Menyuruh Abu Nawas Memenjarakan Angin, Baginda Raja Malah Kena Batunya
Kamis, 22 Oktober 2020 - 06:29 WIB
PADA hari itu Abu Nawas tengah menikmati pagi yang cerah, di rumah saja. Tiba-tiba utusan Baginda Raja datang mengganggunya. "Tuan diminta Baginda menghadap," ujar sang utusan tanpa basa basi.
Setelah sedikit berhias Abu Nawas berangkat ke Istana diiringi sang utusan.
Singkat cerita, sesampai di istana, Raja sudah menunggu. "Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut, Abu," ucap Raja mengawali pembicaraan. Abu Nawas agak bingung juga, tapi ia bersabar menunggu Baginda menyelesaikan titahnya. ( )
"Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin," lanjut Baginda Raja.
Abu Nawas tiba-tiba mendapat firasat buruk. "Pasti ini ujian lagi," pikirnya.
Urusan sakit perut jelas menjadi urusan tabib. Abu Nawas merasa tak ahli soal penyakit. "Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan?" tanya Abu Nawas akhirnya. ( )
"Sederhana saja. Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," titah Baginda disambut wajah bengong Abu Nawas.
Bener juga firasat Abu Nawas. Raja sedang menguji kecerdikannya lagi. Merasa tertantang Abu Nawas pun langsung menjawab, "Siap baginda. Beri hamba waktu," jawabnya.
Abu Nawas diberi waktu tiga hari. Ia pun meninggalkan istana menuju warung kopi. "Ngopi dulu, biar otak encer," pikirnya.
Orang-orang yang ada di warung kopi serentak berdiri begitu melihat Abu Nawas datang. "Rezeki nggak ke mana," celetuk mereka. Sudah biasa, Abu Nawas dikenal dermawan. Mereka memastikan kopi yang sudah diseruput bakal dibayar si Cerdik yang baik hati ini.
"Aku lagi mumet," tutur Abu Nawas sembari menaruh pantatnya di kursi kayu.
Orang-orang langsung terdiam. "Dari Istana, pasti dapat proyek," tebak di antara mereka.
"Kalian bisa menangkap angin dan memenjarakannya?" tanya Abu Nawas. Mereka saling pandang. "Gila," ucap mereka sampai geleng-gelang kepala. "Angin kok ditangkap ..." ( )
Abu Nawas berdiri dan meninggalkan mulut melongo mereka. "Hei, mau ke mana?" teriak salah satu di antara mereka.
"Pulang!" jawab Abu Nawas dengan langkah gontai.
Tiga hari begitu cepat datang. Tapi tak perlu kaget. Wajah Abu Nawas berseri-seri. Berkali-kali ia mengelus-elus perutnya. Ia pun menuju istana dengan langkah ringan.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” tanya Baginda Raja tanpa basa-basi lagi.
"Sudah Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas membuat orang-orang di istana penasaran.
Si Cerdik ini mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian ia menyerahkan botol itu kepada Baginda.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda sambil menimbang-nimbang botol itu.
“Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan.
Setelah tutup botol dibuka, Baginda Raja mencium bau busuk. Bau tersebut tidak asing bagi Raja karena bau yang menyengat hidung itu adalah bau kentut. "Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah.
"Ampun Tuanku, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," kata Abu Nawas. ( )
Setelah sedikit berhias Abu Nawas berangkat ke Istana diiringi sang utusan.
Singkat cerita, sesampai di istana, Raja sudah menunggu. "Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut, Abu," ucap Raja mengawali pembicaraan. Abu Nawas agak bingung juga, tapi ia bersabar menunggu Baginda menyelesaikan titahnya. ( )
"Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin," lanjut Baginda Raja.
Abu Nawas tiba-tiba mendapat firasat buruk. "Pasti ini ujian lagi," pikirnya.
Urusan sakit perut jelas menjadi urusan tabib. Abu Nawas merasa tak ahli soal penyakit. "Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan?" tanya Abu Nawas akhirnya. ( )
"Sederhana saja. Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," titah Baginda disambut wajah bengong Abu Nawas.
Bener juga firasat Abu Nawas. Raja sedang menguji kecerdikannya lagi. Merasa tertantang Abu Nawas pun langsung menjawab, "Siap baginda. Beri hamba waktu," jawabnya.
Abu Nawas diberi waktu tiga hari. Ia pun meninggalkan istana menuju warung kopi. "Ngopi dulu, biar otak encer," pikirnya.
Orang-orang yang ada di warung kopi serentak berdiri begitu melihat Abu Nawas datang. "Rezeki nggak ke mana," celetuk mereka. Sudah biasa, Abu Nawas dikenal dermawan. Mereka memastikan kopi yang sudah diseruput bakal dibayar si Cerdik yang baik hati ini.
"Aku lagi mumet," tutur Abu Nawas sembari menaruh pantatnya di kursi kayu.
Orang-orang langsung terdiam. "Dari Istana, pasti dapat proyek," tebak di antara mereka.
"Kalian bisa menangkap angin dan memenjarakannya?" tanya Abu Nawas. Mereka saling pandang. "Gila," ucap mereka sampai geleng-gelang kepala. "Angin kok ditangkap ..." ( )
Abu Nawas berdiri dan meninggalkan mulut melongo mereka. "Hei, mau ke mana?" teriak salah satu di antara mereka.
"Pulang!" jawab Abu Nawas dengan langkah gontai.
Tiga hari begitu cepat datang. Tapi tak perlu kaget. Wajah Abu Nawas berseri-seri. Berkali-kali ia mengelus-elus perutnya. Ia pun menuju istana dengan langkah ringan.
"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” tanya Baginda Raja tanpa basa-basi lagi.
"Sudah Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas membuat orang-orang di istana penasaran.
Si Cerdik ini mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian ia menyerahkan botol itu kepada Baginda.
"Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda sambil menimbang-nimbang botol itu.
“Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda Raja.
"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan.
Setelah tutup botol dibuka, Baginda Raja mencium bau busuk. Bau tersebut tidak asing bagi Raja karena bau yang menyengat hidung itu adalah bau kentut. "Bau apa ini, hai Abu Nawas?" tanya Baginda marah.
"Ampun Tuanku, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," kata Abu Nawas. ( )
(mhy)