Konsep Haji Syari’ah dan Thariqah Menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani
Selasa, 23 Februari 2021 - 22:05 WIB
KONSEP haji menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani bisa disimak dalam kitab Sir al-Asrâr. Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani menjelaskan bahwa haji itu ada dua, yaitu haji syari’ah dan haji thariqah (tasawuf).
“Haji syari’ah ialah melakukan ibadah haji ke Baitullah dengan melaksanakan syarat-syarat dan rukunnya, sehingga menghasilkan pahala haji. Bila ada yang kurang dari syaratnya, maka kurang pula pahala hajinya karena Allah memerintahkan kita untuk menjalankan haji yang sempurna," ujar Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani terkait konsep Haji Syari’ah.
Lebih lanjut beliau menjelaskan tata cara haji syari’ah yaitu sebagai berikut.
Pertama adalah ihram, kemudian memasuki kota Makkah , lalu tawaf Qudum, wukuf di arafah, menginap di muzdalifah, menyembelih hewan kurban di Mina, masuk ke tanah haram, tawaf keliling ka’bah tujuh kali, minum air zam zam, shalat sunnah tawaf di maqam Ibrahim, kemudian melakukan tahallul dari pekerjaan yang dilarang di waktu ihram seperti berburu dan lain-lain.
Selanjutnya melakukan tawaf wada’ dan kembali ke negerinya masing-masing.
Konsep Haji Thariqah
Sedangkan konsep Haji Thariqah, menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, harus mengambilkan bekal terlebih dahulu, yaitu mengambil talqin (pembelajaran) zikir kepada ahli talqin, dalam hal ini yang dimaksud adalah mursyid.
Lalu senantiasa memulazamahkan kalimat La Ilaha Illah dengan lisan hingga qalbunya hidup.
Beliau menjelaskan bahwa sebelum mengenakan pakaian ihram, terlebih dahulu kita harus membersihkan diri fisik dan rohani kita.
Perlu diketahui bahwa di dalam amalan zikir tarekat Qadiriyyah ada yang namanya zikir La Ilaha Illallah yang melahirkan dua belas nama Allah.
Setiap nama tercantum pada setiap huruf yang menyusun kalimat La Ilaha Illallah.
Allah akan memberikan nama kepada setiap huruf dalam proses kemaujan hati seseorang itu. Dua belas nama tersebut adalah yang pertama yaitu La Ilaha Illallah yang artinya Tiada Tuhan Selain Allah.
Lalu berikutnya adalah nama zat Allah. Lalu dhamir Huwa yang merujuk kepada Allah. Setelah itu ada al Haqqu yang artinya Yang Maha Hidup. Kemudian Al Qayyumu yang artinya Yang Berdiri sendiri, kepada-Nya segala sesuatu bergantung.
Kemudian Al Qahhar yang artinya Yang Maha Berkuasa dan perkasa. Kemudian Al Wahhab yang artinya Yang Maha Pemberi. Kemudian Al Fattah yang artinya Yang Maha Pembuka. Kemudian Al Wahid yang artinya Yang Satu.
Kemudian Al Ahad yang artinya Yang Maha Esa. Lalu yang terakhir adalah Al Shamad yang artinya Sumber, puncak segala sesuatu.
Keduabelas nama tersebut terbagi menjadi empat tingkatan secara berurutan dan setiap tingkatan berisi masing masing tiga nama.
Menurut Syaikh Abdul Qâdir, sebelum berangkat haji seseorang harus membersihkan qalbunya terlebih dahulu dengan cara mengambil talqin zikir dari seorang mursyid.
Agar ketika nanti melaksanakan ibadah haji, qalbunya akan selalu hidup dan senantiasa mengingat Allah SWT. Ketika qalbu terus mengingat Allah, maka nanti kan muncul ka’bah sirri di dalam qalbu.
Lalu Syaikh Abdul Qâdir menjelaskan, setelah badan dan hati kita sudah bersih, kemudian memakai pakaian ihram dari cahaya Al Qudsi kemudian masuk ke ka’bah sirri. Lalu tawaf qudum dengan me-mulazamah-kan nama yang kedua, yaitu lafadz jalalah “Allah”
Selanjutnya berangkat ke arafah kalbu sebagai tempat munajat. Di sana lantas wukuf denga me-mulazamah-kan nama yang ketiga, yaitu “Huwa” (Dia, Allah), dan nama yang keempat yaitu “ Al Haqqu” (Yang Maha Benar).
