Begini Makna Mengencangkan Sarung Pada 10 Hari Terakhir Ramadhan
Rabu, 05 Mei 2021 - 04:19 WIB
TAK terasa, umat Islam yang menjalankan ibadah puasa sudah memasuki 10 hari terakhir Ramadhan . Pada waktu ini, keberkahan dan kebaikan disebar dengan amat berlimpah, serta akan diturunkan lailatul qadar.
Karena itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, di 10 hari terakhir Ramadhan ini Rasulullah mengencangkan ikat pinggangnya untuk meningkatkan ibadah dan amal saleh.
"Dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW ketika masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan, mengencangkan kain bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya (muttafaq 'alaih)."
Mengencangkan sarung, menjelaskan takwil para ulama, artinya mengurangi makan, tidur, dan tidak mendekat ke para istrinya. Fokus beribadah.
“Saking fokusnya ibadah, tidak ingin waktunya sia-sia membenahi hal remeh-temeh. Termasuk membetulkan sarung melorot, terlalu remeh-temeh mengganggu fokus ibadah, sehingga lebih baik diikat,” tutur Penulis buku-buku Islami, Salim A. Fillah dalam pengajian yang digelar secara virtual melalui Zoom Clouds Meeting ini bertema Teladan Nabi SAW di Bulan Ramadhan. Penyelenggaranya, Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik.
Mengencangkan ikat pinggang merupakan bahasa simbolik seperti yang dikatakan Imam Ghazali bahwa kualitas diri itu terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan fisik jasmaniyah, seperti mengendalikan diri dari lapar dan dahaga, serta tidak melakukan hubungan seksual bagi suami istri yang menjalankan ibadah puasa.
Tingkatan kedua, yaitu mengencangkan ikat pinggang dengan mengendalikan pancaindra seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, dan semua yang berhubungan dengan panca indera lainnya. Pada tingkatan ini, kita hanya tertuju kepada Allah.
Sedangkan pengencangan ikat pinggang yang ketiga, yaitu diharuskan mengontrol hati dan pikiran dari hal-hal yang dilarang Allah. Dengan begitu, makin tinggi tingkat pengendalian diri itu makin tinggi tingkat spiritualitas puasa kita sehingga pemaknaan ikat pinggang itu jangan hanya dipahami dalam arti fisik seperti tingkatan pertama.
Hadis fi'li ataupun qauli telah menerangkan 10 hari terakhir Ramadhan itu masa yang sangat penting disamping 10 hari pertama dan kedua di bulan Ramadhan. Pada waktu ini terbukanya pintu-pintu rahmat dan pintu surga serta tertutupnya pintu neraka di bulan suci Ramadhan. Pada saat ini pula diisyaratkan turunnya lailatul qadar .
Kendati demikian, tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan waktu turunnya lailatul qadar. Karena itu, umat Islam hanya bisa berikhtiar dengan terus mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan itu.
Nabi Muhammad SAW menghidupkan malamnya. “Meleknya (terjaga) lebih banyak dari pada meremnya (tidur),” terang pengurus masjid Jogokariyan Yogyakarta ini.
Kata Salim, banyak hal untuk “menghidupkan malam”. Misal, salat malam di rumah maupun di masjid.
Dia lantas menceritakan bagaimana Ibnu Abbas ra mengikuti salat di rumah Rasulullah SAW yang bikin kapok. Begini kisahnya: “Saya pernah mengikuti salat (qiyamul lail) Rasulullah SAW di rumah beliau. Di rakaat pertama, Rasulullah membaca surat al-Baqarah …”
“…Kupikir habis (baca) al-Baqarah rukuk, ternyata disambung ali-Imran. Aku pikir habis ali-Imran rukuk, ternyata disambung an-Nisa. Kupikir habis an-Nisa rukuk, ternyata disambung al-Maidah. Aku pikir habis al-Maidah rukuk, ternyata disambung al-An’am setelah itu.” ceritanya.
Setelah itu, Ibnu Abbas kapok mengikuti salat Rasulullah yang di rumah. “Lebih baik aku ikuti yang di masjid,” ungkapnya.
