Tauhid Seorang Muslim: Kemerdekaan dan Makna Syahadat
Jum'at, 05 Februari 2021 - 19:54 WIB
Jadi, tuhan itu selamanya merupakan suatu kebenaran atau kebaikan bagi yang mempertuhankannya, walaupun relatif atau sementara.
Di dalam pengalamannya manusia merasa terikat akan tuhan-tuhan ini sebelum tuhan-tuhan ini diperolehnya. Misalnya, orang yang bersedia bekerja keras belajar sampai kurang tidur, bahkan terlupa makan sebelum menempuh ujian untuk mendapatkan ijazah tertentu.
Pada saat itu ijazah inilah yang menjadi tuhannya, karena ijazah ini telah mengatur irama hidupnya. Namun setelah ijazah berada di tangan, maka kepentingannya dan nilainya segera jatuh menjadi hampir nol.
Dari contoh ini ternyata bahwa ketuhanan ijazah ini sangat relatif. Ia mencapai nilainya yang tertinggi pada saat menjelang ia akan diperoleh.
Sesudah diperoleh, maka nilainya jatuh menjadi hampir kosong. Contoh-contoh lain bisa terlihat dengan mudah di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia sudah mendapat ijazah yang dipentingkannya sebelumnya, maka ia mulai memikirkan bagaimana mendapatkan teman hidup atau isteri.
Maka jika ia menemukan seorang gadis yang diingininya, maka ia mulai mencintai dan merindukan gadis itu. Ke mana pun ia pergi dan dalam keadaan bagaimanapun ia tetap mengenang gadis kekasihnya ini.
Maka gadis inipun mulai mempengaruhi, bahkan kadang kala turut mengatur irama hidupnya. Dengan lain perkataan, gadis ini berubah menjadi tuhannya.
Tingat ketuhanan gadis ini pun meningkat menjelang hari perkawinan mereka sampai kira-kira beberapa hari atau beberapa minggu setelah perkawinan itu terjadi. Sesudah itu nilai "ketuhanan" wanita ini biasanya akan menurun juga. Banyak pula pasangan suami isteri telah mulai bertengkar sebelum bulan madu mereka selesai dijalani, bahkan sampai bercerai.
Manusia memang selalu berpindah dari tuhan yang satu ke tuhan yang lain. Ketika manusia sedang lapar, maka makananlah yang mudah menjadi tuhan. Ketika sakit orang akan mempertuhankan kesehatan, walaupun ketika ia sedang sehat hampir tidak pernah menghargai kesehatan yang sedang dialaminya.
Walaupun demikian, manusia tidak mungkin mengatakan: "tidak ada tuhan", karena mengatakan: "tidak ada tuhan", samalah dengan mengatakan "tidak ada kebenaran".
Sedangkan mengatakan "tidak ada kebenaran" sama dengan mengatakan "semuanya salah". Kalau semuanya salah, maka kalimat "semuanya salah" itu pun salah pula. Jadi, kalimat "tidak ada tuhan" itu menafikkan dirinya sendiri.
Dari rangkaian logika ini terbukti bahwa kita tak mungkin mengatakan "tidak ada tuhan", walaupun di dalam kenyataannya, sebagaimana diuraikan dalam alinea di atas, bahwa tuhan-tuhan yang dipentingkan manusia itu sangat relatif nilainya, dan sangat tergantung kepada posisi manusia yang bersangkutan terhadapnya. Itulah kiranya alasan mengapa al-Qur'an tidak punya istilah yang artinya identik (sama benar) dengan "atheist" atau "atheisme" (paham yang menafikkan adanya tuhan).
Kalimat "tidak ada tuhan" ini tidak mungkin berdiri sendiri. Kalimat itu tidak logis atau tidak dapat diterima akal atau nonsense alias tidak bermakna.