Selanjutnya berangkat ke muzdalifah al fu’ad dengan me-mulazamahkan nama kelima dan keenam yaitu” al Hayyu dan al Qayyumu” (yang maha hidup dan yang maha ada dengan sendirinya). Lalu berangkat ke Mina sirri yang terletak di antara dua haram (dua daerah) dan menginap di sana.
“Selanjutnya menyembelih nafsu muthma’innah dengan me-mulazamahkan nama yang ketujuh yaitu “Al Qahhar” (Yang Maha Memaksa), karena “Al Qahhar” adalah ismul fana (nama peleburan) yang mengangkat hijabul kufri (penghalang yang bernama kekufuran). Sebagaimna Sabda Nabi SAW:
“Kufur dan iman adalah dua tempat di belakang Arsy. Keduanya merupakan penghalang antara hamba dengan Tuhannya. Salah satunya hitam dan salah satunya putih”.
Selanjutnya memotong rambut sifat basyariyah (kesenangan manusiawi) dari kepala Ruh Al Qudsi dengan menggunakan nama Allah yang kedelapan yaitu “Al Wahhab” (Yang Maha Pemberi Karunia).
Selanjutnya masuk ke Haram sirri dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesembilan yaitu “Al Fattah” (Yang Maha Pembuka) hingga sampailah pada tempat di mana ia bisa melihat orang-orang yang sedang beri’tikaf di hamparan alam Qurbah. Dan di sana ia bermesraan (unsiyah) dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesepuluh “Al Wahid” (Yang Maha Esa).
Lalu ia melihat keindahan Allah yang Maha Suci dan Maha Agung tanpa bisa ditanyakan kondisinya bagaimana dan tidak dapat pula diumpamakan.
Selanjutnya melakukan tawaf batin tujuh putaran dengan memulazamah-kan nama yang kesebelas yaitu “Al Ahad”.
Nama yang kesebelas ini disertai dengan enam nama-nama cabang dan selanjutnya meminum minuman batin dari tangan Al-Qudrah. Allah berfirman “Tuhan memberi kepada mereka minuman yang bersih” (QS Al-Insan: 21).
Allah memberi minum dari gelas AsmaNya yang kedua belas “al Shamad”. Kemudian orang itu akan diangkat Dzat yang maha kekal dan maha suci dari perumpamaan: hingga ia melihat kepada Allah dengan nur-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam hadis qudsi: “Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, yakni pertemuan dengan Allah, tidak dapat didengar oleh telinga, yakni Kalamullah yang tanpa huruf, tanpa suara, tanpa perantara, dan tidak terbesit dalam qalbu manusia, yaitu nikmatnya rasa melihat dan berkenalan dengan Allah SWT”.
Selanjutnya bertahallul dari yang diharamkan Allah SWT. Artinya, menukar sifat yang baik denga selalu mengulang-ulang Asma Tauhid. Sebagaimana firman Allah, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan” (QS Al-Furqan: 70).
Lalu melepaskan diri dari melakukan perbuatan yang bersifat hawa nafsu. Setelah itu seseorang tidak akan merasa khawatir dan bersedih hati.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”(Q.S. Yunus: 62).”
“Selanjutnya melaksanakan thawaf shadri dengan mengulang-ulang seluruh asma Tauhid. Lalu pulang ke negeri asal masing-masing, yang ada di dalam Al-Qudsi dalam rupa yang sebaik-baiknya dengan memulazamahkan asma Allah yang keduabelas. Nama keduabelas ini sangat berkaitan dengan alam Al-Yaqin.”
Demikianlah konsep ibadah haji secara thariqah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani. Dan penjelasan di atas hanya sekadar penjelasan yang dapat diterima akal saja.
Sebenarnya masih banyak penjelasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan jika kita ingin mengetahuinya harus dengan mengamalkannya. Seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir:
“Ini adalah takwil yang beredar di sekitar lisan dan akal saja. Adapun hal-hal lain yang ada di balik itu tidak akan dapat diberikan karena tidak akan terkejar oleh pemahaman qalbu dan tidak akan dapat dibahas".
