Kisah Bijak Para Sufi Yunus Putra Adam: Makanan dari Surga
Sabtu, 23 November 2024 - 06:00 WIB
Saat sedang menimbang langkah berikutnya, Yunus melihat seorang darwis yang tinggi dan lusuh, dengan rambut acak-acakan bak pertapa dan pakaian penuh tambalan warna-warni, berdiri di hadapannya.
"Salam, Baba, Bapak!" sapa Yunus.
"Ishq, Hoo!" balas pertapa itu nyaring. "Dan apa pula urusanmu di sini?"
"Aku sedang melakukan suatu pencarian suci," putra Adam itu menjelaskan, "untuk menyelesaikannya aku harus mencapai benteng di seberang sana. Adakah Bapak punya nasihat agar saya bisa ke sana?"
"Karena tampaknya engkau tak tahu apa-apa mengenai benteng itu, sekalipun sangat menaruh minat padanya," jawab pertapa itu, "akan kuceritakan padamu apa yang kutahu."
"Pertama, putri seorang raja tinggal di sana, terasing dan terpenjara, dilayani oleh para pelayan jelita, namun dibatasi geraknya. Ia tak mampu lari sebab lelaki yang menangkapnya dan menawannya di situ --sebab ia menolak menikahinya-- telah memasang rintangan-rintangan sakti dan sangat sulit ditembus, tak tampak oleh mata telanjang. Engkau harus terlebih dahulu melewati halangan itu untuk bisa masuk benteng dan mencapai maksudmu."
"Kalau begitu halnya, bisakah Bapak menolong aku?"
"Aku sedang hendak memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi kusampaikan padamu suatu mantra, Wadzifah, yang bila engkau layak, akan memanggil bagimu kekuatan gaib para jin kebajikan, makhluk api, satu-satunya yang ampuh menangkal kekuatan sihir di sekeliling benteng itu. Semoga engkau berhasil." Kemudian pertapa itu pergi, setelah merapal suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak dengan gesitnya, sungguh mengagumkan bagi sosoknya yang pantas dimuliakan itu.
Yunus duduk bersila berhari-hari melatih Wadzifah dan mengamati munculnya halwa. Kemudian, suatu sore saat matanya sedang menikmati mentari senja menari-nari di atas menara benteng itu, dilihatnya sesuatu yang aneh. Di sana, berdirilah seorang gadis dengan cahaya kecantikan yang tiada tara, yang tentu saja adalah putri yang diceritakan oleh darwis itu. Gadis itu terpaku sejenak menatap mentari, lalu menjatuhkan sebungkus halwa ke bawah, ke ombak riuh yang berulang-ulang menghantam dinding benteng. Inilah rupanya sumber karunia itu.
"Sumber makanan surga!" seru Yunus. Kini, ia merasa berada di ambang kebenaran. Cepat atau lambat pemimpin jin, yang dipanggilnya terus dengan mantera Wadzifah darwis, pasti datang, dan membantunya mencapai benteng, putri itu, dan kebenaran.
Tak lama setelah berpikir demikian, ia mendapati dirinya dibawa menembus langit menuju alam roh, yang penuh dengan rumah-rumah indah nan mengagumkan. Ia masuk ke salah satunya, dan di dalamnya berdiri suatu makhluk menyerupai seorang manusia, tetapi bukan manusia: penampilannya masih muda, namun bijaksana dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk itu, "adalah pemimpin bangsa jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sebagai jawaban atas panggilan Tuan dan karena Tuan menggunakan Nama Agung yang diberikan pada Tuan oleh Darwis Yang Agung. Apa yang Tuan ingin hamba lakukan?"
"Wahai Pemimpin kaum Jin yang perkasa," sahut Yunus, "Aku adalah seorang Pencari Kebenaran, dan jawaban yang kucari hanya bisa kutemukan di dalam benteng mengharumkan di dekat tempatku berada ketika engkau membawaku kemari, Berilah padaku, aku mohon, kekuatan untuk menerobos benteng dan berbicara dengan putri yang terpenjara di sana."'
