Perpecahan di Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, Dipicu Soal Pembagian Ghanimah
Kamis, 21 Januari 2021 - 18:23 WIB
KOTA Madinah yang sejak masa hidupnya Rasulullah SAW menjadi pusat kepemimpinan agama dan pemerintahan, selama delapan hari sejak terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan berada dalam keadaan serba tak menentu. Tidak ada kemantapan dan tidak ada ketertiban hukum. Kaum pembangkang yang datang dari luar Madinah, banyak yang berusaha mengadakan kegiatan pengacauan di kota tersebut.
Beberapa kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap. Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan" Ali bin Abi Thalib r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa Ali lah yang "membunuh Utsman" atau "melindungi kaum pemberontak".
Dengan tuduhan itu mereka mengharap Ali akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia bisa terguling dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.
Tidak berapa lama sesudah Ali mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu hanyak orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal.
Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi Rafi', Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah yang sama, yaitu 3 dinar.
Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah yang sama? Dengan tegas Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang sama yaitu 3 dinar.
Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin Ubaidillah , Zubair bin Al-'Awwam , Abdullah bin Umar , Said bin Al-Ash.
Perubahan Drastis
Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Khalifah Ali dengan sekelompok orang-orang Quraiys. Peristiwanya terjadi di Masjid Madinah , sehabis salat subuh .
Selesai mengimami salat, Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu'aith. Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Khalifah Ali: "Ya Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri, ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentang Sa'id, dalam perang Badr juga ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai pembantunya."
Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya duduknya, Al-Walid melanjutkan: "Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf. Sekarang kami telah membai'at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh Khalifah Utsman kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Al-Walid meneruskan: "Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam."
Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam.
Tanpa ragu-ragu Ali bin Abi Thalib r.a. secara terus terang menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: "Tentang tindakan-tindakan yang kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang
lain."
"Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin."
Jika kalian takut kepadaku, akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian akan kusuruh pergi!"
Mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib yang begitu tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang bergerombol di sudut lain dalam masjid.
Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Ali bin Abi Thalib dan bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya.
Perbedaan pendapat di antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Walid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan kejadian itu kepada Amirul Mukminin.
Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Khalifah cepat bertindak untuk memperkokoh kepemimpinannya.
Kata Ammar kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib: "Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah orang-orang Quraiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasulullah s.a.w. Mereka merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka."
"Pada saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang. Kemudian mereka mengadakan hubungan-hubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?" ujar Ammar kemudian.
Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan kawan-kawannya, Ali bin Abi Thalib langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul.
Setelah mengucap syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah s.w.t., Amirul Mukminin memperingatkan kepada semua yang hadir, bahwa nikmat yang diterima oleh manusia dari Al Khalik sekaligus juga merupakan ujian: apakah kita bersyukur atau berkufur.
"Barang siapa bersyukur," kata Khalifah Ali bin Abi Thalib, "akan memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya dengan Dia, ialah orang yang paling takwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh melaksanakan Kitab-Nya."
"Di antara kita," kata Khalifah Ali lagi, "seterusnya, tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk memperkuat kata-katanya itu Khalifah Ali bin Abi Thalib memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu."
Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain.
Dikatakannya juga: "Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hambaNya yang berserah diri kepada-Nya."
Seusai menjelaskan prinsip kebijaksanaannya, Amirul Mukminin memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abdurrahrnan bin Hazal Al-Quraysiy supaya memanggil Thalhah dan Zubair yang waktu itu duduk agak jauh.
Sambil memandang tajam kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata: "Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai'atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai'at, padahal waktu itu aku sendiri tidak berminat?"
"Ya, benar," jawab kedua orang itu.
"Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa oleh siapa pun?Bukankah dengan pernyataan bai'at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia dan taat kepadaku?" tanya Ali bin Abi Thalib.
"Ya, benar," jawab kedua orang itu pula.
"Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?" tanya Khalifah Ali r.a. lagi untuk mendapat jawaban pasti.
"Kami membai'atmu dengan syarat," jawab kedua orang itu.
"Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami, dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami."
"Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar," kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. "Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengampuni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku zalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?"
"Na'udzubillah," sela Thalhah dan Zubair.
"Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?" tanya Khalifah Ali pula sebelum meneruskan penjelasannya.
"Kami tidak sependapat dengan anda," ujar kedua orang itu, "karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan. Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orang-orang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjatasenjata lainnya. Kami telah berjuang sampai dakwah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…"
Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Khalifah Ali. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Khalifah Ali berkata lebih jauh: "Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah."
"Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasulullah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar."
"Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa sebelum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasulullah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasulullah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka."
Penjelasan Khalifah Ali yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid.
Mengakhiri penjelasannya, Khalifah Ali berkata: "Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kezaliman lalu bersedia menolaknya…"
Dialog tersebut dikutip H.M.H. Al Hamid Al Husaini
dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a." dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu'tazilah, Abu Ja'far AlIskafiy, yang berasal dari Bagdad.
Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Khalifah Ali itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawan-kawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini?
Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri: "Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasulullah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian
sebelumnya.
"Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga pikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar r.a."
"Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistem pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar. Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistem pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a.
"Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Khalifah Ali telah menghapus sistem pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman.
Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Khalifah Ali sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun."
Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Khalifah Ali di satu pihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di pihak lain.
Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam.
Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistem pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. (Bersambung)
Beberapa kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami berbagai hambatan dalam menentukan sikap. Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan" Ali bin Abi Thalib r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa Ali lah yang "membunuh Utsman" atau "melindungi kaum pemberontak".