Kalimat itu hanya bisa bermakna jika ia tidak diakhiri dengan titik. Jika kalimat "tidak ada tuhan" ini diakhiri dengan koma dan ditambah menjadi "tidak ada tuhan, kecuali X", maka X menjadi satu-satunya Tuhan yang berbeda sifat dan posisinya terhadap tuhan-tuhan lainnya. Ia mau tak mau mestilah mutlak, tidak lagi relatif seperti tuhan-tuhan yang lain itu.
Karena mutlak, maka Ia mestilah unique. Kalau Ia unique, maka mestilah pula Ia berbeda dengan segala yang mungkin terpikirkan dan terbayangkan oleh manusia, walau apapun yang dinamakan X ini.
Di dalam ajaran Islam X inilah yang dinamakan Allah. Perkataan Allah di dalam bahasa 'Arab sudah ada sebelum lahirnya Muhammad SAW . Allah dalam bahasa Arab merupakan satu-satunya kata benda (isim atau noun) yang tak punya jama'. Sedangkan kata ilahun punya "ilaahaini" (dua ilah) dan "alihatun" (tiga atau lebih ilah).
Maka ucapan "Laa ilaaha illa Allah" yang berarti "Tiada tuhan kecuali Allah" merupakan deklarasi kemerdekaan yang paling tinggi (The ultimate declaration of independence), tapi masih mungkin dicapai oleh setiap manusia.
Deklarasi inilah yang membebaskan setiap manusia, yang mampu menghayatinya dengan istiqamah (consistent), dari segala macam bentuk perbudakan dan penjajahan, termasuk penjajahan hawa nafsunya sendiri.
Manusia yang menghayati deklarasi ini dengan istiqamah adalah manusia yang paling sempurna nilai kemanusiaannya. Dalam istilah Islam manusia seperti ini dinamai "insan kamil" atau insan sempurna.
Seorang yang telah mampu mencapai tingkat tauhid yang istiqamah, maka seluruh irama hidupnya diatur oleh kehendak Allah SWT. Rasa lapar baginya merupakan cara Allah berkomunikasi dengan dia. Rasa lapar, yang tiada lain dari pada salah satu instinct, di dalam al-Qur'an dipakai istilah "wahyu", walaupun mestinya tidak sama dengan tingkat wahyu yang diterima para nabi dan rasul, Lihat (Q. 16:68).
Di dalam pengalamannya manusia merasa terikat akan tuhan-tuhan ini sebelum tuhan-tuhan ini diperolehnya. Misalnya, orang yang bersedia bekerja keras belajar sampai kurang tidur, bahkan terlupa makan sebelum menempuh ujian untuk mendapatkan ijazah tertentu.
Pada saat itu ijazah inilah yang menjadi tuhannya, karena ijazah ini telah mengatur irama hidupnya. Namun setelah ijazah berada di tangan, maka kepentingannya dan nilainya segera jatuh menjadi hampir nol.
Dari contoh ini ternyata bahwa ketuhanan ijazah ini sangat relatif. Ia mencapai nilainya yang tertinggi pada saat menjelang ia akan diperoleh.
Sesudah diperoleh, maka nilainya jatuh menjadi hampir kosong. Contoh-contoh lain bisa terlihat dengan mudah di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika ia sudah mendapat ijazah yang dipentingkannya sebelumnya, maka ia mulai memikirkan bagaimana mendapatkan teman hidup atau isteri.
Maka jika ia menemukan seorang gadis yang diingininya, maka ia mulai mencintai dan merindukan gadis itu. Ke mana pun ia pergi dan dalam keadaan bagaimanapun ia tetap mengenang gadis kekasihnya ini.
Maka gadis inipun mulai mempengaruhi, bahkan kadang kala turut mengatur irama hidupnya. Dengan lain perkataan, gadis ini berubah menjadi tuhannya.
Tingat ketuhanan gadis ini pun meningkat menjelang hari perkawinan mereka sampai kira-kira beberapa hari atau beberapa minggu setelah perkawinan itu terjadi. Sesudah itu nilai "ketuhanan" wanita ini biasanya akan menurun juga. Banyak pula pasangan suami isteri telah mulai bertengkar sebelum bulan madu mereka selesai dijalani, bahkan sampai bercerai.
Manusia memang selalu berpindah dari tuhan yang satu ke tuhan yang lain. Ketika manusia sedang lapar, maka makananlah yang mudah menjadi tuhan. Ketika sakit orang akan mempertuhankan kesehatan, walaupun ketika ia sedang sehat hampir tidak pernah menghargai kesehatan yang sedang dialaminya.
Walaupun demikian, manusia tidak mungkin mengatakan: "tidak ada tuhan", karena mengatakan: "tidak ada tuhan", samalah dengan mengatakan "tidak ada kebenaran".
Sedangkan mengatakan "tidak ada kebenaran" sama dengan mengatakan "semuanya salah". Kalau semuanya salah, maka kalimat "semuanya salah" itu pun salah pula. Jadi, kalimat "tidak ada tuhan" itu menafikkan dirinya sendiri.
Dari rangkaian logika ini terbukti bahwa kita tak mungkin mengatakan "tidak ada tuhan", walaupun di dalam kenyataannya, sebagaimana diuraikan dalam alinea di atas, bahwa tuhan-tuhan yang dipentingkan manusia itu sangat relatif nilainya, dan sangat tergantung kepada posisi manusia yang bersangkutan terhadapnya. Itulah kiranya alasan mengapa al-Qur'an tidak punya istilah yang artinya identik (sama benar) dengan "atheist" atau "atheisme" (paham yang menafikkan adanya tuhan).
Kalimat "tidak ada tuhan" ini tidak mungkin berdiri sendiri. Kalimat itu tidak logis atau tidak dapat diterima akal atau nonsense alias tidak bermakna.
Kalimat itu hanya bisa bermakna jika ia tidak diakhiri dengan titik. Jika kalimat "tidak ada tuhan" ini diakhiri dengan koma dan ditambah menjadi "tidak ada tuhan, kecuali X", maka X menjadi satu-satunya Tuhan yang berbeda sifat dan posisinya terhadap tuhan-tuhan lainnya. Ia mau tak mau mestilah mutlak, tidak lagi relatif seperti tuhan-tuhan yang lain itu.
Karena mutlak, maka Ia mestilah unique. Kalau Ia unique, maka mestilah pula Ia berbeda dengan segala yang mungkin terpikirkan dan terbayangkan oleh manusia, walau apapun yang dinamakan X ini.
Di dalam ajaran Islam X inilah yang dinamakan Allah. Perkataan Allah di dalam bahasa 'Arab sudah ada sebelum lahirnya Muhammad SAW . Allah dalam bahasa Arab merupakan satu-satunya kata benda (isim atau noun) yang tak punya jama'. Sedangkan kata ilahun punya "ilaahaini" (dua ilah) dan "alihatun" (tiga atau lebih ilah).
Maka ucapan "Laa ilaaha illa Allah" yang berarti "Tiada tuhan kecuali Allah" merupakan deklarasi kemerdekaan yang paling tinggi (The ultimate declaration of independence), tapi masih mungkin dicapai oleh setiap manusia.
Deklarasi inilah yang membebaskan setiap manusia, yang mampu menghayatinya dengan istiqamah (consistent), dari segala macam bentuk perbudakan dan penjajahan, termasuk penjajahan hawa nafsunya sendiri.
Manusia yang menghayati deklarasi ini dengan istiqamah adalah manusia yang paling sempurna nilai kemanusiaannya. Dalam istilah Islam manusia seperti ini dinamai "insan kamil" atau insan sempurna.
Seorang yang telah mampu mencapai tingkat tauhid yang istiqamah, maka seluruh irama hidupnya diatur oleh kehendak Allah SWT. Rasa lapar baginya merupakan cara Allah berkomunikasi dengan dia. Rasa lapar, yang tiada lain dari pada salah satu instinct, di dalam al-Qur'an dipakai istilah "wahyu", walaupun mestinya tidak sama dengan tingkat wahyu yang diterima para nabi dan rasul, Lihat (Q. 16:68).