"Jadilah menurut permohonanmu!" kata pemimpin Jin. "Namun ingatlah, di atas segalanya, bahwa seorang manusia memperoleh jawab atas pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dan mengolahnya sendiri."
"Kebenaran adalah kebenaran," balas Yunus, "dan aku akan mendapatkannya, tak masalah apa itu bentuknya. Berikan padaku karunia itu."
Segera saja Yunus dikirim kembali dalam wujud tak terlihat (dengan kekuatan sihir Jin) disertai sekelompok jin kecil-kecil, yang ditugaskan oleh pemimpin mereka untuk menggunakan kemampuan khusus mereka membantu manusia itu dalam pencariannya. Di tangannya, Yunus memegang sebuah cermin-batu yang kata pemimpin in harus diarahkannya ke benteng agar ia dapat melihat rintangan-rintangan tak kasat mata.
Dari batu itu, Yunus melihat bahwa benteng dijaga oleh segerombol raksasa, tak tampak namun mengerikan, yang menghantam siapa saja yang mendekat. Jin-jin pengawal yang unggul atas tugas ini berhasil menyingkirkan raksasa-raksasa itu. Kemudian, ia menemukan bahwa ada semacam jaring tak kelihatan yang membungkus seluruh benteng itu. Ini pun dihancurkan oleh para jin yang terbang dan mempunyai kecerdikan khusus untuk merobek jaring itu. Rintangan terakhir berupa batu besar tak tampak, yang memenuhi ruang antara benteng dan tepi sungai. Para jin menyingkirkannya, lalu sesudah itu menghabarkan salam dan terbang pergi laksana kilat, kembali ke asal mereka.
Yunus menoleh dan menyaksikan sebuah jembatan, dengan sendirinya, muncul dari dasar sungai, dan ia berjalan memasuki benteng tanpa perlu berbasah kaki. Seorang pengawal gerbang segera membawanya kepada putri, yang sungguh jauh lebih mempesona dibandingkan kali pertama terlihat oleh Yunus.
"Salam, Baba, Bapak!" sapa Yunus.
"Ishq, Hoo!" balas pertapa itu nyaring. "Dan apa pula urusanmu di sini?"
"Aku sedang melakukan suatu pencarian suci," putra Adam itu menjelaskan, "untuk menyelesaikannya aku harus mencapai benteng di seberang sana. Adakah Bapak punya nasihat agar saya bisa ke sana?"
"Karena tampaknya engkau tak tahu apa-apa mengenai benteng itu, sekalipun sangat menaruh minat padanya," jawab pertapa itu, "akan kuceritakan padamu apa yang kutahu."
"Pertama, putri seorang raja tinggal di sana, terasing dan terpenjara, dilayani oleh para pelayan jelita, namun dibatasi geraknya. Ia tak mampu lari sebab lelaki yang menangkapnya dan menawannya di situ --sebab ia menolak menikahinya-- telah memasang rintangan-rintangan sakti dan sangat sulit ditembus, tak tampak oleh mata telanjang. Engkau harus terlebih dahulu melewati halangan itu untuk bisa masuk benteng dan mencapai maksudmu."
"Kalau begitu halnya, bisakah Bapak menolong aku?"
"Aku sedang hendak memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi kusampaikan padamu suatu mantra, Wadzifah, yang bila engkau layak, akan memanggil bagimu kekuatan gaib para jin kebajikan, makhluk api, satu-satunya yang ampuh menangkal kekuatan sihir di sekeliling benteng itu. Semoga engkau berhasil." Kemudian pertapa itu pergi, setelah merapal suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak dengan gesitnya, sungguh mengagumkan bagi sosoknya yang pantas dimuliakan itu.
