Perang Irak di Era Khalifah Umar bin Khatab Bukan Perang Agama

Senin, 28 September 2020 - 06:24 WIB
Demikian juga setelah Perang Buwaib tidak terpikir oleh pasukan Persia akan menyerah atau mengajak damai. Jadi tak ada jalan lain perang harus berlanjut sehingga salah satu pihak ada yang menyerah tanpa syarat. Itu sebabnya tatkala trauma Perang Buwaib hilang dari pihak Persia, kembali mereka beipikir-pikir tentang nasib apa yang akan menimpa mereka jika masih terus dalam peipecahan, masih terbagi-bagi. ( )

Terbayang oleh mereka bahwa pasukan Arab itu akan memasuki ibu kota kerajaan mereka, akan merobohkan semua benteng pertahanan mereka dan putra-putra Kisra akan tunduk di bawah kekuasaan musuh. Kecuali jika terjadi suatu mukjizat, mereka mau bersatu menghadapi kaum penyerang dan mengusirnya dari bumi mereka.

Tetapi bagaimana mereka akan bersatu sementara Rustum dan Fairuzan saling berebut kekuasaan, para pembesar dan para petinggi terbagi-bagi, yang satu mendukung satu kelompok, yang lain menjadi pendukung kelompok yang lain. Oleh karena itu para pemuka Persia menemui kedua pihak dengan mengingatkan akibat perselisihan itu akan menjerumuskan Persia ke dalam kehancuran. ( )

"Sesudah Bagdad, Sabat dan Tikrit, kini hanya tinggal Mada'in!" Mereka mengancam keduanya dengan mengatakan: "Kalian bersatu atau kami sendirilah yang akan bertindak, sebelum kita disoraki orang!"

Perintah Khalifah Umar

Akhirnya Rustum dan Fairuzan mengadakan perundingan dan meminta Kaisar Boran menulis surat untuk mendatangkan istri-istri dan gundik-gundik Kisra. Setelah mereka datang, diketahui bahwa keturunan Kisra yang laki-laki sudah tak ada lagi selain Yazdigird bin Syahriar bin Kisra. Dulu ibunya menyembunyikannya di tempat saudara-saudara ibunya ketika Syiri dulu membunuhi semua anak laki-laki keturunan ayahnya.

Mereka datang membawa anak itu, yang ketika itu sudah berumur dua puluh satu tahun. Sesudah kemudian mereka sepakat hendak mengangkatnya ke takhta kerajaan leluhurnya dan berlomba memberikan bantuan, Persia sekarang kembali tenang, dan mulai mengadakan persiapan baru untuk menuntut balas mengembalikan harga diri dan kehormatannya. ( )

Sudah tentu berita-berita mengenai Persia ini sampai juga kepada Musanna. Ia gelisah karena yakin penduduk Sawad akan memberontak kepada pasukan Muslimin bilamana pasukan Persia memasuki tempat-tempat mereka. Ditulisnya surat kepada Khalifah Umar di Madinah melaporkan segala yang diketahuinya itu serta kemungkinan akan timbulnya pemberontakan. Tetapi surat itu terlambat sampai ke tangan Umar.

Pihak Persia sendiri sudah bersiap-siap dan persiapan demikian sudah pula membuat gempar desa-desa dan kota-kota di Irak. Tak ada jalan lain buat Musanna ia harus menarik pasukannya sekali lagi ke perbatasan Semenanjung dan membawanya ke Zu Qar kemudian mengumpulkan mereka dalam satu markas sambil menunggu bala bantuan dari Khalifah untuk meneruskan rencananya membebaskan Mada'in.




Tatkala surat Musanna sampai ke tangan Khalifah Umar bin Khattab dan ia mengetahui persiapan Persia sesudah ada persepakatan, ia berkata: "Akan kuhajar Raja-raja Persia itu dengan raja-raja Arab!"

Ia membalas surat Musanna dengan perintah agar segera berangkat ke perbatasan Irak dan terpencar di beberapa mata air yang berdekatan dengan Persia, dan meminta bantuan penduduk supaya bersama-sama di pihak mereka supaya tidak disergap mendadak oleh Persia tanpa ada persiapan tenaga manusia dan perlengkapan.




Musanna bermarkas di Zu Qar. Belum terpikir oleh pihak Persia hendak berangkat menghadapinya. Musanna tinggal di sana sampai kemudian datang Sa'd bin Abi Waqqas menyusul. Kedatangannya sebagai komandan pasukan yang disiapkan oleh Khalifah Umar untuk menghadapi pasukan Persia.

Tetapi Musanna tidak lama tinggal bersama Sa'd. Lukanya yang lama akibat Pertempuran Jembatan kambuh lagi, yang dideritanya terus sampai ia menemui ajalnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Musanna meninggal di Zu Qar sebelum Sa'd tiba di Irak.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mhy)
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: Orang yang paling Allah benci adalah orang yang suka membantah dan sengit permusuhannya.

(HR. Bukhari No. 4161)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More