Perang Salib Menjadi Salah Satu Faktor kemunduran Islam

Senin, 02 September 2024 - 15:36 WIB
loading...
Perang Salib Menjadi...
Terjadinya Perang Salib yang dimulai pada tahun 1096 membuat politik Islam di Timur Tengah semakin kacau. Ilustrasi: Ist
A A A
Faktor kemunduran Islam secara garis besar dipengaruhi oleh tiga peristiwa besar; Reconquista, Perang Salib dan penghancuran kekhalifahan Baghdad oleh Bangsa Mongol .

"Reconquista mendepak Islam dari Semenanjung Iberia tanpa membawa bekal ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan sejak tahun 711 hingga tahun pengusiran terjadi," tulis Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "Perang Salib Timur dan Barat, Misi Merebut Yerusalem dan Mengalahkan Pasukan Islam di Eropa".

Sementara itu, terjadinya Perang Salib yang dimulai pada tahun 1096 membuat politik Islam di Timur Tengah semakin kacau.

Berbeda dengan pasukan Salib dari Eropa Barat; mereka mempunyai kesepakatan untuk bersatu merebut Yerusalem .



Menurut Jati Pamungkas, pada kubu Islam sedang terjadi persaingan antara Turki Seljuk dengan Kekhalifahan Fatimiyah, sedangkan Kekhalifahan Abbasiyah bukanlah Kekhalifahan Abbasiyah seperti masa Khalifah Harun al-Rasyid ataupun al-Ma’mun, namun kekhalifahan yang lemah di bawah bayang-bayang kekuatan Turki Seljuk.

Pada Perang Salib I, Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Kekhalifahan Fatimiyah mendapat kekalahan yang luar biasa sehingga politik dalam negeri tidak stabil.

Khalifah al-Musta’li Billah mendapat tekanan terutama dari militer Fatimiyah yang didominasi orang Berber, Persia, dan Turki.

Puncaknya di tahun 1171, Kekhalifahan Fatimiyah runtuh hanya 21 tahun pasca selesainya Perang Salib II di tahun 1150.

Dinasti Ayyubiah menggantikan kekuasaan Kekhalifahan Fatimiyah setelah khalifah terakhir yang bernama Khalifah al-Adhid meninggal secara misterius di usia yang tergolong muda yaitu 22 tahun. Shalahuddin Al-Ayyubi akhirnya menjadi sultan dan mendeklarasikan Islam Suni sebagai penguasa di Mesir dan mengakui Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.



Jadi dalam peristiwa tersebut terdapat kudeta terselubung di dalam Kekhalifahan Fatimiyah.

Shalahuddin Al-Ayyubi menjadi perdana menteri menjelang Kekhalifahan Fatimiyah berakhir. Ia tidak setuju dengan politik Kekhalifahan Fatimiyah yang beraliran Islam Syiah.

Shalahuddin merupakan sekelompok Islam mayoritas Suni yang dikuasai Islam minoritas Syiah sejak Kekhalifahan Fatimiyah didirikan.

Deklarasi Shalahuddin mengakui Khalifah di Baghdad sama saja dengan kudeta karena Fatimiyah dengan Abbasiyah selalu bermusuhan. Berdirinya Kekhalifahan Fatimiyah pada tahun 909 merupakan jawaban penolakan terhadap politik dan pemerintahan di Baghdad.

Dinasti Ayyubiah akhirnya menjadi kekuatan militer terbesar yang dapat menandingi pasukan Salib di Timur Tengah. Pada masa Perang Salib yang terjadi dari tahun 1096 hingga 1272, jika hanya dihitung sampai Perang Salib IX, Cairo terlalu disibukkan dengan peperangan sehingga perkembangan ilmu pengetahuan sedikit terganggu.



Baghdad menjadi kota yang masih stabil dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di wilayah timur, sedangkan Cairo tidak lagi menjadi tempat yang representative. Begitu pula dengan Damaskus, karena selalu dipengaruhi hawa panas politik dalam Perang Salib.

Pecahnya Perang Salib di Timur Tengah mengubah wajah politik Islam yang mengedepankan perkembangan ilmu pengetahuan dan juga dakwah Islamiah menjadi lebih berorientasi terhadap kemiliteran.

Kekhalifahan Fatimiyah, Dinasti Ayyubiyah, dan Dinasti Mamlukiyah disibukkan dengan Perang Salib sehingga orentasi ketiganya mengedepankan militer.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1686 seconds (0.1#10.140)