Begini Pendapat Muhammadiyah Soal Salat Id di Saat Wabah Corona
Sabtu, 09 Mei 2020 - 15:21 WIB
SALAT Idul FItri adalah ibadah salat khusus yang dilakukan berkenaan dengan hari raya Idul Fitri. Hukumnya sunnah wajibah atau sunnah muakkadah. Artinya sangat penting sehingga ada anjuran kuat untuk dilaksanakan dan tidak ditinggalkan.
Ada juga yang berpendapat sebagai fardhu kifayah, artinya sebuah aktivitas peribadatan yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh Muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Bahkan fardhu ‘ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. ( )
Lalu bagaimana salat dalam kondisi tidak normal seperti saat ini? Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Syamsuddin MA, menjelaskan jika dalam keadaan tidak normal, yaitu karena satu dan lain sebab sehingga salat Idul Fitri tidak bisa diselenggarakan secara berjamaah di luar rumah. Baik di lapangan maupun di masjid , maka para fukaha memiliki pendapat yang beragam.
Ibnu Rusyd al-Andalusi, mencatat adanya lima pendapat dalam masalah ini. Pertama, diganti dengan salat di rumah sebanyak empat rakaat. Konon ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan ats-Tsauri, yang disandarkan kepada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, diganti dengan salat di rumah, dengan tata cara yang sama dengan pelaksanaannya di lapangan atau masjid. Baik jumlah rakaatnya, takbirnya, dan jaharnya. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
Ketiga, cukup diganti dengan salat dua rakaat biasa, tanpa dijaharkan dan tanpa takbir sebagaimana takbir dalam shalat id.
Keempat, jika ia terbiasa salat di tanah lapang maka diganti dengan salat dua rakaat. Jika terbiasa salat di masjid, maka di ganti dengan salat empat rakaat.
Kelima, jika seseorang karena satu dan lain sebab terhalang untuk melaksanakan salat id berjamaah di lapangan atau masjid, maka ia tidak perlu mengggantinya sama sekali, (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Menurut Syamsuddin, pusaran perbedaan pendapat di atas adalah hadis masyhur yang diriwayatkan dalam banyak kitab hadis . Di antaranya adalah yang terdapat dalam Sahih ibnu Hibban. Demikian pula atsar Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Baihaq:
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، حدثنا أبو خيثمة، حدثنا سفيان، عن الزهري، عن سعيد بن المسيب، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الصلاة، فلا تأتوها تسعون وائتوها وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فاقضوا.
Telah menceritakan pada kami Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna mengabarkan kepada kami, Abu Khaitsamah, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan kepada kami dari az-Zuhri.
Dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila kalian datang (ke masjid) untuk salat, maka janganlah datang dengan berlari, tapi datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati (bersama imam) salatlah (kerjakanlah), dan apa yang tertinggal, qadhalah (lunasilah) (Shahih Ibnu Hibban: 2145)
قال البيهقي في السنن أخبرنا أبو الحسن الفقيه وأبو الحسن بن أبي سيد الإسفرايني حدثنا ابن سهل بشر بن أحمد حدثنا حمزة بن محمد الكاتب حدثنا نعيم بن حماد حدثنا هشيم عن عبد الله بن أبي بكر بن أنس بن مالك قال كان أنس بن مالك إذا فاتته صلاة العيد مع الإمام جمع أهله يصلي بهم مثل صلاة الإمام في العيد.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan al-Faqih dan Abul Hasan bin Sayyid al-Isfiraini. Telah menceritakan kepada kami Sahal Bisyir bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Muhammad al-Katib, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abdillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik.
Ia berkata, bahwa di antara kebiasaan Anas bin Malik adalah, apabila dirinya berhalangan salat Id bersama imam, maka ia mengumpulkan keuarganya. Ia salat bersama mereka sebagaimana salat Id yang dipimpin imam.
Hasil Kajian Tematik Hadis
Setelah dilakukan kajian yang sifatnya maudhu’i (tematik) ternyata hadis riwayat Ibnu Hibban di atas tidak berkenaan langsung dengan inti persoalan. Yaitu terhalang melaksanakan salat Id sebab alasan tertentu, tapi berkenaan dengan orang jamaah masbuq, yaitu orang yang tertinggal sebagian rakaat atau semuanya dari imam dalam salat berjama’ah.
