Anak Mulai Berbohong? Awas Sinyal Bahaya!
Senin, 09 November 2020 - 11:30 WIB
Berbohong, salah satu masalah yang kerap kita temukan pada anak-anak kita. Sekali atau dua kali berbohong, sesuatu yang mungkin masih bisa diberi toleransi atau masih bisa dimaklumi. Tapi kalau terus-menerus dan menjadi satu kebiasaan baginya, ini merupakan satu sinyal bahaya .
Tidak diragukan lagi bahwa berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar kuat dalam diri seorang anak.
(Baca juga : Inilah Wasiat Syaikh Al Utsaimin untuk Perempuan Muslimah )
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajiannya 'Mencetak Generasi Rabbani' di laman dakwah online-nya menjelaskan, kejujuran anak kadangkala membuat orang tua tidak siap. Sehingga ketika anak jujur dan itu membuat terkejut orang tua, maka orang tua tidak siap untuk memberikan apresiasi terhadap kejujuran si anak dan fokus kepada apa yang dia dengar.
(Baca juga : Kezuhudan Istri Khalifah )
Misalnya anak jujur tentang apa yang dia perbuat, mungkin dia melakukan satu kesalahan dan dia jujur sama orang tuanya, dia berkata kepada orang tuanya “Ayah, ibu saya melakukan ini.” Apa reaksi orang tua? Orang tua fokus kepada apa yang disampaikan oleh anak. Dan kalau dia salah memberikan reaksi, itu bisa membuat trauma bagi anak untuk jujur. Mungkin dia berkata dalam hati bahwa akibat dari jujur itu seperti ini. Mungkin dia dapat hukuman yang berat dari orang tua, celaan, cercaan, cacian, makian, stigma buruk, bahkan vonis mungkin dari orang tuanya akibat kejujurannya.
Karena itu, orang tua harus proporsional dalam memberikan apresiasi bagi sisi positif yang ditunjukkan oleh anak, yaitu kejujurannya. Mungkin itu butuh perjuangan berat baginya untuk jujur terhadap sesuatu yang dia tahu orang tuanya pasti marah. Tapi kadang-kadang orang tua tidak memberikan apresiasi terhadap kejujurannya, justru menganggap itu seolah-olah tidak ada nilainya, maka habislah anak ini dimarahi oleh orang tuanya akibat kejujurannya.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Di sini para orang tua harus bisa bersikap bijak untuk menyelesaikan masalah anak. Anak banyak masalah, anak banyak berbuat salah, itu sesuatu yang dilakukan oleh manusia, bukan hanya anak namun orang tua juga. Tapi ketika anak salah lalu dia jujur, mengapa kita begitu panik dan begitu heboh terhadap kejujurannya? Sehingga membuat dia berkata dalam hati: “Kalau begitu esok hari saya tidak jujur saja, saya bohong saja. Karena bohong itu selamat, jujur itu bencana.” Maka dia pun termotivasi untuk bohong.
Sebagian orang tua senang dibohongin anak, mendengarkan yang baik-baik dari anak padahal tidak seperti itu. Anak bisa memanipulasi kenyataan dengan kebohongannya. Dan orang tua senang dengan kebohongan si anak ini. Dia tutup mata, dia tutup telinga, karena dia merasa puas dengan kebohongan si anak.
Jadi di sini yang perlu diketahui oleh para orang tua, bahwa selesaikanlah masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Ketika anak jujur, dia mengungkapkan satu masalah yang terjadi pada dirinya, selesaikan masalah itu dan tanam keberanian dia untuk jujur di kemudian hari.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Maka kita harus siap dengan kejujuran anak. Dan jangan terlalu puas dengan kebohongan si anak yang membuat kita terlena. Contohnya ketika anak ditanya sudah mengerjakan PR atau belum dan si anak menjawab “sudah”, maka orang tua puas, padahal bohong. Begitu dia jujur ketika ditanya sudah mengerjakan PR atau belum, dan dijawab “belum”, maka orang tua mengamuk. Tentu mengamuk ini tidak menyelesaikan masalah. Akibatnya besok ketika anak ditanya apakah sudah mengerjakan PR atau belum, maka dia jawab “sudah” dengan cepat padahal itu bohong.
Jadi orang tua harus siap dengan kejujuran anak. Sehingga ketika dia mendapatkan sesuatu yang tidak enak dari kejujuran si anak ini, dia bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Dan yang terpenting sebagai orang tua, kita harus bisa menjelaskan pula bahwa bohong itu adalah sesuatu yang haram, dilarang, tercela, walaupun dalam beberapa kondisi bohong itu sepertinya menguntungkan bagi dirinya, sepertinya positif, sepertinya baik, tapi sebenarnya tidak baik.
(Baca juga : Jelang Pulang ke Indonesia, FPI: Kondisi Habib Rizieq Sehat Walafiat )
Anak-anak perlu kita jelaskan bahwa bohong itu haram, bohong itu jalan mengantarkan kepada neraka. Misalnya dengan memberitahukan ada hadis Nabi SAW:
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
Tidak diragukan lagi bahwa berbohong adalah sebuah perilaku tercela yang bisa menjadi kebiasaan apabila tidak ditangani sedini mungkin. Para pendidik, khususnya orang tua harus mencurahkan perhatian dan melakukan upaya-upaya perbaikan dari kebiasaan berbohong ini agar tidak menjadi kebiasan buruk yang mengakar kuat dalam diri seorang anak.
