Dua Bagian Suul Khatimah, Semoga Kita Dijauhkan dari Si Puncak Kemalangan
Kamis, 03 Juni 2021 - 18:07 WIB
Sebaliknya, ketika sebuah hati selalu berpaling dari duniawi serta beriman dengan kuat kepada Allah, hati tersebut akan memiliki nur yang kekuatannya melebihi sinar dan panas Jahanam, sehingga ketika ia melintas di atas Jahanam, maka neraka Jahanam akan mengatakan: “Melintaslah wahai orang mukmin, sebab nur-mu telah mematikan gejolak apiku.”
Demikianlah pembagian suul khatimah, meskipun yang satu lebih ringan dari yang lain, tetaplah merupakan sebuah bencana. Setelah seseorang mati dalam keadaan suul khatimah itu, ia tidak akan mampu lagi untuk menyusuli atau berusaha mendapatkan berbagai sifat terpuji yang lain. Sebab, kotor dan bersihnya sebuah hati adalah tersebab pengaruh perbuatan anggota badan, padahal anggota badan kini tidak bisa berfungsi lagi sebab maut telah menjemput. Dengan demikian, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mau kembali ke dunia pun sudah tidak mungkin. Dalam kondisi seperti ini, seseorang akan sangat menyesal dan kebingungan sehingga bertambah-tambah pula penderitaannya.
Kemudian, jika seseorang ketika hidup di dunia ia telah beriman dengan keimanan yang benar dan mantap, disertai peribadatan yang tertata rapi, hanya saja ketika mati ia dalam keadaan suul khatimah, maka imanlah yang akan menghapus penderitaan yang sedang berlangsung itu. Oleh karena itu, jika iman betul-betul prima, ia akan segera dapat dikeluarkan dari siksa neraka dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, jika intensitas iman sangat tipis, akan membuat seseorang berlama-lama berdiam di neraka.
Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Mengapa setelah maut menjemput, menurut keterangan tadi seseorang langsung menerima berbagai kenikmatan ataupun bermacam-macam siksa. Bukankah harus melintasi alam kubur terlebih dahulu?”
Siapa pun yang mengingkari siksa atau kenikmatan di alam kubur, jelas dia merupakan sosok pembuat bid'ah. Hatinya tertutup dari mendapat petunjuk Allah yang terhampar dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bukankah Rasulullah telah mengatakan bahwa kubur itu adakalanya sebagai liang yang merepresentasikan jurang siksa Jahanam, ataupun sebuah taman dari berbagai taman surga?
Hendaknya jangan berkeyakinan bahwa bangun jiwa yang menjadi tempat bersemayamnya iman itu akan ikut hancur dimakan tanah. Ketika sebuah tubuh memasuki liang lahat, maka yang rusak hanyalah tubuh dan anggota badan itu sendiri. Ketika hari kebangkitan sudah datang, maka seluruh tubuh itu akan dikumpulkan kembali, sedangkan ruh juga akan segera digabung pada tubuh tersebut.
Dalam jeda antara maut dan kebangkitan, seseorang ada yang jiwanya berkelana di dalam berbagai perut burung surga di bawah Arsy Allah, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Rasulullah, dan ada yang menderita tanpa diketahui batas akhirnya.
Suul khatimah peringkat dua ini (kendati tidak mengekalkan seseorang di dalam neraka) merupakan konklusi dari dua sebab. Pertama, seseorang ketika hidupnya terlalu banyak melakukan berbagai maksiat dan kedurhakaan, kendati imannya sangat kuat.
Kedua, karena imannya lemah, kendati jarang sekali melakukan maksiat. Sebab perilaku maksiat itu timbul dari syahwat yang menggelora. Akhirnya kemaksiatan itu dari waktu ke waktu tertancap dan sangat disukai hati. Padahal apa pun yang disukai dan biasa dilakukan seseorang, maka ketika maut menjemput, seluruhnya akan tampil di hadapannya.
Dengan demikian, jika seseorang lebih banyak melakukan berbagai ibadah, maka ia akan lebih banyak teringat kepada peribadatan. Sebaliknya jika kemaksiatan yang lebih disukai, maka ketika maut pun akan selalu teringat kepada kemaksiatannya.
Bagaimana jika dalam kondisi demikian itu nyawa seseorang lepas dari raganya? Itulah arti husnul khatimah ataupun suul khatimah yang menjadi acuan kebahagiaan atau penderitaan seseorang di akhirat nanti.
Sebagaimana Rasulullah telah mengatakan bahwa orang yang mati syahid, nanti ketika hari dibangkitkan, darah mereka akan selalu menetes dengan tetap berwarna darah, namun berbau kesturi.
Adapun orang yang mati ketika melaksanakan haji, ia akan dibangkitkan dalam keadaan membaca talbiyah. Bahkan para muadzin nanti akan memiliki leher yang paling panjang dan sangat memesona.
Sementara itu, orang-orang kafir akan segera berubah menjadi anjing atau babi dan berbagai visual buruk lainnya. Hal ini jelas mengacu pada pangkalan khatimah atau akhir hayat dan penutup sebuah kehidupan di dunia ini.
Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Betapa tidak adil hukuman Allah yang akan berlaku di akhirat nanti, sebab sebuah kekafiran atau kejahatan yang berlangsung seumur hidup, katakanlah sepanjang seratus tahun, tapi mengapa mereka akan mendapat balasan yang abadi. Begitu pula seorang hamba mukmin, mengapa nanti di akhirat akan mendapat kebahagiaan abadi, tidak terbatas ruang dan waktu?
Padahal peribadatan mereka tidaklah sampai menjangkau seratus tahun, bahkan masih bisa dikurangi waktu tidur dan bekerja atau aktivitas yang lain?
Anggaplah jika seseorang setiap hari memerlukan tidur delapan jam. Kemudian ia hidup selama enam puluh tahun, bukankah waktu yang tersita untuk tidur selama hidupnya akan menyita dua puluh tahun?
Kemudian masih dipotong lagi waktu untuk bekerja dan aktivitas yang lain, sehingga waktu beribadah hanya sekitar lima jam setiap hari, bahkan bisa jadi kurang.”
Syaikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam dari Mesir menjawab bahwa ketentuan dan kondisi yang berlaku di akhirat, seluruhnya menyalahi hukum adat, sehingga dapat dikatakan dengan sebuah gaidah at-tagdir “ala khilafi at-tahgig (perkiraan yang menyalahi kenyataan).
Masalahnya, jika saja orang kafir diberi umur seribu tahun atau lebih, mereka pun akan tetap pada kekafirannya, akan tetap berlaku maksiat. Begitu pun orang mukmin akan tetap berpegang pada kebenarannya, akan selalu teguh dalam beribadah.
Demikianlah pembagian suul khatimah, meskipun yang satu lebih ringan dari yang lain, tetaplah merupakan sebuah bencana. Setelah seseorang mati dalam keadaan suul khatimah itu, ia tidak akan mampu lagi untuk menyusuli atau berusaha mendapatkan berbagai sifat terpuji yang lain. Sebab, kotor dan bersihnya sebuah hati adalah tersebab pengaruh perbuatan anggota badan, padahal anggota badan kini tidak bisa berfungsi lagi sebab maut telah menjemput. Dengan demikian, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mau kembali ke dunia pun sudah tidak mungkin. Dalam kondisi seperti ini, seseorang akan sangat menyesal dan kebingungan sehingga bertambah-tambah pula penderitaannya.
Kemudian, jika seseorang ketika hidup di dunia ia telah beriman dengan keimanan yang benar dan mantap, disertai peribadatan yang tertata rapi, hanya saja ketika mati ia dalam keadaan suul khatimah, maka imanlah yang akan menghapus penderitaan yang sedang berlangsung itu. Oleh karena itu, jika iman betul-betul prima, ia akan segera dapat dikeluarkan dari siksa neraka dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, jika intensitas iman sangat tipis, akan membuat seseorang berlama-lama berdiam di neraka.
Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Mengapa setelah maut menjemput, menurut keterangan tadi seseorang langsung menerima berbagai kenikmatan ataupun bermacam-macam siksa. Bukankah harus melintasi alam kubur terlebih dahulu?”
Siapa pun yang mengingkari siksa atau kenikmatan di alam kubur, jelas dia merupakan sosok pembuat bid'ah. Hatinya tertutup dari mendapat petunjuk Allah yang terhampar dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Bukankah Rasulullah telah mengatakan bahwa kubur itu adakalanya sebagai liang yang merepresentasikan jurang siksa Jahanam, ataupun sebuah taman dari berbagai taman surga?