Atau orang yang mendapati imam setelah rakaat pertama atau lebih dalam salat berjamaah. (Lihat, Qamus al-Muhith, dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400).
Hal ini terbukti dari riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad, yang menggunakan redaksi (وما فاتكم فأتموا), apa-apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.
Dan dalam riwayat Muslim juga Ahmad menggunakan redaksi (واقض ما سبقك) lunaskanlah apa-apa yang engkau tertinggal. Sedangkan atsar dari Anas bin Malik adalah riwayat mauquf yang tentu saja tidak memadai untuk dijadikan dalil.
Analisis Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd memberikan analisisnya. Pendapat pertama yaitu penggantian dengan empat rakaat. Dasarnya adalah penyerupaan dengan penggantian salat Jumat .
Ini merupakan penyerupaan yang tidak berdasar. Karena salat Jumat adalah pengganti salat Dzuhur, sehingga kalau seseorang tidak bisa menunaikan salat Jumat maka kembali kepada salat zuhur.
Sedangkan salat Id bukan pengganti dari salat tertentu. Maka mengapakah jika seseorang tidak bisa menunaikannya ia diperintahkan mengganti salat empat rakaat?
Adapun pendapat kedua didasarkan pada pemikiran, bahwa bentuk pengganti harus sama dengan bentuk yang diganti. Sedangkan pendapat terakhir, yaitu tidak perlu ada penggantian sama sekali, merupakan pendapat yang didasarkan pada bentuk utuh pensyariatannya.
Salat di Rumah
Salat Id disyariatkan dalam paket seperti salat Jumat. Yaitu diselenggarakan berjamaah dan ada khutbah. Sehingga jika seseorang tidak bisa menunaikan sebagaimana dalam paket pensyariatannya, maka ia tidak dituntut menggantinya dengan salat di rumah. Pendapat selebihnya tidak memadai untuk didiskusikan (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Al-Muzani meriwayatkan dari asy- Syafii , bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat Id, sebagian besar ulama memilih salat sendiri di rumah (Mukhtashar al-Umm, VIII/125).
Ulama Malikiyah al-Kharasyi mengatakan, bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat id, maka pelaksanaannya diganti di dalam rumah. Bisa berjamaah, bisa juga munfarid (sendrian) (Syarah al-Kharasyi, II/104).
Demikian pula pendapat ibnu Qudamah dalam al-Mughniy, yaitu diganti dengan salat id di rumah, yang pelaksanaannya bisa berjamaah, bisa juga sendiri-sendiri.
Dalam kitab Hasyiyah al-‘Adawi fi Mazhab al-Imam Malik, disebutkan bahwa salat Id memiliki syarat seperti salat Jumat. Yaitu adanya khutbah, sehingga jika ada halangan dalam pelaksanaannya tidak harus diganti di rumah, namun demikian bila seseorang menggantinya di rumah maka dibolehkan.
Tak Perlu Diganti Salat di Rumah
Sedangkan dalam kitab-kitab fikih Hanafiyyah, masyhur suatu pendapat, bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat Id, maka tidak perlu diganti dengan pelaksanaannya di rumah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin, memilih dan menguatkan pendapat ulama-ulama Hanafiyyah, sebagaimana dijelaskan dalam asy-Syarah al-Mumti (asy-Syaarah al-Mumti/156).
Allajnah Adda’imah lil Ifta’ atau komisi tetap untuk fatwa agama Saudi Arabia atau yang pernah diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz, setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin.
Menurut Allajnah, salat Id hukumnya adalah fardhu kifayah, jika sudah ada satu pihak yang menyelenggarakannya, maka pihak lain yang tidak menyelenggarakannya tidak terbebani dosa. Sehingga bagi orang-orang yang terhalang untuk pelaksanaannya tidak perlu menggantinya di rumah.
Namun demikian jika ada yang ingin menggantinya dengan salat di rumah, maka sah-sah saja. Dalam pelaksanaannya bisa berjamaah bisa juga munfarid, sesuai dengan tata cara salat Id, baik dalam rakaat, takbir, dan jaharnya, dan tanpa khutbah sesudahnya, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dari kurun ke kurun. (adda’imah lil ifta’, III/306).
