Tauhid Seorang Muslim: Kemerdekaan dan Makna Syahadat
Jum'at, 05 Februari 2021 - 19:54 WIB
DENGAN bertuhan hanya kepada Allah SWT, yang kekuasaan-Nya memang mutlak dan benar-benar nyata, pada hakikatnya manusia akan mampu menikmati tingkat kemedekaan yang paling tinggi, yang mungkin tercapai oleh manusia. Inilah yang dituju oleh setiap Muslim di dalam hidupnya.
Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1931-2008) dalam buku Kuliah Tauhid yang diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB (1980) memaparkan setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya.
Ia menghargakan kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia siap mengorbankan hidupnya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan itu.
Jika hal ini terjadi, maka ia akan mendapat kehormatan yang paling tinggi dari Allah sendiri.
Demikian rupa tinggi kehormatan itu, sehingga umat Islam dilarang Allah mengatakan orang ini mati, jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini. Karena walaupun tubuhnya sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT orang ini tetap hidup.
Apanyakah yang hidup? Tiada lain melainkan kemanusiaanya. Bukankah sudah diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan seseorang itu sebanding dengan kemerdekaan yang dihayatinya.
Kalau seseorang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaannya, maka pada hakikatnya ia telah mempertahankan nilai kemanusiaannya yang sempurna, karena ia telah meletakkan hak kemerdekaannya, dus kemanusiaannya, lebih penting dari kehidupan jasmaninya.
Apalah arti kehidupan jasmaniah jika nilai kemanusiaan sudah tiada. Apalah artinya kehidupan jasmani melulu, jika telah hampa akan nilai kemanusiaan yang mulia. Bukankah kehidupan hampa seperti ini oleh pepatah bangsa kita dinamakan: "bak hidup bercermin bangkai?"
Bunyi pepatah ini selengkapnya ialah: "Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai".
Jelas sekali bahwa nilai Islam telah lama meresap ke dalam jiwa bangsa kita, sehingga pepatah kuno ini telah bernapaskan tauhid.
Kemerdekaanlah satu-satunya nilai, yang telah ditakdirkan Allah berfungsi untuk membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Sungguhlah kehidupan orang yang tidak menghayati kemerdekaan, pada hakikatnya telah menempatkan kehadirannya di dunia yang fana ini serba salah.
Dikatakan manusia ia tidak punya nilai kemanusiaan (kemerdekaan), dikatakan bukan manusia tubuh dan bentuknya menggambarkan dia tepat seperti manusia.
Oleh karena itulah, maka mereka yang telah berani membayar nilai kemerdekaannya dengan mengorbankan kelangsungan hidup jasmaniahnya dinilai Allah lebih hidup dari mereka yang sekadar "bercermin bangkai" tadi.
Di dalam al-Qur'an mereka yang telah gugur karena mempertahankan kemerdekaannya ini dinamakan "syahid", karena ia telah berani menjadi "saksi" akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengatakan bahwa nilai kemanusiaan, yang pada hakikatnya abadi itu lebih penting dari kehidupan jasmaniah yang temporer (sementara atau fana) ini.
Allah melarang ummat Islam mengatakan mereka mati, karena pada hakikatnya mereka itu hidup. Apanyakah yang masih hidup, padahal batang tubuhnya sudah tergeletak tak bergerak lagi? Mereka tetap hidup di dalam nilai kemanusiaannya (kemerdekaannya) yang abadi.
Dalam ayat Allah SWT dikatakan: "Jangan engkau katakan mereka yang telah terbunuh dalam jalan Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka itu hidup, tapi engkau tiada mengerti". (Q. 2:154)
Kehidupan yang bermakna ialah kehidupan yang bebas dari segala macam keterikatan yang tak perlu. Namun bebas sepenuhnya tidaklah mungkin bagi setiap manusia.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa setiap orang mesti memerlukan sesuatu yang dipentingkannya. Oleh karena sifat asli manusia itu hanif (cenderung kepada kebaikan/kebenaran), maka sesuatu yang dipentingkan oleh manusia itu senantiasa berupa sesuatu, yang menurut penilaiannya baik/benar.
Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa yang dipertuhankan manusia itu biasanya sesuatu yang menurut dia benar/baik.
