Apakah Wanita Hamil Boleh Menikah di KUA?
Selasa, 15 April 2025 - 14:35 WIB

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1),Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, termasuk tempatnya boleh di KUA. Foto ilustrasi/ist
Apakah wanita hamil boleh menikah di KUA (kantor urusan agama)? Ternyata boleh berdasarkan kompilasi hukum islam. Sesuai aturan, pernikahan tetap bisa digelar meskipun pengantin wanita dalam kondisi hamil.
"Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1),Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya," ungkap Achmad Syauki, SH, Kepala KUA Tebet, Jakarta Selatan.
Pembolehan tersebut, menjelaskan tentang aturan pernikahan untuk pasangan yang sudah hamil terlebih dahulu.
"Tidak ada larangan menikahi wanita yang sedang hamil dan tidak memiliki suami (tidak diceraikan atau ditinggal meninggal dunia), tentu saja hal itu harus berdasarkan pengetahuan laki-laki tersebut atas kehamilan perempuan tersebut dan keridhoannya," tambahnya.
Lantas bagaimana menurut syariat Islam? Terutama tentang wanita menikah saat hamil ini. Menurut Ustadz Fadly Gugul S.Ag.dari lembaga bimbingan Islam, ada beberapa kondisi wanita hami dalam sebuah pernikahan.
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. At-Talaq: 4).
Namun, yang pasti wajib bagi yang bersangkutan untuk bertaubat kepada Allah atas dosa besar yang ia lakukan, bertekad untuk tidak mengulanginya dan berniat untuk memperbanyak amal shalih.
Adapun khilaf ulama dalam masalah ini, di antaranya mengatakan:
1. Ulama Malikiah dan Hanabilah, juga Abu Yusuf dari kalangan Hanafiah berpendapat bahwa tidak boleh wanita tersebut dinikahi sebelum ia melahirkan, mereka berdalil dengan hadist Nabi bahwa beliau bersabda,
“Perempuan hamil tidak dinikahi (disenggamai) sampai ia melahirkan” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).
2. Adapun pendapat Syafiiyah dan Hanafiyah mengatakan tidak mengapa menikahi perempuan yang hamil karena zina, mereka beralasan karena air mani yang telah berubah menjadi janin karena perzinahan ini tidak layak untuk dimuliakan (dihormati), maka boleh untuk dibuahi juga oleh yang lain, bukti tidak termuliakannya perbuatan zina ini karena nyatanya anak hasil zina tidak dinasabkan kepada si ayah biologisnya, argumennya bahwa Nabi bersabda,
“Anak itu dinasabkan kepada pemilik ranjang yang sah (suami), dan untuk pezina ditinggalkan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, dalam mazhab Hanafi jika perempuan hamil karena zina itu dinikahi oleh lelaki yang bukan menjadi sebab kehamilannya, wajib baginya untuk menunggu sampai melahirkan. Hanafiyah hanya membolehkan dari sisi akad, namun tidak membolehkan untuk terjadi senggama kecuali harus melahirkan terlebih dahulu, sebagaimana yang disampaikan dalam kitab al-Durr al-Mukhtar milik al-Hashkafi.
Adapun dalam mazhab Syafi’i, mereka memutlakkan pembolehan senggama, baik lelaki yang menikahi itu adalah yang menyebabkan si perempuan hamil ataukah bukan, sebagaimana dikutipkan dalam kitab Futuhat al-Wahhab oleh Sulaiman al-Jamal.
"Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 53 ayat (1),Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya," ungkap Achmad Syauki, SH, Kepala KUA Tebet, Jakarta Selatan.
Pembolehan tersebut, menjelaskan tentang aturan pernikahan untuk pasangan yang sudah hamil terlebih dahulu.
"Tidak ada larangan menikahi wanita yang sedang hamil dan tidak memiliki suami (tidak diceraikan atau ditinggal meninggal dunia), tentu saja hal itu harus berdasarkan pengetahuan laki-laki tersebut atas kehamilan perempuan tersebut dan keridhoannya," tambahnya.
Lantas bagaimana menurut syariat Islam? Terutama tentang wanita menikah saat hamil ini. Menurut Ustadz Fadly Gugul S.Ag.dari lembaga bimbingan Islam, ada beberapa kondisi wanita hami dalam sebuah pernikahan.
Pertama: Menikah saat hamil setelah cerai
Jika ada wanita telah dicerai oleh suaminya, namun masih dalam kondisi hamil, maka haram bagi lelaki lain untuk menikahinya, karena perempuan tadi masih dalam masa ‘iddah (menunggu), perempuan yang masih dalam masa ‘iddah talak 1, atau 2 statusnya masih istri milik orang, dan masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan, Allah berfirman;وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. At-Talaq: 4).
Kedua: Menikah saat hamil duluan
Adapun pembahasan hukum menikah saat hamil duluan di luar nikah (zina), maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat (termasuk di antara ulama 4 mazhab) pada perkara hukum menikahinya ketika dia masih hamil dan belum melahirkan.Namun, yang pasti wajib bagi yang bersangkutan untuk bertaubat kepada Allah atas dosa besar yang ia lakukan, bertekad untuk tidak mengulanginya dan berniat untuk memperbanyak amal shalih.
Adapun khilaf ulama dalam masalah ini, di antaranya mengatakan:
1. Ulama Malikiah dan Hanabilah, juga Abu Yusuf dari kalangan Hanafiah berpendapat bahwa tidak boleh wanita tersebut dinikahi sebelum ia melahirkan, mereka berdalil dengan hadist Nabi bahwa beliau bersabda,
لا توطأ حامل حتى تضع. رواه أبو داود والحاكم
“Perempuan hamil tidak dinikahi (disenggamai) sampai ia melahirkan” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim).
2. Adapun pendapat Syafiiyah dan Hanafiyah mengatakan tidak mengapa menikahi perempuan yang hamil karena zina, mereka beralasan karena air mani yang telah berubah menjadi janin karena perzinahan ini tidak layak untuk dimuliakan (dihormati), maka boleh untuk dibuahi juga oleh yang lain, bukti tidak termuliakannya perbuatan zina ini karena nyatanya anak hasil zina tidak dinasabkan kepada si ayah biologisnya, argumennya bahwa Nabi bersabda,
الولد للفراش وللعاهر الحجر. أخرجه البخاري ومسلم
“Anak itu dinasabkan kepada pemilik ranjang yang sah (suami), dan untuk pezina ditinggalkan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, dalam mazhab Hanafi jika perempuan hamil karena zina itu dinikahi oleh lelaki yang bukan menjadi sebab kehamilannya, wajib baginya untuk menunggu sampai melahirkan. Hanafiyah hanya membolehkan dari sisi akad, namun tidak membolehkan untuk terjadi senggama kecuali harus melahirkan terlebih dahulu, sebagaimana yang disampaikan dalam kitab al-Durr al-Mukhtar milik al-Hashkafi.
Adapun dalam mazhab Syafi’i, mereka memutlakkan pembolehan senggama, baik lelaki yang menikahi itu adalah yang menyebabkan si perempuan hamil ataukah bukan, sebagaimana dikutipkan dalam kitab Futuhat al-Wahhab oleh Sulaiman al-Jamal.
Lihat Juga :