(Baca juga : Inilah Wasiat Syaikh Al Utsaimin untuk Perempuan Muslimah )
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke dalam surga. Tidaklah seseorang berbuat jujur hingga Allah mencatatnya sebagai orang yang selalu jujur. Dan berbohong itu membawa kepada kejelekan, dan kejelekan itu menghantarkan ke dalam neraka. Sungguh seseorang terbiasa bohong hingga Allah mencatatnya sebagai seorang pembohong.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ustadz Abu Ihsan Al Atsaary dalam kajiannya 'Mencetak Generasi Rabbani' di laman dakwah online-nya menjelaskan, kejujuran anak kadangkala membuat orang tua tidak siap. Sehingga ketika anak jujur dan itu membuat terkejut orang tua, maka orang tua tidak siap untuk memberikan apresiasi terhadap kejujuran si anak dan fokus kepada apa yang dia dengar.
(Baca juga : Kezuhudan Istri Khalifah )
Misalnya anak jujur tentang apa yang dia perbuat, mungkin dia melakukan satu kesalahan dan dia jujur sama orang tuanya, dia berkata kepada orang tuanya “Ayah, ibu saya melakukan ini.” Apa reaksi orang tua? Orang tua fokus kepada apa yang disampaikan oleh anak. Dan kalau dia salah memberikan reaksi, itu bisa membuat trauma bagi anak untuk jujur. Mungkin dia berkata dalam hati bahwa akibat dari jujur itu seperti ini. Mungkin dia dapat hukuman yang berat dari orang tua, celaan, cercaan, cacian, makian, stigma buruk, bahkan vonis mungkin dari orang tuanya akibat kejujurannya.
Karena itu, orang tua harus proporsional dalam memberikan apresiasi bagi sisi positif yang ditunjukkan oleh anak, yaitu kejujurannya. Mungkin itu butuh perjuangan berat baginya untuk jujur terhadap sesuatu yang dia tahu orang tuanya pasti marah. Tapi kadang-kadang orang tua tidak memberikan apresiasi terhadap kejujurannya, justru menganggap itu seolah-olah tidak ada nilainya, maka habislah anak ini dimarahi oleh orang tuanya akibat kejujurannya.
(Baca juga : Menjenguk Orang Sakit, Adab Mulia yang Banyak Keutamaan )
Di sini para orang tua harus bisa bersikap bijak untuk menyelesaikan masalah anak. Anak banyak masalah, anak banyak berbuat salah, itu sesuatu yang dilakukan oleh manusia, bukan hanya anak namun orang tua juga. Tapi ketika anak salah lalu dia jujur, mengapa kita begitu panik dan begitu heboh terhadap kejujurannya? Sehingga membuat dia berkata dalam hati: “Kalau begitu esok hari saya tidak jujur saja, saya bohong saja. Karena bohong itu selamat, jujur itu bencana.” Maka dia pun termotivasi untuk bohong.
Sebagian orang tua senang dibohongin anak, mendengarkan yang baik-baik dari anak padahal tidak seperti itu. Anak bisa memanipulasi kenyataan dengan kebohongannya. Dan orang tua senang dengan kebohongan si anak ini. Dia tutup mata, dia tutup telinga, karena dia merasa puas dengan kebohongan si anak.
Jadi di sini yang perlu diketahui oleh para orang tua, bahwa selesaikanlah masalah tanpa menimbulkan masalah yang lain. Ketika anak jujur, dia mengungkapkan satu masalah yang terjadi pada dirinya, selesaikan masalah itu dan tanam keberanian dia untuk jujur di kemudian hari.
(Baca juga : Pentingnya Tafakuri Diri )
Maka kita harus siap dengan kejujuran anak. Dan jangan terlalu puas dengan kebohongan si anak yang membuat kita terlena. Contohnya ketika anak ditanya sudah mengerjakan PR atau belum dan si anak menjawab “sudah”, maka orang tua puas, padahal bohong. Begitu dia jujur ketika ditanya sudah mengerjakan PR atau belum, dan dijawab “belum”, maka orang tua mengamuk. Tentu mengamuk ini tidak menyelesaikan masalah. Akibatnya besok ketika anak ditanya apakah sudah mengerjakan PR atau belum, maka dia jawab “sudah” dengan cepat padahal itu bohong.
Jadi orang tua harus siap dengan kejujuran anak. Sehingga ketika dia mendapatkan sesuatu yang tidak enak dari kejujuran si anak ini, dia bisa menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Dan yang terpenting sebagai orang tua, kita harus bisa menjelaskan pula bahwa bohong itu adalah sesuatu yang haram, dilarang, tercela, walaupun dalam beberapa kondisi bohong itu sepertinya menguntungkan bagi dirinya, sepertinya positif, sepertinya baik, tapi sebenarnya tidak baik.
(Baca juga : Jelang Pulang ke Indonesia, FPI: Kondisi Habib Rizieq Sehat Walafiat )
Anak-anak perlu kita jelaskan bahwa bohong itu haram, bohong itu jalan mengantarkan kepada neraka. Misalnya dengan memberitahukan ada hadis Nabi SAW:
فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