Hendaknya jangan berkeyakinan bahwa bangun jiwa yang menjadi tempat bersemayamnya iman itu akan ikut hancur dimakan tanah. Ketika sebuah tubuh memasuki liang lahat, maka yang rusak hanyalah tubuh dan anggota badan itu sendiri. Ketika hari kebangkitan sudah datang, maka seluruh tubuh itu akan dikumpulkan kembali, sedangkan ruh juga akan segera digabung pada tubuh tersebut.
Dalam jeda antara maut dan kebangkitan, seseorang ada yang jiwanya berkelana di dalam berbagai perut burung surga di bawah Arsy Allah, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Rasulullah, dan ada yang menderita tanpa diketahui batas akhirnya.
Suul khatimah peringkat dua ini (kendati tidak mengekalkan seseorang di dalam neraka) merupakan konklusi dari dua sebab. Pertama, seseorang ketika hidupnya terlalu banyak melakukan berbagai maksiat dan kedurhakaan, kendati imannya sangat kuat.
Kedua, karena imannya lemah, kendati jarang sekali melakukan maksiat. Sebab perilaku maksiat itu timbul dari syahwat yang menggelora. Akhirnya kemaksiatan itu dari waktu ke waktu tertancap dan sangat disukai hati. Padahal apa pun yang disukai dan biasa dilakukan seseorang, maka ketika maut menjemput, seluruhnya akan tampil di hadapannya.
Dengan demikian, jika seseorang lebih banyak melakukan berbagai ibadah, maka ia akan lebih banyak teringat kepada peribadatan. Sebaliknya jika kemaksiatan yang lebih disukai, maka ketika maut pun akan selalu teringat kepada kemaksiatannya.
Bagaimana jika dalam kondisi demikian itu nyawa seseorang lepas dari raganya? Itulah arti husnul khatimah ataupun suul khatimah yang menjadi acuan kebahagiaan atau penderitaan seseorang di akhirat nanti.
Sebagaimana Rasulullah telah mengatakan bahwa orang yang mati syahid, nanti ketika hari dibangkitkan, darah mereka akan selalu menetes dengan tetap berwarna darah, namun berbau kesturi.
Adapun orang yang mati ketika melaksanakan haji, ia akan dibangkitkan dalam keadaan membaca talbiyah. Bahkan para muadzin nanti akan memiliki leher yang paling panjang dan sangat memesona.
Sementara itu, orang-orang kafir akan segera berubah menjadi anjing atau babi dan berbagai visual buruk lainnya. Hal ini jelas mengacu pada pangkalan khatimah atau akhir hayat dan penutup sebuah kehidupan di dunia ini.
Jika diutarakan sebuah pertanyaan: “Betapa tidak adil hukuman Allah yang akan berlaku di akhirat nanti, sebab sebuah kekafiran atau kejahatan yang berlangsung seumur hidup, katakanlah sepanjang seratus tahun, tapi mengapa mereka akan mendapat balasan yang abadi. Begitu pula seorang hamba mukmin, mengapa nanti di akhirat akan mendapat kebahagiaan abadi, tidak terbatas ruang dan waktu?
Padahal peribadatan mereka tidaklah sampai menjangkau seratus tahun, bahkan masih bisa dikurangi waktu tidur dan bekerja atau aktivitas yang lain?
Anggaplah jika seseorang setiap hari memerlukan tidur delapan jam. Kemudian ia hidup selama enam puluh tahun, bukankah waktu yang tersita untuk tidur selama hidupnya akan menyita dua puluh tahun?
Kemudian masih dipotong lagi waktu untuk bekerja dan aktivitas yang lain, sehingga waktu beribadah hanya sekitar lima jam setiap hari, bahkan bisa jadi kurang.”
Syaikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam dari Mesir menjawab bahwa ketentuan dan kondisi yang berlaku di akhirat, seluruhnya menyalahi hukum adat, sehingga dapat dikatakan dengan sebuah gaidah at-tagdir “ala khilafi at-tahgig (perkiraan yang menyalahi kenyataan).
Masalahnya, jika saja orang kafir diberi umur seribu tahun atau lebih, mereka pun akan tetap pada kekafirannya, akan tetap berlaku maksiat. Begitu pun orang mukmin akan tetap berpegang pada kebenarannya, akan selalu teguh dalam beribadah.