Orang Mati Disiksa karena Tangisan Orang yang Hidup
Rabu, 03 Maret 2021 - 07:31 WIB
Beberapa golongan dari ulama salaf dan khalaf mengingkari hal itu dan meyakini bahwa itu termasuk mengazab manusia karena dosa orang lain. Itu bertentangan dengan ayat, “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain “ Pendapat mereka tentang hadis-hadis sahih itu bermacam-macam.
Ada yang menyalahkan perawi hadis seperti Umar bin Khattab dan lainnya. Ini pendapat Aisyah, Syafii, dan lain-lain. Ada lagi yang menakwil dengan pengertian jika si mati berwasiat mengenai hal itu Jadi, ia diazab karena telah mewasiatkannya. Ini pendapat Muzani dan lain-lain. Sebagian yang lain menafsirkan dengan pengertian jika menjadi ada kebiasaan mereka. Jadi, ia diazab karena meninggalkan nahi munkar. Ini pendapat Abu al-Barakat. Semua pendapat ini lemah sekali.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa menolak pendapat-pendapat yang menakwilkan hadis itu.
Hadis-hadis sahih yang jelas dan diriwayatkan oleh perawi seperti Umar ibn Khattab, Abdullah bin Umar, Abu Musa Al-Asyari dan lain-lain itu idak dapat ditolak dengan cara seperti ini. Aisyah memiliki pandangan yang menolak hadis di atas dengan sedikit takwil dan ijtihad karena menilai makna hadis tersebut keliru. Sebenarnya tidak demikian. Barangsiapa merenungkan hal ini, ia akan menemukan bahwa hadis sahih yang jelas dan diriwayatkan para perawi terpercaya ini tidak dapat ditolak oleh siapa pun kecuali bila ia keliru.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Aisyah terjebak dalam sesuatu yang semestinya harus dijauhinya. Ia berkata, "Aisyah meriwayatkan dari Nabi SAW dua redaksi hadis. Yang pertama, "Sesungguhnya Allah akan menambah azab terhadap orang kafir karena keluarganya menangisinya.' Ini sesuai dengan hadis Umar. Jika boleh menambah azabnya karena tangisan keluarganya, maka boleh juga mengazabnya—dari yang tadinya tidak diazab—karena tangisan keluarganya. Karena itu, Imam Syafii dalam Mukhtalaf a-Hadits menolak hadis ini karena kerancuan maknanya. Menurutnya, yang lebih dapat diterima adalah riwayat Aisyah lainnya, “Sungguh mereka menangisinya, dan sungguh ia diazab di dalam kuburnya.”
Ibn Taimiyah juga membantah pendapat yang menduga bahwa hadis di atas mengandung pengertian bahwa manusia diazab oleh dosa orang lain. Beliau berkata:
Sebagian orang memahami hadis ini dengan mengira bahwa ini termasuk menyiksa manusia karena dosa orang lain, dan sesungguhnya Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa yang diinginkan-Nya. Mereka meyakini bahwa manusia dapat disiksa karena dosa orang lain, sehingga mereka berpendapat bahwa anak-anak orang kafir dapat masuk neraka karena dosa bapak-bapak mereka.
Ia menjelaskan panjang lebar masalah ini, yaitu masalah anak-anak orang kafir masuk neraka karena dosa orang tua mereka. Menurut beliau, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa Allah tidak mengazab kecuali orang yang mendurhakai-Nya dan bahwa orang-orang yang tidak mengalami bencana akan diuji di padang-padang kiamat. Setelah itu, ia mengatakan:
Mengenai penyiksaan orang mati, Nabi SAW tidak mengatakan bahwa orang mati disiksa (dengan kata 'iqab) karena keluarganya menangisinya, tetapi beliau mengatakan diazab (dengan kata adzab). Kata 'adzab lebih umum daripada 'iqab. Azab itu adalah sakit, dan tidak semua orang yang sakit karena suatu sebab berarti mendapat siksa (iqab). Nabi SAW bersabda, “Bepergian itu sebagian dari azab, sebab kalian terhalang dari makanan dan minuman.” Jadi, bepergian (safar) dinamakan 'adzab, bukan 'iqab.
Manusia diazab (merasa sakit) karena hal-hal yang dibenci yang ia rasakan, seperti suara-suara yang menakutkan, roh-roh jahat, dan bentuk-bentuk atau gambar-gambar yang jelek. Ia merasa sakit karena mendengar ini, mencium anu, melihat itu, padahal itu bukan pekerjaannya yang menyebabkannya pantas disiksa ('iqab). Lalu, apa alasan untuk menolak bahwa mayit merasa sakit (diazab) karena ratapan, meskipun ratapan itu bukan amalnya yang menyebabkannya pantas disiksa (terkena 'iqab)?
