Gerakan Islam Modernis di Era Penjajahan: Berikut Ini Tokoh-tokohnya
Kamis, 12 Desember 2024 - 20:51 WIB
Pada awal abad XX muncul pemikiran Islam intelektual yang dipusatkan pada perkembangan Islam modernis. Pemikiran ini pertama kali muncul dan dikembangkan di Timur Tengah tatkala Muhammad Abduh (1905) dan Muhammad Rashid Rida (1935) menyebarkan pemikiran intelektual ini hingga pertengahan abad XX.
Sementara itu, di Asia Tenggara yang mayoritas wilayahnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, Inggris, Prancis dan Thailand memiliki dampak yang sangat luas. Namun sejak pertengahan abad XX, pengaruh itu mulai berkurang. Bahkan di wilayah Serawak, Borneo Utara dan Filipina Selatan hampir tidak terkena pengaruh itu.
Ideologi baru yang mereka bawa adalah pemikiran yang merupakan kritikan terhadap praktik animisme yang dijalankan oleh umat, yang diyakini akan menghambat penerimaan ajaran Islam standar dan modernisasinya.
Untuk menyebarkan ideologinya yang baru itu, pada 1906, mereka menerbitkan surat kabar yang berjudul Al-Imam. Surat kabar itu dijadikan corong dalam menyebarkan pesan modernisme, agar dapat dipahami pula oleh ilmuwan agama lainnya, atau bagi umat Islam yang tertarik akan pandangan itu.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868 - 1923)" bab "Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra" menyebut di Sumatera Barat, gerakan serupa juga muncul yang dipimpin oleh Haji Rasul, yang wafat pada 1944.
"Haji Rasul mengusulkan agar khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa daerah, karena hanya segelintir orang saja yang memahami bahasa Arab," tulis Djoko Marihandono.
Menurut lulusan sarjana Sastra Prancis, Magister Antropologi dan Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia ini, pandangan Haji Rasul dapat dilihat dalam majalah yang diterbitkannya, yang berjudul Al Moenir, yang kala itu memperoleh tanggapan yang luar biasa dari para petinggi agama di wilayah itu.
Selain tokoh Haji Rasul, juga muncul tokoh Haji Agus Salim , yang wafat pada 1954. Tokoh ini juga berasal dari Sumatera Barat yang dididik dalam sistem pendidikan Belanda.
Pandangan Haji Agus Salim tertuju pada eksploitasi orang Asia Tenggara sebagai dampak dari sistem kolonial. Agar gagasannya dapat dipahami oleh kaum bumi putera, ia mendorong kaum intelektual muda Islam untuk mengikuti sekolah Belanda.
Gagasan modernisme Islam lainnya muncul dari seorang tokoh yang dampaknya masih berlanjut hingga saat ini. Tokoh ini bernama Ahmad Dahlan (1868-1923), yang mulai bergerak sejak 1912 di kota Yogyakarta.
Ia menekankan pentingnya aktivitas Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah baru yang memadukan antara metode pengajaran modern Barat dan ajaran Islam yang standar.
Selain mendirikan sekolah, ia pun juga mendirikan klinik dan rumah sakit dengan menggunakan metode pengobatan baru à la Barat.
Dari karya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat itu, Ahmad Dahlan mulai mendirikan organisasi Muhammadiyah yang saat itu menarik perhatian masyarakat yang berasal dari kelompok Islam kelas menengah.
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, beberapa tahun setelah wafatnya (tepatnya pada 1930) organisasi ini telah memiliki anggota sebanyak 24.000 orang lebih, dengan 4.000 lebih siswa di 50 sekolah yang dibuka oleh Muhammadiyah.
Dengan demikian Muhammadiyah menjadi organisasi sosial yang memusatkan perhatiannya pada kebutuhan umat Islam yang tinggal di kota, seperti poliklinik, perpustakaan, masjid, dan tabligh.
Hampir bersamaan dengan Ahmad Dahlan, muncul seorang Arab Sunda yang bernama Ahmad Surkati, yang wafat pada 1943. Ahmad Surkati memusatkan perhatiannya pada umat Islam yang tinggal di Batavia dan bekerja dalam komunitas Arab.
Ia mulai mengajarkan ideologinya melalui pembaharuan sistem pendidikan di Batavia. Tujuannya adalah ingin mengubah ajaran Islam klasik yang dianggapnya tidak sesuai dengan modernisasi Islam.
Selain tokoh-tokoh tersebut, di Bandung, pada 1920-an muncul tokoh Ahmad Hasan yang wafat pada 1958. Ia mendirikan sebuah usaha percetakan di Bandung yang telah membawanya ke arah ideologi yang disebutkan sebagai Persatuan Islam (Persis).
Kelompok ini berkembang pesat di kota Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Persis ini mendirikan majalah yang berjudul Pembela Islam.
