Macam-macam Jihad, Quraish Shihab: Musuhnya Juga Setan dan Nafsu Manusia

Jum'at, 30 April 2021 - 17:22 WIB
Ilustrasi/Dok, SINDOnews
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Wawasan Al-Quran menulis, jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat pula bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran.

Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.



Menurut Quraish, sejarah turunnya ayat-ayat Al-Quran membuktikan bahwa Rasulullah SAW telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijrah, tepatnya 17 Ramadhan dengan meletusnya Perang Badar.

Surat Al-Furqan ayat 52 yang disepakati oleh ulama turun di Makkah, berbunyi:

“Maka jangan kamu taati orang-orang kafir, dan berjihadlah melawan mereka menggunakan Al-Quran dengan jihad yang besar”.

Kesalahpahaman itu, kata Quraish Shihab, disuburkan juga oleh terjemahan yang kurang tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering diterjemahkan sebagai jiwa Terjemahan Departemen Agama RI pun demikian (lihat misalnya ketika menerjemahkan QS 8: 72, 49 :15; walaupun ada juga yang diterjemahkan dengan diri [QS 9: 88]).

Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki banyak arti. Ada yang diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang ketiga bermakna jenis, dan ada pula yang berarti "totalitas manusia" tempat terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu yang tidak dapat terpisah darinya.



Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah jika kata itu dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas manusia, sehingga kata nafs mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat yang berkaitan dengannya, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari kedua hal itu. Pengertian ini, diperkuat dengan adanya perintah dalam Al-Quran untuk berjihad tanpa menyebutkan nafs atau harta benda (antara lain QS Al-Hajj: 78).

Pakar Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus Al-Qurannya Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa jihad dan mujahadah adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan musuh. Jihad terdiri dari tiga macam: (1) menghadapi musuh yang nyata, (2) menghadapi setan, dan (3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga hal di atas menurut Al-Isfahani dicakup oleh Firman Allah:

“Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad.” ( QS Al-Hajj [22]: 78 ).

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah ( QS Al-Baqarah [2]: 218 ).



Rasulullah SAW bersabda, "Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna 'ada akum" (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu). Dalam kesempatan lain beliau bersabda, "Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum" (Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan

lidah kamu).

Pada umumnya, ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak menyebutkan objek yang harus dihadapi. Yang secara tegas dinyatakan objeknya hanyalah berjihad menghadapi orang kafir dan munafik sebagaimana disebutkan Al-Quran surat At-Taubah ayat 73 dan At-Tahrim ayat 9.

“Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat.”

Tetapi ini tidak berarti bahwa hanya kedua objek itu yang harus dihadapi dengan jihad, karena dalam ayat-ayat lain disebutkan musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia sendiri. Keduanya pun harus dihadapi dengan perjuangan.

“Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak hati.

“Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah?” (QS Al-Qashash [28]: 50).

Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya:

“Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku” ( QS Yusuf [12]: 53 )

Jelaslah, paling tidak jihad harus dilaksanakan menghadapi orang-orang kafir, munafik, setan, dan hawa nafsu.



Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika manusia tergoda oleh setan, ia menjadi kafir, munafik, dan menderita penyakit-penyakit hati, atau bahkan pada akhirnya manusia itu sendiri menjadi setan. Sementara setan sering didefinisikan sebagai "manusia atau jin yang durhaka kepada Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan."

Menghadapi mereka tentunya tidak selalu harus melalui peperangan atau kekuatan fisik. Tapi pada saat yang sama perlu diingat bahwa hal ini sama sekali bukan berarti bahwa jihad fisik tidak diperlukan lagi --sebagaimana pandangan kelompok Qadiyaniah dari aliran Ahmadiah.

Seluruh potensi yang ada pada manusia harus dikerahkan untuk menghadapi musuh, tetapi penggunaan potensi tersebut harus juga disesuaikan dengan musuh yang dihadapi.
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Allah 'azza wajalla telah berfirman: Setiap amal anak Adam adalah teruntuk baginya kecuali puasa. Puasa itu adalah bagi-Ku, dan Akulah yang akan memberinya pahala.  Dan puasa itu adalah perisai. Apabila kamu puasa, maka janganlah kamu merusak puasamu dengan rafats, dan jangan pula menghina orang. Apabila kamu dihina orang atau pun diserang, maka katakanlah, 'Sesungguhnya saya sedang berpuasa.'  Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat kelak daripada wanginya kesturi. Dan bagi mereka yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Ia merasa senang saat berbuka lantaran puasanya, dan senang pula saat berjumpa dengan Rabbnya juga karena puasanya.

(HR. Muslim No. 1944)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More