Dengan tuduhan itu mereka mengharap Ali akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan dengan demikian ia bisa terguling dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.
Tidak berapa lama sesudah Ali mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu hanyak orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal.
Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi Rafi', Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah yang sama, yaitu 3 dinar.
Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah yang sama? Dengan tegas Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang sama yaitu 3 dinar.
Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin Ubaidillah , Zubair bin Al-'Awwam , Abdullah bin Umar , Said bin Al-Ash.
Perubahan Drastis
Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Khalifah Ali dengan sekelompok orang-orang Quraiys. Peristiwanya terjadi di Masjid Madinah , sehabis salat subuh .
Selesai mengimami salat, Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu'aith. Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Khalifah Ali: "Ya Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri, ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentang Sa'id, dalam perang Badr juga ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai pembantunya."
Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya duduknya, Al-Walid melanjutkan: "Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf. Sekarang kami telah membai'at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh Khalifah Utsman kepada kami."
Setelah berpikir sejenak, Al-Walid meneruskan: "Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam."
Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam.
Tanpa ragu-ragu Ali bin Abi Thalib r.a. secara terus terang menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: "Tentang tindakan-tindakan yang kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang
lain."
"Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin."
Jika kalian takut kepadaku, akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian akan kusuruh pergi!"
Mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib yang begitu tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang bergerombol di sudut lain dalam masjid.
Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Ali bin Abi Thalib dan bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya.
Perbedaan pendapat di antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Walid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi setelah dipertimbangkan masak-masak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan kejadian itu kepada Amirul Mukminin.
Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Setelah melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Khalifah cepat bertindak untuk memperkokoh kepemimpinannya.
Kata Ammar kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib: "Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah orang-orang Quraiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasulullah s.a.w. Mereka merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka."
"Pada saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang. Kemudian mereka mengadakan hubungan-hubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?" ujar Ammar kemudian.
Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan kawan-kawannya, Ali bin Abi Thalib langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul.
Baca Juga
"Barang siapa bersyukur," kata Khalifah Ali bin Abi Thalib, "akan memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya dengan Dia, ialah orang yang paling takwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh melaksanakan Kitab-Nya."
"Di antara kita," kata Khalifah Ali lagi, "seterusnya, tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Untuk memperkuat kata-katanya itu Khalifah Ali bin Abi Thalib memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu."
Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain.
Dikatakannya juga: "Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hambaNya yang berserah diri kepada-Nya."
Baca Juga
Sambil memandang tajam kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib berkata: "Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai'atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai'at, padahal waktu itu aku sendiri tidak berminat?"
"Ya, benar," jawab kedua orang itu.
"Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa oleh siapa pun?Bukankah dengan pernyataan bai'at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia dan taat kepadaku?" tanya Ali bin Abi Thalib.
"Ya, benar," jawab kedua orang itu pula.
"Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?" tanya Khalifah Ali r.a. lagi untuk mendapat jawaban pasti.
"Kami membai'atmu dengan syarat," jawab kedua orang itu.
"Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami, dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami."
"Kalian sebenarnya dendam karena soal yang amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar," kata Amirul Mukminin sambil menekan perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. "Mohonlah pengampunan kepada Allah, Dia akan mengampuni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku zalim terhadap kalian mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu yang sudah menjadi hak kaum muslimin?"
"Na'udzubillah," sela Thalhah dan Zubair.
"Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai perintahku dan mempunyai pendirian lain?" tanya Khalifah Ali pula sebelum meneruskan penjelasannya.
"Kami tidak sependapat dengan anda," ujar kedua orang itu, "karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh Utsman bin Affan. Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan dengan orang-orang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah berjuang dengan pedang, tombak dan senjatasenjata lainnya. Kami telah berjuang sampai dakwah risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan mereka yang tidak menyukai Islam…"
Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Khalifah Ali. Dengan tidak menanggapi secara langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Khalifah Ali berkata lebih jauh: "Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah."
"Tentang pembagian harta ghanimah secara merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama menyaksikan bahwa Rasulullah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara terang maupun samar."
"Adapun pernyataan kalian yang mengatakan kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa sebelum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun demikian, Rasulullah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak daripada orang lain. Rasulullah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiamat kelak akan melimpahkan pahala kepada mereka."
Penjelasan Khalifah Ali yang dramatis itu didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid.
Mengakhiri penjelasannya, Khalifah Ali berkata: "Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui kezaliman lalu bersedia menolaknya…"
Dialog tersebut dikutip H.M.H. Al Hamid Al Husaini
dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a." dari tulisan salah seorang tokoh kaum Mu'tazilah, Abu Ja'far AlIskafiy, yang berasal dari Bagdad.
Dalam tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Khalifah Ali itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a.
Al-Iskafiy bertanya: Mengapa Thalhah dan kawan-kawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah yang mereka tentang sekarang ini?
Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri: "Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a. sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasulullah s.a.w. semasa hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda. Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian
sebelumnya.
"Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama, sehingga pikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar r.a."
"Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistem pembagian sama seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar. Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin tentang benarnya sistem pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a.
"Dengan mengembalikan sistim pembagian seperti yang berlaku pada masa Rasulullah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Khalifah Ali telah menghapus sistem pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman.
Sebagaimanan diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan drastis yang dilakukan oleh Khalifah Ali sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun."
Masalah pembagian harta ghanimah tersebut, ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Khalifah Ali di satu pihak dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di pihak lain.
Perselisihan mengenai hal itu kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya, sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam.
Terutama setelah perselisihan itu ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari masalah sistem pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. (Bersambung)
(mhy)