Karena, Rasulullah memperpendek bacaannya saat salat di masjid, supaya tidak membebani para sahabat. Saat salat di rumah, berdirinya panjang sekali.
Karena itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, di 10 hari terakhir Ramadhan ini Rasulullah mengencangkan ikat pinggangnya untuk meningkatkan ibadah dan amal saleh.
"Dari Aisyah RA, ia berkata, Rasulullah SAW ketika masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan, mengencangkan kain bawahnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya (muttafaq 'alaih)."
Mengencangkan sarung, menjelaskan takwil para ulama, artinya mengurangi makan, tidur, dan tidak mendekat ke para istrinya. Fokus beribadah.
“Saking fokusnya ibadah, tidak ingin waktunya sia-sia membenahi hal remeh-temeh. Termasuk membetulkan sarung melorot, terlalu remeh-temeh mengganggu fokus ibadah, sehingga lebih baik diikat,” tutur Penulis buku-buku Islami, Salim A. Fillah dalam pengajian yang digelar secara virtual melalui Zoom Clouds Meeting ini bertema Teladan Nabi SAW di Bulan Ramadhan. Penyelenggaranya, Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik.
Mengencangkan ikat pinggang merupakan bahasa simbolik seperti yang dikatakan Imam Ghazali bahwa kualitas diri itu terbagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan fisik jasmaniyah, seperti mengendalikan diri dari lapar dan dahaga, serta tidak melakukan hubungan seksual bagi suami istri yang menjalankan ibadah puasa.
Tingkatan kedua, yaitu mengencangkan ikat pinggang dengan mengendalikan pancaindra seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, dan semua yang berhubungan dengan panca indera lainnya. Pada tingkatan ini, kita hanya tertuju kepada Allah.
Sedangkan pengencangan ikat pinggang yang ketiga, yaitu diharuskan mengontrol hati dan pikiran dari hal-hal yang dilarang Allah. Dengan begitu, makin tinggi tingkat pengendalian diri itu makin tinggi tingkat spiritualitas puasa kita sehingga pemaknaan ikat pinggang itu jangan hanya dipahami dalam arti fisik seperti tingkatan pertama.
Hadis fi'li ataupun qauli telah menerangkan 10 hari terakhir Ramadhan itu masa yang sangat penting disamping 10 hari pertama dan kedua di bulan Ramadhan. Pada waktu ini terbukanya pintu-pintu rahmat dan pintu surga serta tertutupnya pintu neraka di bulan suci Ramadhan. Pada saat ini pula diisyaratkan turunnya lailatul qadar .
Kendati demikian, tidak ada yang mengetahui dengan pasti kapan waktu turunnya lailatul qadar. Karena itu, umat Islam hanya bisa berikhtiar dengan terus mendekatkan diri kepada Allah untuk meraih malam yang lebih baik dari seribu bulan itu.
Nabi Muhammad SAW menghidupkan malamnya. “Meleknya (terjaga) lebih banyak dari pada meremnya (tidur),” terang pengurus masjid Jogokariyan Yogyakarta ini.
Kata Salim, banyak hal untuk “menghidupkan malam”. Misal, salat malam di rumah maupun di masjid.
Dia lantas menceritakan bagaimana Ibnu Abbas ra mengikuti salat di rumah Rasulullah SAW yang bikin kapok. Begini kisahnya: “Saya pernah mengikuti salat (qiyamul lail) Rasulullah SAW di rumah beliau. Di rakaat pertama, Rasulullah membaca surat al-Baqarah …”
“…Kupikir habis (baca) al-Baqarah rukuk, ternyata disambung ali-Imran. Aku pikir habis ali-Imran rukuk, ternyata disambung an-Nisa. Kupikir habis an-Nisa rukuk, ternyata disambung al-Maidah. Aku pikir habis al-Maidah rukuk, ternyata disambung al-An’am setelah itu.” ceritanya.
Setelah itu, Ibnu Abbas kapok mengikuti salat Rasulullah yang di rumah. “Lebih baik aku ikuti yang di masjid,” ungkapnya.
Karena, Rasulullah memperpendek bacaannya saat salat di masjid, supaya tidak membebani para sahabat. Saat salat di rumah, berdirinya panjang sekali.
(mhy)