besar Emiritus Universitas Muhammadiyah Surakarta.



Menurut Abdul Munir Mulkan, kala itu, dunia sosial pemeluk Islam dipenuhi selimut tebal jimat, perdukunan, benda dan orang keramat, serta kisah-kisah membingungkan sehingga hubungan sosial antar pemeluk Islam sulit dikoordinasikan.

Tiap orang lebih sibuk dengan diri sendiri tanpa pemimpin yang memberi arah, bahkan cenderung saling bertikai.

Pembaruan Kiai Ahmad Dahlan, membuat ajaran Islam menjadi sederhana. Tiap orang bisa dengan mudah memperoleh sumber belajar dengan guru yang setiap saat siap bersedia mendatangi tempat-tempat umat tinggal, melalui apa yang disebut tabligh (pengajian), sekarang dikenal sebagai majlis taklim.

Kiai Ahmad Dahlan memulai membuka kegiatan tabligh menjadi kegiatan terbuka, bisa dilakukan siapa saja asal bersedia.

Gerakan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan membuat ajaran Islam menjadi agama rakyat bagi si Ma’un (orang pinggiran) sekaligus berfungsi bagi pemecahan persoalan kehidupan yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari.

Peran sentral Kiai Ahmad Dahlan dalam perkembangan Muhammadiyah, sebagai pendiri, juga dalam kaitan dengan pembaruan keagamaan Islam, dilukiskan dalam catatan budayawan, Kuntowijoyo.



Sejarawan yang budayawan ini, menyatakan tentang apa dan bagaimana warisan Kiai Ahmad Dahlan. Gambarannya tentang sosok Kiai Ahmad Dahlan berikut bisa dijadikan dasar melihat peran sentral Kiai Ahmad Dahlan dalam pembaruan keagamaan Islam. Juga tentang strategi mengembangkan pembaruan keagamaan tersebut.

Kuntowijoyo mengatakan kenyataan sejarah yang sering dilupakan oleh para pengikut Muhammadiyah (dan “musuh-musuhnya”) ialah bahwa KH Ahmad Dahlan sangat toleran dengan praktik keagamaan zamannya, sehingga ia dapat diterima semua golongan.

"Sebagai seorang santri, ia menjadi pengurus BO (Boedi Oetomo), mengajar agama untuk murid-murid Kweekschool, dan dengan mudah bergaul dengan orang-orang BO yang pasti dari golongan priyayi yang cenderung abangan," tulis Kuntowijoyo.

Terbukti pada 1914, ia bermaksud mendirikan sekolah Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta, teman-temannya di BO meminjamkan uang dan menyediakan diri menjadi penjamin supaya ia dapat meminjam uang dari bank (Darmo Kondo, 12 Des 1914).

Akan tetapi, lanjut Kuntowijoyo, orang hanya mengingatnya sebagai tokoh pemurnian Islam yang konsekuen dengan gagasannya. Namun, rupanya Islam murni hanya berlaku bagi dirinya sendiri dan orang-orang yang sepaham, tetapi tidak untuk orang lain.



Kuntowijoyo menyebut pada waktu itu, Muhammadiyah menghadapi tiga front, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.

Modernisme sudah dijawab dengan pendirian sekolah-sekolah (termasik HIS met de Qur’an dan Scakelshool di Wuluhan itu), kepanduan, dan voluntary association lainnya.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More