Gus Mus: Masih Banyak yang Anggap Jabatan Menteri sebagai Anugerah
Jum'at, 25 Desember 2020 - 15:31 WIB
Syaikhul Islam dalam as-Siyasah as-Syar'iyah menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, "Selayaknya untuk diketahui, siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, kuat (mampu) dan amanah. Lalu, menyitir firman Allah:
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatan dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf . Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh Raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafidz), dan berpengetahuan (alim) (QS. Yusuf 12: 54).
Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafidz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafidza) atau menyia-nyiakannya. (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat Al-‘Alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka besar jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diingatkan Umar bin Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Skala Prioritas
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengadu kepada Allah perihal kepemimpinan, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”
Jika demikian, diperlukan sebuah skala prioritas dalam menentukan kepemimpinan. Dalam posisi tertentu, sifat amanah itu lebih dikedepankan. Namun, di posisi lain, sifat kuat (mampu) dan profesional yang lebih dikedepankan.
Imam Ahmad, ketika ditanya, jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tetapi fasik, dan yang satunya lagi saleh tetapi lemah. Mana yang lebih layak untuk dipilih? Jawab Imam Ahmad, orang fasik yang profesional, kemampuannya menguntungkan kaum Muslimin.
Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan, orang saleh yang tidak profesional, kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri, dan ketidakmampuannya dapat merugikan kaum Muslimin. Maka itu, dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.
Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan (kepemimpinan) yang lebih membutuhkan sifat amanah, didahulukan yang lebih amanah meskipun kurang profesional. Maka dari itu, diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan tersebut, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.
Ya, semoga saja Gus Yaqut akan amanah. Menurut Gus Mus, Yaqut tidak menganggap jabatan menteri sebagai anugrah. "Dia sadar bahwa jabatan itu amanah dan tanggung jawab. Jadi aku tinggal ikut mendoakan saja semoga dia mampu melaksanakan amanah dan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya. Rabbunã yuwaffiq..." tuturnya. ( )
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).
Masalahnya, seseorang bisa gagal menunaikan tugas jabatan dan kepemimpinannya karena tidak mampu mempertahankan amanah (khianat) atau karena tidak ada ilmu untuk itu (jahil). Maka Al-Qur’an memberi pelajaran dari kisah Nabi Yusuf . Dikisahkan bahwa ia diberi kedudukan tinggi oleh Raja karena dapat dipercaya (amin), pandai menjaga (hafidz), dan berpengetahuan (alim) (QS. Yusuf 12: 54).
Ini berarti kriteria pemimpin ditambah satu syarat lagi, yaitu hafidz, artinya menjaga amanah. Hal ini disinggung Nabi dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap pemimpin tentang rakyatnya, apakah menjaganya (hafidza) atau menyia-nyiakannya. (HR. Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Syarat yang satu lagi adalah sifat Al-‘Alim, artinya mengetahui apa yang menjadi tanggung jawabnya, mengetahui ilmu tentang tugasnya. Adalah malapetaka besar jika pejabat dan pemimpin yang dipilih dan dipercaya rakyat ternyata tidak cukup ilmu tentang tugasnya. Inilah yang diingatkan Umar bin Khattab bahwa amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Di sini kita akan mafhum apa kira-kira sebabnya Abu Dzar tidak diberi jabatan oleh Nabi.
Skala Prioritas
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengadu kepada Allah perihal kepemimpinan, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”
Jika demikian, diperlukan sebuah skala prioritas dalam menentukan kepemimpinan. Dalam posisi tertentu, sifat amanah itu lebih dikedepankan. Namun, di posisi lain, sifat kuat (mampu) dan profesional yang lebih dikedepankan.
Imam Ahmad, ketika ditanya, jika ada dua calon pemimpin untuk memimpin perang, yang satu profesional tetapi fasik, dan yang satunya lagi saleh tetapi lemah. Mana yang lebih layak untuk dipilih? Jawab Imam Ahmad, orang fasik yang profesional, kemampuannya menguntungkan kaum Muslimin.
Sementara sifat fasiknya merugikan dirinya sendiri. Sedangkan, orang saleh yang tidak profesional, kesalehannya hanya untuk dirinya sendiri, dan ketidakmampuannya dapat merugikan kaum Muslimin. Maka itu, dipilih perang bersama pemimpin yang profesional meskipun fasik.
Sebaliknya, jika dalam posisi jabatan (kepemimpinan) yang lebih membutuhkan sifat amanah, didahulukan yang lebih amanah meskipun kurang profesional. Maka dari itu, diutamakan yang lebih menguntungkan untuk jabatan tersebut, dan yang lebih sedikit dampak buruknya.
Ya, semoga saja Gus Yaqut akan amanah. Menurut Gus Mus, Yaqut tidak menganggap jabatan menteri sebagai anugrah. "Dia sadar bahwa jabatan itu amanah dan tanggung jawab. Jadi aku tinggal ikut mendoakan saja semoga dia mampu melaksanakan amanah dan tanggung jawab itu dengan sebaik-baiknya. Rabbunã yuwaffiq..." tuturnya. ( )
(mhy)