Gagasan pembaharuan yang dibawanya dimuat dalam majalah Pembela Islam ini. Sebelum meninggal, ia memperjuangkan peninjauan kembali sistem hukum Islam yang menurut pendapatnya dipenuhi dengan berbagai keputusan yang tidak bersumber pada kitab suci Islam Al Qur’an dan tradisi Islam yang benar.
Sementara itu, di Asia Tenggara yang mayoritas wilayahnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, Inggris, Prancis dan Thailand memiliki dampak yang sangat luas. Namun sejak pertengahan abad XX, pengaruh itu mulai berkurang. Bahkan di wilayah Serawak, Borneo Utara dan Filipina Selatan hampir tidak terkena pengaruh itu.
Ideologi baru yang mereka bawa adalah pemikiran yang merupakan kritikan terhadap praktik animisme yang dijalankan oleh umat, yang diyakini akan menghambat penerimaan ajaran Islam standar dan modernisasinya.
Untuk menyebarkan ideologinya yang baru itu, pada 1906, mereka menerbitkan surat kabar yang berjudul Al-Imam. Surat kabar itu dijadikan corong dalam menyebarkan pesan modernisme, agar dapat dipahami pula oleh ilmuwan agama lainnya, atau bagi umat Islam yang tertarik akan pandangan itu.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku "KH Ahmad Dahlan (1868 - 1923)" bab "Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra" menyebut di Sumatera Barat, gerakan serupa juga muncul yang dipimpin oleh Haji Rasul, yang wafat pada 1944.
"Haji Rasul mengusulkan agar khotbah Jumat disampaikan dalam bahasa daerah, karena hanya segelintir orang saja yang memahami bahasa Arab," tulis Djoko Marihandono.
Menurut lulusan sarjana Sastra Prancis, Magister Antropologi dan Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia ini, pandangan Haji Rasul dapat dilihat dalam majalah yang diterbitkannya, yang berjudul Al Moenir, yang kala itu memperoleh tanggapan yang luar biasa dari para petinggi agama di wilayah itu.
Selain tokoh Haji Rasul, juga muncul tokoh Haji Agus Salim , yang wafat pada 1954. Tokoh ini juga berasal dari Sumatera Barat yang dididik dalam sistem pendidikan Belanda.
Baca Juga
Pandangan Haji Agus Salim tertuju pada eksploitasi orang Asia Tenggara sebagai dampak dari sistem kolonial. Agar gagasannya dapat dipahami oleh kaum bumi putera, ia mendorong kaum intelektual muda Islam untuk mengikuti sekolah Belanda.
Gagasan modernisme Islam lainnya muncul dari seorang tokoh yang dampaknya masih berlanjut hingga saat ini. Tokoh ini bernama Ahmad Dahlan (1868-1923), yang mulai bergerak sejak 1912 di kota Yogyakarta.
Ia menekankan pentingnya aktivitas Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah baru yang memadukan antara metode pengajaran modern Barat dan ajaran Islam yang standar.
Selain mendirikan sekolah, ia pun juga mendirikan klinik dan rumah sakit dengan menggunakan metode pengobatan baru à la Barat.
Dari karya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat itu, Ahmad Dahlan mulai mendirikan organisasi Muhammadiyah yang saat itu menarik perhatian masyarakat yang berasal dari kelompok Islam kelas menengah.
Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, beberapa tahun setelah wafatnya (tepatnya pada 1930) organisasi ini telah memiliki anggota sebanyak 24.000 orang lebih, dengan 4.000 lebih siswa di 50 sekolah yang dibuka oleh Muhammadiyah.
Dengan demikian Muhammadiyah menjadi organisasi sosial yang memusatkan perhatiannya pada kebutuhan umat Islam yang tinggal di kota, seperti poliklinik, perpustakaan, masjid, dan tabligh.
Hampir bersamaan dengan Ahmad Dahlan, muncul seorang Arab Sunda yang bernama Ahmad Surkati, yang wafat pada 1943. Ahmad Surkati memusatkan perhatiannya pada umat Islam yang tinggal di Batavia dan bekerja dalam komunitas Arab.
Ia mulai mengajarkan ideologinya melalui pembaharuan sistem pendidikan di Batavia. Tujuannya adalah ingin mengubah ajaran Islam klasik yang dianggapnya tidak sesuai dengan modernisasi Islam.
Selain tokoh-tokoh tersebut, di Bandung, pada 1920-an muncul tokoh Ahmad Hasan yang wafat pada 1958. Ia mendirikan sebuah usaha percetakan di Bandung yang telah membawanya ke arah ideologi yang disebutkan sebagai Persatuan Islam (Persis).
Kelompok ini berkembang pesat di kota Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Persis ini mendirikan majalah yang berjudul Pembela Islam.
Gagasan pembaharuan yang dibawanya dimuat dalam majalah Pembela Islam ini. Sebelum meninggal, ia memperjuangkan peninjauan kembali sistem hukum Islam yang menurut pendapatnya dipenuhi dengan berbagai keputusan yang tidak bersumber pada kitab suci Islam Al Qur’an dan tradisi Islam yang benar.
(mhy)
Lihat Juga :