Di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara di dalam kerang, hanya ulama-ulama khusus yang mengetahuinya. Jika mereka membicarakannya tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak tahu.”
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.
Seolah-olah dia berada di rumah, sebuah perilaku untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji.
Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat setiap hari, tetapi hati dan pikirannya bercabang ke mana-mana.
Oleh karena itu, sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya sebatas anggota-anggota badannya saja yang tampak mengerjakan amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat Allah dan menghayati amalan haji itu sendiri.
Haji yang semacam ini merupakan haji yang tidak sempurna, haji yang penuh dengan cacat. Atau bisa disebut sebagai haji yang tidak mabrur.
Sepatutnya seorang yang akan melaksanakan haji hatinya harus khusyu’ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji.
Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini. Banyak orang yang melakukan ibadah haji tetapi yang diterima ibadah hajinya dapat dihitung dengan jari, yang lain tidak mendapat apa-apa kecuali kelelahan.
Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah hamba Allah yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun.
Dia melihat padang Arafah sebagai Mahsyar, tempat ia akan berkumpul dangan seluruh manusia kelak di hari kiamat dan menunggu hari pembalasan dari Allah.
Betapa hatinya harus mengingat apabila ia berada benar-benar di tempat semacam itu.
Orang yang berhaji sesuai dengan konsep hajinya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî akan memiliki psikologis yang baik. Orang yang berhaji thariqah qalbunya akan selalu ingat kepada Allah karena di setiap gerakan ritual ibadah haji selalu disertai dengan dzikir.
“Haji syari’ah ialah melakukan ibadah haji ke Baitullah dengan melaksanakan syarat-syarat dan rukunnya, sehingga menghasilkan pahala haji. Bila ada yang kurang dari syaratnya, maka kurang pula pahala hajinya karena Allah memerintahkan kita untuk menjalankan haji yang sempurna," ujar Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani terkait konsep Haji Syari’ah.
Lebih lanjut beliau menjelaskan tata cara haji syari’ah yaitu sebagai berikut.
Pertama adalah ihram, kemudian memasuki kota Makkah , lalu tawaf Qudum, wukuf di arafah, menginap di muzdalifah, menyembelih hewan kurban di Mina, masuk ke tanah haram, tawaf keliling ka’bah tujuh kali, minum air zam zam, shalat sunnah tawaf di maqam Ibrahim, kemudian melakukan tahallul dari pekerjaan yang dilarang di waktu ihram seperti berburu dan lain-lain.
Selanjutnya melakukan tawaf wada’ dan kembali ke negerinya masing-masing.
Konsep Haji Thariqah
Sedangkan konsep Haji Thariqah, menurut Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, harus mengambilkan bekal terlebih dahulu, yaitu mengambil talqin (pembelajaran) zikir kepada ahli talqin, dalam hal ini yang dimaksud adalah mursyid.
Lalu senantiasa memulazamahkan kalimat La Ilaha Illah dengan lisan hingga qalbunya hidup.
Beliau menjelaskan bahwa sebelum mengenakan pakaian ihram, terlebih dahulu kita harus membersihkan diri fisik dan rohani kita.
Perlu diketahui bahwa di dalam amalan zikir tarekat Qadiriyyah ada yang namanya zikir La Ilaha Illallah yang melahirkan dua belas nama Allah.
Setiap nama tercantum pada setiap huruf yang menyusun kalimat La Ilaha Illallah.
Allah akan memberikan nama kepada setiap huruf dalam proses kemaujan hati seseorang itu. Dua belas nama tersebut adalah yang pertama yaitu La Ilaha Illallah yang artinya Tiada Tuhan Selain Allah.
Lalu berikutnya adalah nama zat Allah. Lalu dhamir Huwa yang merujuk kepada Allah. Setelah itu ada al Haqqu yang artinya Yang Maha Hidup. Kemudian Al Qayyumu yang artinya Yang Berdiri sendiri, kepada-Nya segala sesuatu bergantung.
Kemudian Al Qahhar yang artinya Yang Maha Berkuasa dan perkasa. Kemudian Al Wahhab yang artinya Yang Maha Pemberi. Kemudian Al Fattah yang artinya Yang Maha Pembuka. Kemudian Al Wahid yang artinya Yang Satu.
