Lailatul Qadar: Bagaimana Datangnya, Apa Tiap Orang akan Mendapatkan?
Kamis, 07 Mei 2020 - 17:14 WIB
SURAT Al-Qadr adalah surah ke-97 menurut urutannya di dalam Mushaf. Ia ditempatkan sesudah surah Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surah Iqra'. Bahkan, sebagian diantara mereka, menyatakan bahwa surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW) berhijrah ke Madinah.
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi diperintahkan --demikian pula kaum muslim-- untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Lailatul Qadar (لَيْلَةِ الْقَدْرِ) -- satu malam yang oleh Al-Qur’an dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".
Hanya saja, bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya?
Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya; seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya?
Tentang apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, cendekiawan ilmu Al-Qur'an, Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.
"Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya," jelasnya.
"Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja," tambah Quraish.
Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, ujar Quraish lagi, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.
Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. ( )
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul SAW menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. ( )
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang.
Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.
Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan.
Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."
Penempatan dan perurutan surah dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan.
Kalau dalam surah Iqra', Nabi diperintahkan --demikian pula kaum muslim-- untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka wajarlah jika surah sesudahnya --yakni surah Al-Qadr ini-- berbicara tentang turunnya Al-Quran dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam Nuzul Al-Qur'an (turunnya Al-Quran).
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah Lailatul Qadar (لَيْلَةِ الْقَدْرِ) -- satu malam yang oleh Al-Qur’an dinamai "lebih baik daripada seribu bulan".
Hanya saja, bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya?
Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya; seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya?
Tentang apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, cendekiawan ilmu Al-Qur'an, Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun, dugaan itu keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak.
"Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya," jelasnya.
"Dan seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Laylat Al-Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja," tambah Quraish.
Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, ujar Quraish lagi, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya.
Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya?
Demikian juga dengan Laylat Al-Qadr. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. ( )
Karena, ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Dan itu pula sebabnya Rasul SAW menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. ( )
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Laylat Al-Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr --dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang.
Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.
Syaikh Muhammad 'Abduh pernah menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang kehadiran malaikat dalam diri manusia. Abduh memberikan ilustrasi berikut:
"Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, yaitu bisikan baik dan buruk. Manusia seringkali merasakan pertarungan antara keduanya, seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, demikian halnya sampai pada akhirnya sidang memutuskan sesuatu.
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedangkan yang membisikkan keburukan adalah setan atau paling tidak penyebab adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan.
Nah, turunnya malaikat, pada malam Laylat Al-Qadr, menemui orang yang mempersiapkan diri menyambutnya berarti bahwa ia akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan.
Jiwanya akan selalu merasakan salam (rasa aman dan damai) yang tidak terbatas sampai fajar malam Laylat Al-Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak."