Sikap Siti Khadijah dan Waraqah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama
Sabtu, 31 Oktober 2020 - 05:00 WIB
SUDAH menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa itu bahwa golongan berpikir mereka selama beberapa waktu tiap tahun menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, mengharapkan diberi rezeki dan pengetahuan. Begitu juga yang dilakukan Muhammad .
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth. (
)
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhamad menceritakan di puncak Gunung Hira yang terletak di sebelah utara Makkah ada sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, dengan membawa sedikit bekal. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya beliau merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. (
)
Bilamana bulan Ramadhan sudah berlalu dan ia kembali kepada sang istri, Siti Khadijah .Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat.
Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh , ada yang mengatakan menurut Ibrahim , yang lain berkata menurut syariat Musa , ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya.
Haekal berpendapat barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad. ( )
Wahyu Pertama
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Kala itu usianya 40 tahun.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!"
Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca".
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!"
Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca."
Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Lalu Muhammad mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya. ( )
Haekal menggambarkan Nabi Muhammad terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Selanjutnya, cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Pengasingan untuk beribadat semacam ini mereka namakan tahannuf dan tahannuth. (
Baca Juga
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhamad menceritakan di puncak Gunung Hira yang terletak di sebelah utara Makkah ada sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun Muhammad pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, dengan membawa sedikit bekal. Ia tekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan keributan manusia. Ia mencari kebenaran, dan hanya kebenaran semata.
Demikian kuatnya beliau merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga lupa akan dirinya, lupa makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan manusia sekitarnya, bukanlah suatu kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya segala yang disadarinya. (
Baca Juga
Bilamana bulan Ramadhan sudah berlalu dan ia kembali kepada sang istri, Siti Khadijah .Dalam melakukan ibadat selama dalam tahannuth itu adakah Muhammad menganut sesuatu syariat tertentu? Dalam hal ini ulama-ulama berlainan pendapat.
Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakannya melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut syariat Nuh , ada yang mengatakan menurut Ibrahim , yang lain berkata menurut syariat Musa , ada yang mengatakan menurut Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan diamalkannya.
Haekal berpendapat barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad. ( )
Wahyu Pertama
Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Kala itu usianya 40 tahun.
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata kepadanya: "Bacalah!"
Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya tak dapat membaca".
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepaskan lagi seraya katanya lagi: "Bacalah!"
Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: "Apa yang akan saya baca."
Seterusnya malaikat itu berkata: "Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)
Lalu Muhammad mengucapkan bacaan itu. Malaikatpun pergi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya. ( )
Haekal menggambarkan Nabi Muhammad terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya kepada dirinya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tak melihat apa-apa. Ia diam sebentar, gemetar ketakutan. Khawatir ia akan apa yang terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba membingungkan. Tak dapat ia menafsirkan apa yang telah dilihatnya itu.
Selanjutnya, cepat-cepat ia pergi menyusuri celah-celah gunung, sambil bertanya-tanya dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya membaca itu?
Ia memasuki pegunungan itu masih dalam ketakutan, masih bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya. Dahsyat sekali terasa. Ia melihat ke permukaan langit. Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu. Tetapi dia masih juga melihatnya di seluruh ufuk langit.
Sebentar melangkah maju ia, sebentar mundur, tapi rupa malaikat yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.