( )
Pendapat Muhammadiyah
Selanjutnya, bagaimana pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah? Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini dalam tulisannya berjudul "Begini Shalat Id dalam Keadaan Tak Normal" yang dipublikasikan di laman resmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini, menjelaskan salah satu spirit atau wawasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid adalah tidak berafiliasi mazhab . Maksudnya tidak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam berijtihad bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode-metode ijtihad yang ada.
Namun demikian, bukan berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada, malah secara intens menjadikan pendapat-pendapat mereka sebagai bahan pertimbangan untuk menetukan diktum norma atau ajaran yang lebih sesuai dengan semangat al-Quran dan as-Sunnah.
Kaitannya dengan salat Id pada saat pandemi Covid-19, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah cenderung kepada pendapat fukaha Hanafiyyah, yang kemudian diikuti oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Utsaimin, dan Allajnah Adda’imah lil Ifta’. Sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/I.0/E/2020, tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19.
Dalam paparannya dijelaskan bahwa salat Idul Fitri adalah sunnah muakkadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, salat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya (mudik, pawai takbir, halal bihalal, dan lain sebagainya) tidak perlu diselenggarakan.
Namun demikian, karena salah satu prinsip dalam Majelis Tarjih dan Tajdid adalah toleransi, maka pendapat yang ditujukan untuk warga persyarikatan Muhammadiyah ini tidak disertai penilaian salah kepada pihak lain yang menyelenggarakannya, baik di lapangan, masjid, ataupun di rumah.
Tetapi apabila berdasarkan ketentuan pihak berwenang Covid-19 sudah mereda dan dapat dilakukan konsentrasi banyak orang, maka Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat, salat Idul Fitri bisa dilaksanakan. Syaratnya dengan tetap memperhatikan petunjuk dan ketentuan yang dikeluarkan pihak berwenang mengenai hal itu.
Adapun kumandang takbir Id dapat dilakukan di rumah masing-masing selama darurat Covid-19. Kajian Begini Shalat Id dalam Keadaan Tak Normal semoga bermanfaat. ( )
Ada juga yang berpendapat sebagai fardhu kifayah, artinya sebuah aktivitas peribadatan yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh Muslim yang lain maka kewajiban ini gugur. Bahkan fardhu ‘ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. ( )
Lalu bagaimana salat dalam kondisi tidak normal seperti saat ini? Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Dr Syamsuddin MA, menjelaskan jika dalam keadaan tidak normal, yaitu karena satu dan lain sebab sehingga salat Idul Fitri tidak bisa diselenggarakan secara berjamaah di luar rumah. Baik di lapangan maupun di masjid , maka para fukaha memiliki pendapat yang beragam.
Ibnu Rusyd al-Andalusi, mencatat adanya lima pendapat dalam masalah ini. Pertama, diganti dengan salat di rumah sebanyak empat rakaat. Konon ini merupakan pendapat Imam Ahmad dan ats-Tsauri, yang disandarkan kepada riwayat dari Abdullah bin Mas’ud.
Kedua, diganti dengan salat di rumah, dengan tata cara yang sama dengan pelaksanaannya di lapangan atau masjid. Baik jumlah rakaatnya, takbirnya, dan jaharnya. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.
Ketiga, cukup diganti dengan salat dua rakaat biasa, tanpa dijaharkan dan tanpa takbir sebagaimana takbir dalam shalat id.
Keempat, jika ia terbiasa salat di tanah lapang maka diganti dengan salat dua rakaat. Jika terbiasa salat di masjid, maka di ganti dengan salat empat rakaat.
Kelima, jika seseorang karena satu dan lain sebab terhalang untuk melaksanakan salat id berjamaah di lapangan atau masjid, maka ia tidak perlu mengggantinya sama sekali, (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Menurut Syamsuddin, pusaran perbedaan pendapat di atas adalah hadis masyhur yang diriwayatkan dalam banyak kitab hadis . Di antaranya adalah yang terdapat dalam Sahih ibnu Hibban. Demikian pula atsar Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh al-Baihaq:
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، حدثنا أبو خيثمة، حدثنا سفيان، عن الزهري، عن سعيد بن المسيب، عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الصلاة، فلا تأتوها تسعون وائتوها وعليكم السكينة، فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فاقضوا.
Telah menceritakan pada kami Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna mengabarkan kepada kami, Abu Khaitsamah, menceritakan kepada kami Sufyan, menceritakan kepada kami dari az-Zuhri.
