Pendidikan Muhammadiyah: Kisah KH Ahmad Dahlan Dianggap Muktazilah sampai Murtad
loading...
A
A
A
MUHAMMADIYAH tengah memperingati milad yang ke-112 tahun ini. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini lahir pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan dengan 18 November 1912 M. Bagaimana sejatinya perjuangan Pahlawan Nasional ini dalam membangun pendidikan sehingga seperti sekarang ini?
Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed menyebut salah satu terobosan KH Ahmad Dahlan adalah melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum dan metode pendidikan. Menurutnya, setidaknya ada 3 langkah yang ditempuh Kiai Dahlan dalam melakukan pembaharuan dalam bidang tersebut.
Pertama, Kiai Ahmad Dahlan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam pendidikan lembaga pendidikan Islam. Selain mengikuti dan mengadopsi sistem kurikulum Belanda , di dalam sekolah Muhammadiyah juga mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Metode belajar yang diterapkan juga menggunakan sistem klasikal dengan materi belajar terstruktur sesuai dengan jenjang pendidikan masing-masing kelas.
"Itu berbeda dengan pengajaran di pesantren yang menerapkan metode sorogan dan wetonan/bandungan," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan".
Buku tersebut diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu'ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Saat itu, terobosan yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan bukanlah hal yang mudah. Tantangan justru datang dari kalangan umat Islam sendiri. Ilmu-ilmu itu dalam pandangan mereka adalah ilmu kafir yang tidak penting untuk dipelajari. Sampai-sampai ada yang menuduh Ahmad Dahlan murtad, penganut Mu’tazilah yang menurut pemahaman akidah mereka dianggap sebagai aliran sesat.
Bahkan sampai 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan.
Kedua, Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan pendidikan agama ekstra kurikuler di sekolah-sekolah Belanda.
Perjuangan Kiai Ahmad Dahlan untuk memasukkan materi agama ke dalam sekolah tidak berhenti di kalangan internal umat Islam saja. Pada April 1922 ia meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen.
Usaha ini berhasil. Kiai Ahmad Dahlan sendiri juga mengajar agama di OSVIA (sekolah pamong praja) di Magelang, dan Kweekschool (sekolah guru) di Jetis, Jogjakarta.
Kiai Ahmad Dahlan sengaja memilih dua sekolah tersebut karena dalam pandangannya para guru dan pamong praja adalah kelompok strategis yang mampu membawa perubahan di masyarakat.
Puncaknya, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.
Ketiga, Kiai Ahmad Dahlan memberikan ceramah agama menjelang dimulainya rapat-rapat di Budi Utomo. Ini merupakan terobosan baru di mana Ahmad Dahlan memberikan pendidikan agama non-formal.
Kiai Ahmad Dahlan menilai para anggota Budi Utomo adalah intelektual yang perlu mendapatkan penanaman nilai-nilai dan jiwa agama yang memperkuat komitmen dan kepribadian sebagai agent pembaharuan.
Secara personal Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya memiliki kedekatan dengan Budi Utomo, tetapi secara strategis beliau menjadikan organisasi elite priayi Jawa ini sebagai akses untuk mengembangkan gerakan Muhammadiyah.
Gagasan pendirian Muhammadiyah sebagai organisasi justru datang dari murid-murid Kiai Ahmad Dahlan di Budi Utomo. Dengan dibentuknya organisasi gagasan pembaharuan Muhammadiyah dapat terlembaga dan berkesinambungan.
Selain pembaharuan kurikulum, Kiai Ahmad Dahlan juga melakukan pembaharuan metode pendidikan Islam.
Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed menyebut salah satu terobosan KH Ahmad Dahlan adalah melakukan pembaharuan dalam bidang kurikulum dan metode pendidikan. Menurutnya, setidaknya ada 3 langkah yang ditempuh Kiai Dahlan dalam melakukan pembaharuan dalam bidang tersebut.
Pertama, Kiai Ahmad Dahlan memasukkan mata pelajaran umum ke dalam pendidikan lembaga pendidikan Islam. Selain mengikuti dan mengadopsi sistem kurikulum Belanda , di dalam sekolah Muhammadiyah juga mengajarkan ilmu-ilmu agama.
Metode belajar yang diterapkan juga menggunakan sistem klasikal dengan materi belajar terstruktur sesuai dengan jenjang pendidikan masing-masing kelas.
"Itu berbeda dengan pengajaran di pesantren yang menerapkan metode sorogan dan wetonan/bandungan," tulis Prof Dr. Abdul Mu’thi, M.Ed dalam buku berjudul "KH Ahmad Dahlan" Bab "Pembaharuan Pendidikan KH Ahmad Dahlan".
Buku tersebut diterbitkan oleh Museum Kebangkitan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015. Kini, Abdul Mu'ti yang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Saat itu, terobosan yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan bukanlah hal yang mudah. Tantangan justru datang dari kalangan umat Islam sendiri. Ilmu-ilmu itu dalam pandangan mereka adalah ilmu kafir yang tidak penting untuk dipelajari. Sampai-sampai ada yang menuduh Ahmad Dahlan murtad, penganut Mu’tazilah yang menurut pemahaman akidah mereka dianggap sebagai aliran sesat.
Bahkan sampai 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan.
Kedua, Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan pendidikan agama ekstra kurikuler di sekolah-sekolah Belanda.
Perjuangan Kiai Ahmad Dahlan untuk memasukkan materi agama ke dalam sekolah tidak berhenti di kalangan internal umat Islam saja. Pada April 1922 ia meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen.
Usaha ini berhasil. Kiai Ahmad Dahlan sendiri juga mengajar agama di OSVIA (sekolah pamong praja) di Magelang, dan Kweekschool (sekolah guru) di Jetis, Jogjakarta.
Kiai Ahmad Dahlan sengaja memilih dua sekolah tersebut karena dalam pandangannya para guru dan pamong praja adalah kelompok strategis yang mampu membawa perubahan di masyarakat.
Puncaknya, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.
Ketiga, Kiai Ahmad Dahlan memberikan ceramah agama menjelang dimulainya rapat-rapat di Budi Utomo. Ini merupakan terobosan baru di mana Ahmad Dahlan memberikan pendidikan agama non-formal.
Kiai Ahmad Dahlan menilai para anggota Budi Utomo adalah intelektual yang perlu mendapatkan penanaman nilai-nilai dan jiwa agama yang memperkuat komitmen dan kepribadian sebagai agent pembaharuan.
Secara personal Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya memiliki kedekatan dengan Budi Utomo, tetapi secara strategis beliau menjadikan organisasi elite priayi Jawa ini sebagai akses untuk mengembangkan gerakan Muhammadiyah.
Gagasan pendirian Muhammadiyah sebagai organisasi justru datang dari murid-murid Kiai Ahmad Dahlan di Budi Utomo. Dengan dibentuknya organisasi gagasan pembaharuan Muhammadiyah dapat terlembaga dan berkesinambungan.
Selain pembaharuan kurikulum, Kiai Ahmad Dahlan juga melakukan pembaharuan metode pendidikan Islam.