Habib Quraisy Baharun: Wafatnya Ulama Laksana Bintang yang Padam
Sabtu, 16 Januari 2021 - 12:35 WIB
Kita patut bersedih atas wafatnya ulama-ulama faqih yang berdakwah di jalan Allah. Sepanjang bulan ini tercatat lebih dari 15 ulama dan Dai ilallah di Tanah Air berpulang ke rahmat Allah. Mungkin masih banyak ulama lainnya yang tidak terekspos media.
"Kita semua mengakui bahwa wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat Islam. Karena ulama adalah pewaris Nabi.Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi," kata Pengasuh Ponpes Ash-Shidqu Kuningan Jawa Barat Al-Habib Quraisy Baharun dalam postingannya di sosial media, kemarin.
Habib Quraisy mengatakan, wafatnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan dan laksana bintang yang padam sebagaimana ditegaskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
"Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama". (HR at-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Musibah dalam agama diibaratkan oleh Nabi laksana bintang yang padam. Wajar bila kita bersedih ditinggal wafat seorang ulama. Bahkan, jika tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik."
Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian. Seorang Tabiin, perawi yang hadisnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya:
إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
"Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku."
Diangkatnya Ilmu
Habib Quraisy mengemukakan, kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya. Kesedihan sejati adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat.
Umat Islam kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan. Umat kehilangan orang yang dalam dadanya tersimpan mutiara ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan.
Mengenai ini, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
"Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan."
Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut:
"Kita semua mengakui bahwa wafatnya ulama adalah sebuah musibah bagi umat Islam. Karena ulama adalah pewaris Nabi.Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi," kata Pengasuh Ponpes Ash-Shidqu Kuningan Jawa Barat Al-Habib Quraisy Baharun dalam postingannya di sosial media, kemarin.
Habib Quraisy mengatakan, wafatnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan dan laksana bintang yang padam sebagaimana ditegaskan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam sabdanya:
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
"Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama". (HR at-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Musibah dalam agama diibaratkan oleh Nabi laksana bintang yang padam. Wajar bila kita bersedih ditinggal wafat seorang ulama. Bahkan, jika tidak bersedih dengan wafatnya ulama pertanda kemunafikan. Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi dalam Kitab Tanqih Al-Qaul mengutip sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik."
Musibah ini akan dirasakan terutama oleh para pecinta ilmu, orang-orang yang peduli dengan warisan kenabian. Seorang Tabiin, perawi yang hadisnya tersebar di Kutubus Sittah, Imam Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah pernah berkata, sebagaimana dikutip Imam Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Awliya:
إني أُخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
"Sesungguhnya aku diberitakan mengenai wafatnya seorang ahlus sunnah, seakan-akan aku kehilangan sebagian anggota tubuhku."
Baca Juga
Diangkatnya Ilmu
Habib Quraisy mengemukakan, kesedihan yang benar sebab ditinggal wafat seorang ulama bukanlah kesedihan berdasar nafsu karena kehilangan fisiknya. Kesedihan sejati adalah karena kehilangan orang yang mentrasfer warisan kenabian kepada umat.
Umat Islam kehilangan orang yang membimbing di jalan kebenaran sesuai dengan cahaya ilmu pengetahuan. Umat kehilangan orang yang dalam dadanya tersimpan mutiara ilmu yang diperlukan dalam menjalani kehidupan. Sehingga wafatnya ulama bermakna kehilangan ilmu pengetahuan.
Mengenai ini, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Muslim:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ
"Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah menanggkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan."
Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits diatas sebagai berikut: