Konsep Haji Syari’ah dan Thariqah Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Selasa, 23 Februari 2021 - 22:05 WIB
Di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara di dalam kerang, hanya ulama-ulama khusus yang mengetahuinya. Jika mereka membicarakannya tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak tahu.”
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.
Seolah-olah dia berada di rumah, sebuah perilaku untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji.
Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat setiap hari, tetapi hati dan pikirannya bercabang ke mana-mana.
Oleh karena itu, sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya sebatas anggota-anggota badannya saja yang tampak mengerjakan amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat Allah dan menghayati amalan haji itu sendiri.
Haji yang semacam ini merupakan haji yang tidak sempurna, haji yang penuh dengan cacat. Atau bisa disebut sebagai haji yang tidak mabrur.
Sepatutnya seorang yang akan melaksanakan haji hatinya harus khusyu’ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji.
Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini. Banyak orang yang melakukan ibadah haji tetapi yang diterima ibadah hajinya dapat dihitung dengan jari, yang lain tidak mendapat apa-apa kecuali kelelahan.
Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah hamba Allah yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun.
Dia melihat padang Arafah sebagai Mahsyar, tempat ia akan berkumpul dangan seluruh manusia kelak di hari kiamat dan menunggu hari pembalasan dari Allah.
Betapa hatinya harus mengingat apabila ia berada benar-benar di tempat semacam itu.
Orang yang berhaji sesuai dengan konsep hajinya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî akan memiliki psikologis yang baik. Orang yang berhaji thariqah qalbunya akan selalu ingat kepada Allah karena di setiap gerakan ritual ibadah haji selalu disertai dengan dzikir.
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.
Seolah-olah dia berada di rumah, sebuah perilaku untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji.
Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat setiap hari, tetapi hati dan pikirannya bercabang ke mana-mana.
Oleh karena itu, sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya sebatas anggota-anggota badannya saja yang tampak mengerjakan amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat Allah dan menghayati amalan haji itu sendiri.
Haji yang semacam ini merupakan haji yang tidak sempurna, haji yang penuh dengan cacat. Atau bisa disebut sebagai haji yang tidak mabrur.
Sepatutnya seorang yang akan melaksanakan haji hatinya harus khusyu’ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji.
Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini. Banyak orang yang melakukan ibadah haji tetapi yang diterima ibadah hajinya dapat dihitung dengan jari, yang lain tidak mendapat apa-apa kecuali kelelahan.
Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah hamba Allah yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun.
Dia melihat padang Arafah sebagai Mahsyar, tempat ia akan berkumpul dangan seluruh manusia kelak di hari kiamat dan menunggu hari pembalasan dari Allah.
Betapa hatinya harus mengingat apabila ia berada benar-benar di tempat semacam itu.
Orang yang berhaji sesuai dengan konsep hajinya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî akan memiliki psikologis yang baik. Orang yang berhaji thariqah qalbunya akan selalu ingat kepada Allah karena di setiap gerakan ritual ibadah haji selalu disertai dengan dzikir.
(mhy)
Lihat Juga :