Dari Sa’id bin al-Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apabila kalian datang (ke masjid) untuk salat, maka janganlah datang dengan berlari, tapi datanglah dengan tenang. Apa yang kalian dapati (bersama imam) salatlah (kerjakanlah), dan apa yang tertinggal, qadhalah (lunasilah) (Shahih Ibnu Hibban: 2145)
قال البيهقي في السنن أخبرنا أبو الحسن الفقيه وأبو الحسن بن أبي سيد الإسفرايني حدثنا ابن سهل بشر بن أحمد حدثنا حمزة بن محمد الكاتب حدثنا نعيم بن حماد حدثنا هشيم عن عبد الله بن أبي بكر بن أنس بن مالك قال كان أنس بن مالك إذا فاتته صلاة العيد مع الإمام جمع أهله يصلي بهم مثل صلاة الإمام في العيد.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan al-Faqih dan Abul Hasan bin Sayyid al-Isfiraini. Telah menceritakan kepada kami Sahal Bisyir bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Muhammad al-Katib, telah menceritakan kepada kami Nu’aim bin Hammad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Abdillah bin Abi Bakar bin Anas bin Malik.
Ia berkata, bahwa di antara kebiasaan Anas bin Malik adalah, apabila dirinya berhalangan salat Id bersama imam, maka ia mengumpulkan keuarganya. Ia salat bersama mereka sebagaimana salat Id yang dipimpin imam.
Hasil Kajian Tematik Hadis
Setelah dilakukan kajian yang sifatnya maudhu’i (tematik) ternyata hadis riwayat Ibnu Hibban di atas tidak berkenaan langsung dengan inti persoalan. Yaitu terhalang melaksanakan salat Id sebab alasan tertentu, tapi berkenaan dengan orang jamaah masbuq, yaitu orang yang tertinggal sebagian rakaat atau semuanya dari imam dalam salat berjama’ah.
Atau orang yang mendapati imam setelah rakaat pertama atau lebih dalam salat berjamaah. (Lihat, Qamus al-Muhith, dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400).
Hal ini terbukti dari riwayat al-Bukhari dan Imam Ahmad, yang menggunakan redaksi (وما فاتكم فأتموا), apa-apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.
Dan dalam riwayat Muslim juga Ahmad menggunakan redaksi (واقض ما سبقك) lunaskanlah apa-apa yang engkau tertinggal. Sedangkan atsar dari Anas bin Malik adalah riwayat mauquf yang tentu saja tidak memadai untuk dijadikan dalil.
Analisis Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd memberikan analisisnya. Pendapat pertama yaitu penggantian dengan empat rakaat. Dasarnya adalah penyerupaan dengan penggantian salat Jumat .
Ini merupakan penyerupaan yang tidak berdasar. Karena salat Jumat adalah pengganti salat Dzuhur, sehingga kalau seseorang tidak bisa menunaikan salat Jumat maka kembali kepada salat zuhur.
Sedangkan salat Id bukan pengganti dari salat tertentu. Maka mengapakah jika seseorang tidak bisa menunaikannya ia diperintahkan mengganti salat empat rakaat?
Adapun pendapat kedua didasarkan pada pemikiran, bahwa bentuk pengganti harus sama dengan bentuk yang diganti. Sedangkan pendapat terakhir, yaitu tidak perlu ada penggantian sama sekali, merupakan pendapat yang didasarkan pada bentuk utuh pensyariatannya.
Salat di Rumah
Salat Id disyariatkan dalam paket seperti salat Jumat. Yaitu diselenggarakan berjamaah dan ada khutbah. Sehingga jika seseorang tidak bisa menunaikan sebagaimana dalam paket pensyariatannya, maka ia tidak dituntut menggantinya dengan salat di rumah. Pendapat selebihnya tidak memadai untuk didiskusikan (Bidayatul Mujtahid, I/215).
Al-Muzani meriwayatkan dari asy- Syafii , bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat Id, sebagian besar ulama memilih salat sendiri di rumah (Mukhtashar al-Umm, VIII/125).
Ulama Malikiyah al-Kharasyi mengatakan, bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat id, maka pelaksanaannya diganti di dalam rumah. Bisa berjamaah, bisa juga munfarid (sendrian) (Syarah al-Kharasyi, II/104).
