Kisah Perpecahan Ahmadiyah: Berpusat Pada Masalah Akidah
Kamis, 12 Desember 2024 - 12:49 WIB
ini dipimpin oleh Maulawi Muhammad 'Ali.
Syafi R. Batuah dalam bukunya berjudul "Ahmadiyah Apa dan Mengapa" (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985) menyebut lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore.
Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya.
Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali.
Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat.
Masuk ke Indonesia
Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing.
Selain itu, mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani di bawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyahor The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 PreciousGems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam.
Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.
Di samping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta.
Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang.
Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.
Syafi R. Batuah dalam bukunya berjudul "Ahmadiyah Apa dan Mengapa" (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1985) menyebut lahirnya sekte Ahmadiyah Lahore ini adalah bermula dari kegagalan Maulawi Muhammad 'Ali dalam mencapai ambisinya untuk menjadi khalifah kedua. Oleh sebab itu, ia dan pengikutnya memisahkan diri dan membentuk sekte baru yang berpusat di Lahore.
Akan tetapi, yang menjadi sebab perpecahan itu tampaknya lebih berpusat pada masalah akidah. Sebagai pernyataan R. Batuah sendiri bahwa jika golongan Ahmadiyah Lahore memandang Mirza sebagai al-Masih dan al-Mahdi serta sebagai Mujaddid, maka sekte Qadiani memandangnya, sebagai nabi dan rasul yang harus didengar dan ditaati ajaran-ajarannya.
Alasan yang mereka majukan adalah bahwa orang tidak mempercayai al-Masih dan al-Mahdi (Mirza), berarti ia tidak mengikuti seluruh ajaran al-Quran serta tidak mengindahkan pesan Nabi tentang kehadiran al-Mahdi di akhir zaman.
Setelah Ahmadiyah menghadapi perpecahan yang tidak mungkin lagi dihindarkan, akhirnya gerakan Mahdiisme ini terpecah menjadi dua aliran dan tampaknya kedua sekte tersebut sulit dipersatukan kembali.
Akan tetapi kedua sekte ini, sangat aktif dan intensif dalam usaha mewujudkan cita-cita kemahdiannya, terutama di kalangan masyarakat Kristen Barat.
Baca Juga
Masuk ke Indonesia
Pengikut masing-masing sekte mendirikan mesjid-mesjid sebagai pusat kegiatan, menterjemahkan al-Quran berikut dengan komentar-komentarnya kedalam bahasa asing.
Selain itu, mereka juga menerbitkan buku-buku tentang Islam. Golongan Lahore di bawah pimpinan Maulana Muhammad 'Ali, menerbitkan The Religion of Islam, sedangkan golongan Qadiani di bawah pimpinan Basyiruddin Mahmud, menulis sebuah uraian yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul Ahmadiyahor The True Islam, terbit tahun 1924, dan dalam penerbitannya yang terakhir disebut dengan; 8500 PreciousGems from World's Best Literature yang berisi catatan-catatan dari literatur lama dan modern baik dari Islam maupun non-Islam.
Demikian pula dimuat masalah-masalah agama dan moral. Dalam tahun 1947 komunitas Ahmadiyah yang berpusat di Qadian, terpaksa harus memindahkan pusat kegiatannya ke Rabwa Pakistan, sewaktu timbul masalah perbatasan antara Pakistan dengan India.
Di samping itu, Gerakan Mahdi Ahmadiyah tampaknya juga aktif mendirikan berbagai lembaga pendidikan serta pusat-pusat kesehatan di berbagai tempat di kawasan Asia dan Afrika.
Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada tahun 1924, dibawa oleh dua orang mubalignya yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Wali Ahmad, mereka memulai kegiatannya di Yogyakarta.
Setahun kemudian yaitu tahun 1925, sekte Qadian menyusul, dibawa oleh seorang mubalignya bernama Rahmad 'Ali H.A.O.T. dan mulai mendakwahkan ide kemahdian Mirza, di Tapaktuan, dua tahun kemudian ia pindah ke Padang.
Baca Juga
Kedua sekte tersebut berlomba untuk menanamkan pengaruhnya, dan rupanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat dan mendapat kesuksesan dalam misinya.
(mhy)
Lihat Juga :