Di dalam kubur, manusia diazab karena ucapan sebagian manusia, clan merasa sakit karena melihat atau mendengar ucapan mereka. Karena itu, al-Qadhi Abu Ya'la berfatwa bahwa jika di dekat mereka dikerjakan maksiat, mereka akan merasakan sakit, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis. Jadi, mereka diazab karena perbuatan maksiat yang dilakukan di dekat kubur mereka, seperti halnya mereka diazab karena ratapan orang-orang atas kematian mereka, Jadi, ratapan adalah sebab azab.
Pemahaman semacam inilah yang diambil oleh Ibn Taimiyah. Pemahaman ini didukung oleh beberapa hadis. An-Nu'man ibn Basyir berkata, “Abdullah Ibn Rawahah pingsan. Istrinya, “Amiah, menangisinya, “Aduh suamiku! berulang-ulang. Lalu Abdullah berkata setelah ia sadar, “Aku dengar apa yang kau ucapkan tadi. Kenapa engkau berbuat seperti itu? Karena itu, tatkala Abdullah wafat, istrinya tidak menangisi kepergiannya.
Makna yang lebih jelas terdapat dalam hadis dari Abu Musa alAsy'ari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila seseorang mati, lalu orang menangisi kepergiannya dan berkata, “Aduh, aku ditinggal! Wahai Tuanku!' atau perkataan semacam itu, maka dua malaikat menyertainya dan memukulnya, "Apakah dulu kamu juga begitu!?” (HR Tirmidzi dan ia berkata, “Ini hadis hasan gharib) Al-Hafizh berkata setelah menutukan hadis ini dalam al-Talkhis, “Hadis ini diriwayatkan dan disahihkan oleh Hakim serta dikuatkan oleh hadis sahih dari an-Nu'man ibn Basyir.”
Perlu ditekankan pula di sini bahwa tidak semua orang mati diazab karena ratapan. Karena, terkadang penyebabnya tertolak oleh hal yang bertentangan dengannya—sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah—seperti terjadi pada sebagian manusia yang karena kekuatannya dapat menolak bahaya dari suara-suara menakutkan, roh dan bentuk-bentuk yang buruk.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa dalam hadis-hadis ancaman itu disebutkan sebabnya, dan terkadang sebab itu terkalahkan oleh penghalang-penghalang yang menolaknya, seperti tobat yang diterima, kebaikan yang dapat menghapus dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa, syafaat orang-orang yang dapat memberikan syafaat dan atau karena karunia, rahmat, dan ampunan Allah.
Terakhir, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa azab yang menimpa orang mati yang mukmin di dalam kubur karena ia diratapi, oleh Allah akan dijadikan penghapus dosa orang itu.
Ada yang menyalahkan perawi hadis seperti Umar bin Khattab dan lainnya. Ini pendapat Aisyah, Syafii, dan lain-lain. Ada lagi yang menakwil dengan pengertian jika si mati berwasiat mengenai hal itu Jadi, ia diazab karena telah mewasiatkannya. Ini pendapat Muzani dan lain-lain. Sebagian yang lain menafsirkan dengan pengertian jika menjadi ada kebiasaan mereka. Jadi, ia diazab karena meninggalkan nahi munkar. Ini pendapat Abu al-Barakat. Semua pendapat ini lemah sekali.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fatawa menolak pendapat-pendapat yang menakwilkan hadis itu.
Hadis-hadis sahih yang jelas dan diriwayatkan oleh perawi seperti Umar ibn Khattab, Abdullah bin Umar, Abu Musa Al-Asyari dan lain-lain itu idak dapat ditolak dengan cara seperti ini. Aisyah memiliki pandangan yang menolak hadis di atas dengan sedikit takwil dan ijtihad karena menilai makna hadis tersebut keliru. Sebenarnya tidak demikian. Barangsiapa merenungkan hal ini, ia akan menemukan bahwa hadis sahih yang jelas dan diriwayatkan para perawi terpercaya ini tidak dapat ditolak oleh siapa pun kecuali bila ia keliru.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Aisyah terjebak dalam sesuatu yang semestinya harus dijauhinya. Ia berkata, "Aisyah meriwayatkan dari Nabi SAW dua redaksi hadis. Yang pertama, "Sesungguhnya Allah akan menambah azab terhadap orang kafir karena keluarganya menangisinya.' Ini sesuai dengan hadis Umar. Jika boleh menambah azabnya karena tangisan keluarganya, maka boleh juga mengazabnya—dari yang tadinya tidak diazab—karena tangisan keluarganya. Karena itu, Imam Syafii dalam Mukhtalaf a-Hadits menolak hadis ini karena kerancuan maknanya. Menurutnya, yang lebih dapat diterima adalah riwayat Aisyah lainnya, “Sungguh mereka menangisinya, dan sungguh ia diazab di dalam kuburnya.”