Kemudian Al Ahad yang artinya Yang Maha Esa. Lalu yang terakhir adalah Al Shamad yang artinya Sumber, puncak segala sesuatu.
Keduabelas nama tersebut terbagi menjadi empat tingkatan secara berurutan dan setiap tingkatan berisi masing masing tiga nama.
Menurut Syaikh Abdul Qâdir, sebelum berangkat haji seseorang harus membersihkan qalbunya terlebih dahulu dengan cara mengambil talqin zikir dari seorang mursyid.
Agar ketika nanti melaksanakan ibadah haji, qalbunya akan selalu hidup dan senantiasa mengingat Allah SWT. Ketika qalbu terus mengingat Allah, maka nanti kan muncul ka’bah sirri di dalam qalbu.
Lalu Syaikh Abdul Qâdir menjelaskan, setelah badan dan hati kita sudah bersih, kemudian memakai pakaian ihram dari cahaya Al Qudsi kemudian masuk ke ka’bah sirri. Lalu tawaf qudum dengan me-mulazamah-kan nama yang kedua, yaitu lafadz jalalah “Allah”
Selanjutnya berangkat ke arafah kalbu sebagai tempat munajat. Di sana lantas wukuf denga me-mulazamah-kan nama yang ketiga, yaitu “Huwa” (Dia, Allah), dan nama yang keempat yaitu “ Al Haqqu” (Yang Maha Benar).
Selanjutnya berangkat ke muzdalifah al fu’ad dengan me-mulazamahkan nama kelima dan keenam yaitu” al Hayyu dan al Qayyumu” (yang maha hidup dan yang maha ada dengan sendirinya). Lalu berangkat ke Mina sirri yang terletak di antara dua haram (dua daerah) dan menginap di sana.
“Selanjutnya menyembelih nafsu muthma’innah dengan me-mulazamahkan nama yang ketujuh yaitu “Al Qahhar” (Yang Maha Memaksa), karena “Al Qahhar” adalah ismul fana (nama peleburan) yang mengangkat hijabul kufri (penghalang yang bernama kekufuran). Sebagaimna Sabda Nabi SAW:
“Kufur dan iman adalah dua tempat di belakang Arsy. Keduanya merupakan penghalang antara hamba dengan Tuhannya. Salah satunya hitam dan salah satunya putih”.
Selanjutnya memotong rambut sifat basyariyah (kesenangan manusiawi) dari kepala Ruh Al Qudsi dengan menggunakan nama Allah yang kedelapan yaitu “Al Wahhab” (Yang Maha Pemberi Karunia).
Selanjutnya masuk ke Haram sirri dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesembilan yaitu “Al Fattah” (Yang Maha Pembuka) hingga sampailah pada tempat di mana ia bisa melihat orang-orang yang sedang beri’tikaf di hamparan alam Qurbah. Dan di sana ia bermesraan (unsiyah) dengan me-mulazamah-kan nama Allah yang kesepuluh “Al Wahid” (Yang Maha Esa).
Lalu ia melihat keindahan Allah yang Maha Suci dan Maha Agung tanpa bisa ditanyakan kondisinya bagaimana dan tidak dapat pula diumpamakan.
Selanjutnya melakukan tawaf batin tujuh putaran dengan memulazamah-kan nama yang kesebelas yaitu “Al Ahad”.
Nama yang kesebelas ini disertai dengan enam nama-nama cabang dan selanjutnya meminum minuman batin dari tangan Al-Qudrah. Allah berfirman “Tuhan memberi kepada mereka minuman yang bersih” (QS Al-Insan: 21).
Allah memberi minum dari gelas AsmaNya yang kedua belas “al Shamad”. Kemudian orang itu akan diangkat Dzat yang maha kekal dan maha suci dari perumpamaan: hingga ia melihat kepada Allah dengan nur-Nya.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dalam hadis qudsi: “Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan mata, yakni pertemuan dengan Allah, tidak dapat didengar oleh telinga, yakni Kalamullah yang tanpa huruf, tanpa suara, tanpa perantara, dan tidak terbesit dalam qalbu manusia, yaitu nikmatnya rasa melihat dan berkenalan dengan Allah SWT”.