Demikian pula pendapat ibnu Qudamah dalam al-Mughniy, yaitu diganti dengan salat id di rumah, yang pelaksanaannya bisa berjamaah, bisa juga sendiri-sendiri.
Dalam kitab Hasyiyah al-‘Adawi fi Mazhab al-Imam Malik, disebutkan bahwa salat Id memiliki syarat seperti salat Jumat. Yaitu adanya khutbah, sehingga jika ada halangan dalam pelaksanaannya tidak harus diganti di rumah, namun demikian bila seseorang menggantinya di rumah maka dibolehkan.
Tak Perlu Diganti Salat di Rumah
Sedangkan dalam kitab-kitab fikih Hanafiyyah, masyhur suatu pendapat, bahwa jika ada halangan dalam pelaksanaan salat Id, maka tidak perlu diganti dengan pelaksanaannya di rumah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin, memilih dan menguatkan pendapat ulama-ulama Hanafiyyah, sebagaimana dijelaskan dalam asy-Syarah al-Mumti (asy-Syaarah al-Mumti/156).
Allajnah Adda’imah lil Ifta’ atau komisi tetap untuk fatwa agama Saudi Arabia atau yang pernah diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz, setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Utsaimin.
Menurut Allajnah, salat Id hukumnya adalah fardhu kifayah, jika sudah ada satu pihak yang menyelenggarakannya, maka pihak lain yang tidak menyelenggarakannya tidak terbebani dosa. Sehingga bagi orang-orang yang terhalang untuk pelaksanaannya tidak perlu menggantinya di rumah.
Namun demikian jika ada yang ingin menggantinya dengan salat di rumah, maka sah-sah saja. Dalam pelaksanaannya bisa berjamaah bisa juga munfarid, sesuai dengan tata cara salat Id, baik dalam rakaat, takbir, dan jaharnya, dan tanpa khutbah sesudahnya, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dari kurun ke kurun. (adda’imah lil ifta’, III/306).
( )
Pendapat Muhammadiyah
Selanjutnya, bagaimana pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah? Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini dalam tulisannya berjudul "Begini Shalat Id dalam Keadaan Tak Normal" yang dipublikasikan di laman resmi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini, menjelaskan salah satu spirit atau wawasan dari Majelis Tarjih dan Tajdid adalah tidak berafiliasi mazhab . Maksudnya tidak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam berijtihad bersumber kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan metode-metode ijtihad yang ada.
Namun demikian, bukan berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada, malah secara intens menjadikan pendapat-pendapat mereka sebagai bahan pertimbangan untuk menetukan diktum norma atau ajaran yang lebih sesuai dengan semangat al-Quran dan as-Sunnah.
Kaitannya dengan salat Id pada saat pandemi Covid-19, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah cenderung kepada pendapat fukaha Hanafiyyah, yang kemudian diikuti oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Utsaimin, dan Allajnah Adda’imah lil Ifta’. Sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 03/EDR/I.0/E/2020, tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19.
Dalam paparannya dijelaskan bahwa salat Idul Fitri adalah sunnah muakkadah dan merupakan syiar agama yang amat penting. Namun apabila pada awal Syawal 1441 H mendatang tersebarnya Covid-19 belum mereda, salat Idul Fitri dan seluruh rangkaiannya (mudik, pawai takbir, halal bihalal, dan lain sebagainya) tidak perlu diselenggarakan.
Namun demikian, karena salah satu prinsip dalam Majelis Tarjih dan Tajdid adalah toleransi, maka pendapat yang ditujukan untuk warga persyarikatan Muhammadiyah ini tidak disertai penilaian salah kepada pihak lain yang menyelenggarakannya, baik di lapangan, masjid, ataupun di rumah.
Tetapi apabila berdasarkan ketentuan pihak berwenang Covid-19 sudah mereda dan dapat dilakukan konsentrasi banyak orang, maka Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat, salat Idul Fitri bisa dilaksanakan. Syaratnya dengan tetap memperhatikan petunjuk dan ketentuan yang dikeluarkan pihak berwenang mengenai hal itu.
Adapun kumandang takbir Id dapat dilakukan di rumah masing-masing selama darurat Covid-19. Kajian Begini Shalat Id dalam Keadaan Tak Normal semoga bermanfaat. ( )
(mhy)