Ibn Taimiyah juga membantah pendapat yang menduga bahwa hadis di atas mengandung pengertian bahwa manusia diazab oleh dosa orang lain. Beliau berkata:
Sebagian orang memahami hadis ini dengan mengira bahwa ini termasuk menyiksa manusia karena dosa orang lain, dan sesungguhnya Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya dan memutuskan apa yang diinginkan-Nya. Mereka meyakini bahwa manusia dapat disiksa karena dosa orang lain, sehingga mereka berpendapat bahwa anak-anak orang kafir dapat masuk neraka karena dosa bapak-bapak mereka.
Ia menjelaskan panjang lebar masalah ini, yaitu masalah anak-anak orang kafir masuk neraka karena dosa orang tua mereka. Menurut beliau, ini tidak benar. Yang benar adalah bahwa Allah tidak mengazab kecuali orang yang mendurhakai-Nya dan bahwa orang-orang yang tidak mengalami bencana akan diuji di padang-padang kiamat. Setelah itu, ia mengatakan:
Mengenai penyiksaan orang mati, Nabi SAW tidak mengatakan bahwa orang mati disiksa (dengan kata 'iqab) karena keluarganya menangisinya, tetapi beliau mengatakan diazab (dengan kata adzab). Kata 'adzab lebih umum daripada 'iqab. Azab itu adalah sakit, dan tidak semua orang yang sakit karena suatu sebab berarti mendapat siksa (iqab). Nabi SAW bersabda, “Bepergian itu sebagian dari azab, sebab kalian terhalang dari makanan dan minuman.” Jadi, bepergian (safar) dinamakan 'adzab, bukan 'iqab.
Manusia diazab (merasa sakit) karena hal-hal yang dibenci yang ia rasakan, seperti suara-suara yang menakutkan, roh-roh jahat, dan bentuk-bentuk atau gambar-gambar yang jelek. Ia merasa sakit karena mendengar ini, mencium anu, melihat itu, padahal itu bukan pekerjaannya yang menyebabkannya pantas disiksa ('iqab). Lalu, apa alasan untuk menolak bahwa mayit merasa sakit (diazab) karena ratapan, meskipun ratapan itu bukan amalnya yang menyebabkannya pantas disiksa (terkena 'iqab)?
Di dalam kubur, manusia diazab karena ucapan sebagian manusia, clan merasa sakit karena melihat atau mendengar ucapan mereka. Karena itu, al-Qadhi Abu Ya'la berfatwa bahwa jika di dekat mereka dikerjakan maksiat, mereka akan merasakan sakit, sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis. Jadi, mereka diazab karena perbuatan maksiat yang dilakukan di dekat kubur mereka, seperti halnya mereka diazab karena ratapan orang-orang atas kematian mereka, Jadi, ratapan adalah sebab azab.
Pemahaman semacam inilah yang diambil oleh Ibn Taimiyah. Pemahaman ini didukung oleh beberapa hadis. An-Nu'man ibn Basyir berkata, “Abdullah Ibn Rawahah pingsan. Istrinya, “Amiah, menangisinya, “Aduh suamiku! berulang-ulang. Lalu Abdullah berkata setelah ia sadar, “Aku dengar apa yang kau ucapkan tadi. Kenapa engkau berbuat seperti itu? Karena itu, tatkala Abdullah wafat, istrinya tidak menangisi kepergiannya.
Makna yang lebih jelas terdapat dalam hadis dari Abu Musa alAsy'ari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila seseorang mati, lalu orang menangisi kepergiannya dan berkata, “Aduh, aku ditinggal! Wahai Tuanku!' atau perkataan semacam itu, maka dua malaikat menyertainya dan memukulnya, "Apakah dulu kamu juga begitu!?” (HR Tirmidzi dan ia berkata, “Ini hadis hasan gharib) Al-Hafizh berkata setelah menutukan hadis ini dalam al-Talkhis, “Hadis ini diriwayatkan dan disahihkan oleh Hakim serta dikuatkan oleh hadis sahih dari an-Nu'man ibn Basyir.”
Perlu ditekankan pula di sini bahwa tidak semua orang mati diazab karena ratapan. Karena, terkadang penyebabnya tertolak oleh hal yang bertentangan dengannya—sebagaimana pendapat Ibn Taimiyah—seperti terjadi pada sebagian manusia yang karena kekuatannya dapat menolak bahaya dari suara-suara menakutkan, roh dan bentuk-bentuk yang buruk.
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa dalam hadis-hadis ancaman itu disebutkan sebabnya, dan terkadang sebab itu terkalahkan oleh penghalang-penghalang yang menolaknya, seperti tobat yang diterima, kebaikan yang dapat menghapus dosa, musibah-musibah yang menghapus dosa, syafaat orang-orang yang dapat memberikan syafaat dan atau karena karunia, rahmat, dan ampunan Allah.
Terakhir, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa azab yang menimpa orang mati yang mukmin di dalam kubur karena ia diratapi, oleh Allah akan dijadikan penghapus dosa orang itu.
(mhy)