Hikmah Ramadhan: Perempuan Pezina yang Bertobat Akhirnya Disalatkan Nabi

Selasa, 05 Mei 2020 - 17:25 WIB
Kisah perempuan pezina yang bertobat di masa Nabi. Menurut pandangan manusia ia hina karena perbuatannya, namun di sisi Allah ia mulia karena tobatnya. Foto/Ist
Di zaman Rasulullah pernah terjadi satu peristiwa memalukan, namun mengandung hikmah dan pelajaran berharga. Kisah ini diceritakan dalam kitab Riyadhush-Shalihin yang menukil hadis riwayat Imam Muslim.

وعن أبي نجيد- ضم النون وفتح الجيم - عمران بن الحصين الخزاعى رضي الله عنهما أن امرأة من جهينة أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهى حبلى من الزنى، فقالت‏:‏ يا رسول الله أصبت حداً فأقمه علي، فدعا نبي الله صلى الله عليه وسلم وليها فقال‏:‏ أحسن إليها، فإذا وضعت فأتني، ففعل فأمر بها نبي الله صلى الله عليه وسلم، فشدت عليها ثيابها، ثم أمر بها فرجمت، ثم صلى الله عليه وآله وسلم عليها‏.‏ فقال له عمر‏:‏ تصلى عليها يا رسول الله وقد زنت، قال‏:‏ لقد تابت توبة لو قمست بين سبعين من أهل المدينة لوستعتهم، وهل وجدت أفضل من أن جادت بنفسها لله عز وجل ‏؟‏‏!‏ ‏"‏ رواه مسلم‏.‏

Dari Abu Nujaid, yaitu 'Imran bin Hushain Al-Khuza'i radhiallahu 'anhuma bahawasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah SAW dan ia sedang dalam keadaan hamil kerana perbuatan zina. Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had (hukuman), maka tegakkanlah had itu atas diriku." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu memanggil wali perempuan itu lalu bersabda: "Berbuat baiklah kepada perempuan ini dan apabila telah melahirkan (kandungannya), maka datanglah padaku dengan membawanya."

Wali itu melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir, lalu Nabi SAW memerintahkan untuk memberi hukuman. Perempuan itu diikat pada pakaiannya, kemudian dirajam. Selanjutnya beliau SAW mensalatkan jenazahnya.

Umar berkata pada Rasaulullah: "Apakah Tuan mensalatkan jenazahnya ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?" Beliau SAW bersabda: "Ia telah bertobat (sebenar-benarnya tobat), andai tobatnya itu dibagikan kepada 70 orang penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seseorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah 'Azza wa jalla." (HR Muslim).

Begitulah sekilas kisah pezina yang bertobat di masa Nabi. Menurut pandangan manusia ia hina karena perbuatannya, namun di sisi Allah ia mulia karena tobat (penyesalannya). Kisah ini memberi kita hikmah dan pelajaran berharga bahwa tobat nashuha mendatangkan pengampunan dan ridha Allah Ta'ala dan Rasul-Nya.

Apalagi mereka yang bertobat di bulan Ramadhan, pahala berlipat dan pengampunan Allah akan menyelimutinya. Itu sebabnya banyak ulama menyebut Ramadhan sebagai Syahrut Taubah (bulan bertobat) dan Syahrul 'Ibadah (bulan beribadah) dan lainnya.

Tobat Hukumnya Wajib

Mengerjakan tobat hukumnya wajib dari segala macam dosa. Jika kemaksiatan itu terjadi antara seseorang hamba dengan Allah Ta'ala saja, maka tobat itu harus menetapi tiga macam syarat, yaitu:

1. Hendaklah berhenti dari kemaksiatan yang dilakukan.

2. Merasa menyesal karena telah melakukan kemaksiatan.

3. Berniat (bertekad) tidak akan mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya.

Apabila salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sah tobatnya. Jika kemaksiatan itu ada hubungannya dengan manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam, yaitu tiga syarat di atas dan keempatnya melepaskan tanggungan itu dari hak kawannya. Jika tanggungan itu berupa harta, maka wajib mengembalikannya kepada yang berhak. Jika pernah menggibah dan mengumpatnya, hendaklah meminta maaf kepada orang yang pernah diumpat olehnya.

Allah Ta'ala berfirman: "Dan bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang mu'min, supaya engkau semua memperoleh kebahagiaan." (Surah An-Nur: ayat 31)
(rhs)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata:  Sudah biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa beberapa hari, hingga kami mengira bahwa beliau akan berpuasa terus. Namun beliau juga biasa berbuka (tidak puasa) beberapa hari hingga kami mengira bahwa beliau akan tidak puasa terus. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasanya sebulan penuh, kecuali Ramadhan.  Dan aku juga tidak pernah melihat beliau puasa sunnah dalam sebulan yang lebih banyak daripada puasanya ketika bulan Sya'ban.

(HR. Muslim No. 1956)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More