Muhammad Imaduddin Abdulrahim (1931-2008) dalam buku Kuliah Tauhid yang diterbitkan oleh Pustaka-Perpustakaan Salman ITB (1980) memaparkan setiap Muslim yang betul-betul beriman adalah manusia yang paling bebas dari segala macam bentuk keterikatan, kecuali keterikatan yang datang dari Allah Penciptanya.
Ia menghargakan kemerdekaan itu sedemikian tingginya sehingga tanpa ragu-ragu, jika perlu, ia siap mengorbankan hidupnya sendiri demi mempertahankan kemerdekaan itu.
Jika hal ini terjadi, maka ia akan mendapat kehormatan yang paling tinggi dari Allah sendiri.
Demikian rupa tinggi kehormatan itu, sehingga umat Islam dilarang Allah mengatakan orang ini mati, jika ia gugur di dalam mempertahankan haknya ini. Karena walaupun tubuhnya sudah menjadi mayat, namun dalam penilaian Allah SWT orang ini tetap hidup.
Apanyakah yang hidup? Tiada lain melainkan kemanusiaanya. Bukankah sudah diterangkan di atas, bahwa nilai kemanusiaan seseorang itu sebanding dengan kemerdekaan yang dihayatinya.
Kalau seseorang telah gugur dalam mempertahankan kemerdekaannya, maka pada hakikatnya ia telah mempertahankan nilai kemanusiaannya yang sempurna, karena ia telah meletakkan hak kemerdekaannya, dus kemanusiaannya, lebih penting dari kehidupan jasmaninya.
Apalah arti kehidupan jasmaniah jika nilai kemanusiaan sudah tiada. Apalah artinya kehidupan jasmani melulu, jika telah hampa akan nilai kemanusiaan yang mulia. Bukankah kehidupan hampa seperti ini oleh pepatah bangsa kita dinamakan: "bak hidup bercermin bangkai?"
Bunyi pepatah ini selengkapnya ialah: "Lebih baik mati berkalang tanah dari pada hidup bercermin bangkai".
Jelas sekali bahwa nilai Islam telah lama meresap ke dalam jiwa bangsa kita, sehingga pepatah kuno ini telah bernapaskan tauhid.
Kemerdekaanlah satu-satunya nilai, yang telah ditakdirkan Allah berfungsi untuk membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Sungguhlah kehidupan orang yang tidak menghayati kemerdekaan, pada hakikatnya telah menempatkan kehadirannya di dunia yang fana ini serba salah.
Dikatakan manusia ia tidak punya nilai kemanusiaan (kemerdekaan), dikatakan bukan manusia tubuh dan bentuknya menggambarkan dia tepat seperti manusia.
Oleh karena itulah, maka mereka yang telah berani membayar nilai kemerdekaannya dengan mengorbankan kelangsungan hidup jasmaniahnya dinilai Allah lebih hidup dari mereka yang sekadar "bercermin bangkai" tadi.
Di dalam al-Qur'an mereka yang telah gugur karena mempertahankan kemerdekaannya ini dinamakan "syahid", karena ia telah berani menjadi "saksi" akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengatakan bahwa nilai kemanusiaan, yang pada hakikatnya abadi itu lebih penting dari kehidupan jasmaniah yang temporer (sementara atau fana) ini.
Allah melarang ummat Islam mengatakan mereka mati, karena pada hakikatnya mereka itu hidup. Apanyakah yang masih hidup, padahal batang tubuhnya sudah tergeletak tak bergerak lagi? Mereka tetap hidup di dalam nilai kemanusiaannya (kemerdekaannya) yang abadi.
Dalam ayat Allah SWT dikatakan: "Jangan engkau katakan mereka yang telah terbunuh dalam jalan Allah itu mati, karena sesungguhnya mereka itu hidup, tapi engkau tiada mengerti". (Q. 2:154)
Kehidupan yang bermakna ialah kehidupan yang bebas dari segala macam keterikatan yang tak perlu. Namun bebas sepenuhnya tidaklah mungkin bagi setiap manusia.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, bahwa setiap orang mesti memerlukan sesuatu yang dipentingkannya. Oleh karena sifat asli manusia itu hanif (cenderung kepada kebaikan/kebenaran), maka sesuatu yang dipentingkan oleh manusia itu senantiasa berupa sesuatu, yang menurut penilaiannya baik/benar.
Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa yang dipertuhankan manusia itu biasanya sesuatu yang menurut dia benar/baik.