Yunus duduk bersila berhari-hari melatih Wadzifah dan mengamati munculnya halwa. Kemudian, suatu sore saat matanya sedang menikmati mentari senja menari-nari di atas menara benteng itu, dilihatnya sesuatu yang aneh. Di sana, berdirilah seorang gadis dengan cahaya kecantikan yang tiada tara, yang tentu saja adalah putri yang diceritakan oleh darwis itu. Gadis itu terpaku sejenak menatap mentari, lalu menjatuhkan sebungkus halwa ke bawah, ke ombak riuh yang berulang-ulang menghantam dinding benteng. Inilah rupanya sumber karunia itu.
"Sumber makanan surga!" seru Yunus. Kini, ia merasa berada di ambang kebenaran. Cepat atau lambat pemimpin jin, yang dipanggilnya terus dengan mantera Wadzifah darwis, pasti datang, dan membantunya mencapai benteng, putri itu, dan kebenaran.
Tak lama setelah berpikir demikian, ia mendapati dirinya dibawa menembus langit menuju alam roh, yang penuh dengan rumah-rumah indah nan mengagumkan. Ia masuk ke salah satunya, dan di dalamnya berdiri suatu makhluk menyerupai seorang manusia, tetapi bukan manusia: penampilannya masih muda, namun bijaksana dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk itu, "adalah pemimpin bangsa jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sebagai jawaban atas panggilan Tuan dan karena Tuan menggunakan Nama Agung yang diberikan pada Tuan oleh Darwis Yang Agung. Apa yang Tuan ingin hamba lakukan?"
Baca Juga
"Wahai Pemimpin kaum Jin yang perkasa," sahut Yunus, "Aku adalah seorang Pencari Kebenaran, dan jawaban yang kucari hanya bisa kutemukan di dalam benteng mengharumkan di dekat tempatku berada ketika engkau membawaku kemari, Berilah padaku, aku mohon, kekuatan untuk menerobos benteng dan berbicara dengan putri yang terpenjara di sana."'
"Jadilah menurut permohonanmu!" kata pemimpin Jin. "Namun ingatlah, di atas segalanya, bahwa seorang manusia memperoleh jawab atas pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya untuk mengerti dan mengolahnya sendiri."
"Kebenaran adalah kebenaran," balas Yunus, "dan aku akan mendapatkannya, tak masalah apa itu bentuknya. Berikan padaku karunia itu."
Segera saja Yunus dikirim kembali dalam wujud tak terlihat (dengan kekuatan sihir Jin) disertai sekelompok jin kecil-kecil, yang ditugaskan oleh pemimpin mereka untuk menggunakan kemampuan khusus mereka membantu manusia itu dalam pencariannya. Di tangannya, Yunus memegang sebuah cermin-batu yang kata pemimpin in harus diarahkannya ke benteng agar ia dapat melihat rintangan-rintangan tak kasat mata.
Dari batu itu, Yunus melihat bahwa benteng dijaga oleh segerombol raksasa, tak tampak namun mengerikan, yang menghantam siapa saja yang mendekat. Jin-jin pengawal yang unggul atas tugas ini berhasil menyingkirkan raksasa-raksasa itu. Kemudian, ia menemukan bahwa ada semacam jaring tak kelihatan yang membungkus seluruh benteng itu. Ini pun dihancurkan oleh para jin yang terbang dan mempunyai kecerdikan khusus untuk merobek jaring itu. Rintangan terakhir berupa batu besar tak tampak, yang memenuhi ruang antara benteng dan tepi sungai. Para jin menyingkirkannya, lalu sesudah itu menghabarkan salam dan terbang pergi laksana kilat, kembali ke asal mereka.
Baca Juga
Yunus menoleh dan menyaksikan sebuah jembatan, dengan sendirinya, muncul dari dasar sungai, dan ia berjalan memasuki benteng tanpa perlu berbasah kaki. Seorang pengawal gerbang segera membawanya kepada putri, yang sungguh jauh lebih mempesona dibandingkan kali pertama terlihat oleh Yunus.