Selanjutnya bertahallul dari yang diharamkan Allah SWT. Artinya, menukar sifat yang baik denga selalu mengulang-ulang Asma Tauhid. Sebagaimana firman Allah, “Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan kebajikan maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan” (QS Al-Furqan: 70).
Lalu melepaskan diri dari melakukan perbuatan yang bersifat hawa nafsu. Setelah itu seseorang tidak akan merasa khawatir dan bersedih hati.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah, “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”(Q.S. Yunus: 62).”
“Selanjutnya melaksanakan thawaf shadri dengan mengulang-ulang seluruh asma Tauhid. Lalu pulang ke negeri asal masing-masing, yang ada di dalam Al-Qudsi dalam rupa yang sebaik-baiknya dengan memulazamahkan asma Allah yang keduabelas. Nama keduabelas ini sangat berkaitan dengan alam Al-Yaqin.”
Demikianlah konsep ibadah haji secara thariqah menurut Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlani. Dan penjelasan di atas hanya sekadar penjelasan yang dapat diterima akal saja.
Sebenarnya masih banyak penjelasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan jika kita ingin mengetahuinya harus dengan mengamalkannya. Seperti perkataan Syaikh Abdul Qâdir:
“Ini adalah takwil yang beredar di sekitar lisan dan akal saja. Adapun hal-hal lain yang ada di balik itu tidak akan dapat diberikan karena tidak akan terkejar oleh pemahaman qalbu dan tidak akan dapat dibahas".
Di antara ilmu itu ada yang seperti mutiara di dalam kerang, hanya ulama-ulama khusus yang mengetahuinya. Jika mereka membicarakannya tidak akan mengingkarinya kecuali orang yang tidak tahu.”
Orang awam menunaikan ibadah haji dengan badannya. Karena itu, ketika mengerjakan amalan-amalan haji, dia selalu teringat untuk memuaskan tuntutan badannya seperti makan, minum, dan pakaian.
Seolah-olah dia berada di rumah, sebuah perilaku untuk memuaskan hawa nafsunya. Selain itu ada pula orang yang menjalankan ibadah haji seakan-akan hendak berwisata, bersenang-senang melihat negeri orang, mencari kekurangan negeri itu sebagai oleh-oleh yang akan diceritakannya kepada banyak orang di negerinya setelah ia kembali dari perjalanan haji.
Kedua manusia ini tidak jauh berbeda dengan orang yang mengerjakan shalat setiap hari, tetapi hati dan pikirannya bercabang ke mana-mana.
Oleh karena itu, sering kita melihat orang yang mengerjakan amalan haji, hanya sebatas anggota-anggota badannya saja yang tampak mengerjakan amalan haji, namun hatinya jauh dari mengingat Allah dan menghayati amalan haji itu sendiri.
Haji yang semacam ini merupakan haji yang tidak sempurna, haji yang penuh dengan cacat. Atau bisa disebut sebagai haji yang tidak mabrur.
Sepatutnya seorang yang akan melaksanakan haji hatinya harus khusyu’ dan penuh dengan kekhawatiran bahwa hajinya akan tertolak karena suatu kesalahan atau kekurangan yang diperbuatnya ketika berhaji.
Bila hajinya tertolak, maka sia-sialah jerih payahnya selama ini. Banyak orang yang melakukan ibadah haji tetapi yang diterima ibadah hajinya dapat dihitung dengan jari, yang lain tidak mendapat apa-apa kecuali kelelahan.
Amalan haji yang sempurna mestinya tidak luput dari ingatan bahwa kita adalah hamba Allah yang kini datang kepada-Nya dengan sehelai kain tanpa jahitan sedikitpun.
Dia melihat padang Arafah sebagai Mahsyar, tempat ia akan berkumpul dangan seluruh manusia kelak di hari kiamat dan menunggu hari pembalasan dari Allah.
Betapa hatinya harus mengingat apabila ia berada benar-benar di tempat semacam itu.
Orang yang berhaji sesuai dengan konsep hajinya Syaikh Abdul Qâdir al-Jîlânî akan memiliki psikologis yang baik. Orang yang berhaji thariqah qalbunya akan selalu ingat kepada Allah karena di setiap gerakan ritual ibadah haji selalu disertai dengan dzikir.
(mhy)
Lihat Juga :