Fatwa Muhammadiyah Tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan Dalam Kondisi Darurat Covid-19
Senin, 29 Maret 2021 - 08:34 WIB
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menerbitkan edaran tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan 1442 H/2021 M dalam Kondisi Darurat Covid-19 . Edaran bernomor 03/EDR/I.0/E/2021 ini sesuai Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah .
Edaran ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dan Sekjen Prof Dr Abdul Mu'ti pada 9 Sya'ban 1442 H/22 Maret 2021 M dengan harapan dapat dilaksanakan dan dapat menjadi panduan bagi umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya.Tuntunan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 yang tidak merata atau memiliki tingkat kedaruratan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Berikut isi tuntunan itu.
Tuntunan Ramadan di engah Covid-19
1. Puasa Ramadan wajib dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, baik yang bergejala maupun tidak bergejala atau disebut Orang Tanpa Gejala (OTG) termasuk dalam kelompok orang yang sakit ini. Mereka mendapat rukhsah meninggalkan puasa Ramadan dan wajib menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat.
Ini sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
2. Untuk menjaga kekebalan tubuh dan dalam rangka berhati-hati guna menjaga agar tidak tertular, tenaga kesehatan yang sedang bertugas menangani kasus Covid-19, bilamana dipandang perlu, dapat meninggalkan puasa Ramadan dengan ketentuan menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat sebagaimana dipahami dari firman Allah dan hadis Nabi saw,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Wahai orang-orang beriman, berlaku waspadalah kamu! [QS an-Nisā’ (4): 71]
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
... Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS al-Baqarah [2] : 195].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [H.R. Mālik, Ibn Mājah dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Ayat dan hadis di atas menunjukkan keharusan waspada/berhati-hati serta larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan dan kemudaratan (yang berarti keharusan menjaga diri/jiwa).
Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra sehingga boleh tidak berpuasa dan apabila tetap berpuasa dikhawatirkan justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, dan itu bisa menimbulkan mudarat.
3. Vaksinasi dengan suntikan boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa, karena vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi).
Adapun yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut besar, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 187,
Edaran ditandatangani oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dan Sekjen Prof Dr Abdul Mu'ti pada 9 Sya'ban 1442 H/22 Maret 2021 M dengan harapan dapat dilaksanakan dan dapat menjadi panduan bagi umat Islam pada umumnya dan warga Muhammadiyah pada khususnya.Tuntunan ini dibuat dengan mempertimbangkan kondisi penyebaran Covid-19 yang tidak merata atau memiliki tingkat kedaruratan yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain. Berikut isi tuntunan itu.
Tuntunan Ramadan di engah Covid-19
1. Puasa Ramadan wajib dilakukan kecuali bagi orang yang sakit dan yang kondisi kekebalan tubuhnya tidak baik. Orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, baik yang bergejala maupun tidak bergejala atau disebut Orang Tanpa Gejala (OTG) termasuk dalam kelompok orang yang sakit ini. Mereka mendapat rukhsah meninggalkan puasa Ramadan dan wajib menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat.
Ini sesuai dengan Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
2. Untuk menjaga kekebalan tubuh dan dalam rangka berhati-hati guna menjaga agar tidak tertular, tenaga kesehatan yang sedang bertugas menangani kasus Covid-19, bilamana dipandang perlu, dapat meninggalkan puasa Ramadan dengan ketentuan menggantinya setelah Ramadan sesuai dengan tuntunan syariat sebagaimana dipahami dari firman Allah dan hadis Nabi saw,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ
Wahai orang-orang beriman, berlaku waspadalah kamu! [QS an-Nisā’ (4): 71]
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
... Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik [QS al-Baqarah [2] : 195].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan [H.R. Mālik, Ibn Mājah dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad].
Ayat dan hadis di atas menunjukkan keharusan waspada/berhati-hati serta larangan menjatuhkan diri pada kebinasaan dan kemudaratan (yang berarti keharusan menjaga diri/jiwa).
Tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 membutuhkan kekebalan tubuh ekstra sehingga boleh tidak berpuasa dan apabila tetap berpuasa dikhawatirkan justru akan membuat kekebalan tubuh dan kesehatannya menurun, dan itu bisa menimbulkan mudarat.
3. Vaksinasi dengan suntikan boleh dilakukan pada saat berpuasa dan tidak membatalkan puasa, karena vaksin diberikan tidak melalui mulut atau rongga tubuh lainnya seperti hidung, serta tidak bersifat memuaskan keinginan dan bukan pula merupakan zat makanan yang mengenyangkan (menambah energi).
Adapun yang membatalkan puasa adalah aktivitas makan dan minum, yaitu menelan segala sesuatu melalui mulut hingga masuk ke perut besar, sekalipun rasanya tidak enak dan tidak lezat. Suntik vaksin tidak termasuk makan atau minum. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah [2] ayat 187,